Kerupuk Persahabatan Rohim

Di sekolah ini, siapa yang tidak mengenal Rohim? Semua guru, siswa, bahkan penjual bakwan depan gerbang sekolah pun mengenalnya. Dia teramat terkenal, kawan.

“Prestasi”-nya sudah tidak terhitung. Sudah berapa kali dia bolos sekolah dengan memanjat gerbang? Dia juga kerap terlambat masuk sekolah dengan alasan kesiangan. Tidak terhitung terlibat perkelahian? berapa kali dia tidak masuk tanpa keterangan? berapa kali dia… ah sudahlah, “prestasi”-nya terlalu banyak, kawan.

Hari ini, Rohim duduk di hadapanku. Dia baru saja membuatku naik darah. Dia memukul wajah Michael tepat saat aku akan menerangkan konsep aljabar. Michael yang tidak terima, balik memukul Rohim.  Mereka pun saling adu jotos. Sementara siswa lainnya menjerit ketakutan.

“Brakkk!!!”

Aku menghantamkan tinju ke papan tullis. Suasana hening seketika. Begitu pun Rohim dan Michael berhenti saling menghajar. Tetapi raut mereka sama-sama penuh kebencian. Napas mereka kembang kempis. Peluh membanjiri muka dan membasahi sebagian seragam mereka.

“Rohim tiba-tiba memukul saya, Pak!!” Michael angkat bicara sembari meringis kesakitan. Pipinya lebam.

Pernyataan Michael diamini oleh Albert yang duduk di belakangnya. Dia mengaku menyaksikan sendiri bagaimana Rohim tiba-tiba melayangkan tinjunya.

Pandanganku mengarah ke Rohim. Anak kelas dua SMP itu balas memandangku. Dari bola matanya terlihat ada amarah luar biasa.

“Saya yang pertama kali memukulnya, Pak!” kata Rohim tegas.

Rohim mengakui perbuatannya. Tanpa berkelit dan membuat banyak alasan. Itulah yang aku suka dari pribadi Rohim. Meskipun kali ini aku akui, dia melakukan kesalahan fatal. Dan aku ingin memberi dia pelajaran.

Bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Aku meminta Rohim mengikutiku. Di ruang perpustakaan aku mengajaknya. Berdua.

“Ceritakan pada saya, kenapa kamu memukul Michael?” tanyaku.

Rohim tidak bergeming. Dia menunduk. Diam seribu bahasa. Ada sesuatu yang dia pendam dan sulit untuk diungkapkan.

Selang beberapa menit, dia mengangkat kepalanya. “Kalau saya cerita, apa Bapak akan membela saya?”

Belum sempat aku menjawab, dia kembali berkata. “Saya hanya siswa yang sering berbuat onar, apa Bapak mau mendengarkan keluh kesah saya?”

Rohim tampak emosional. Matanya berkaca-kaca. Tidak pernah aku melihatnya seperti ini.

“Ada apa, nak?” aku sedikit melembutkan intonasi suara.

“Michael menghina saya, Pak. Dia bilang saya tidak pantas masuk kelompok tugas olah raganya karena saya hanya anak miskin..,”

Air mata Rohim meleleh, melewati pipi dan jatuh di atas meja. Aku merasakan getir yang teramat dalam dirasakannya. “Dia bilang, kalau kerupuk yang saya jual tiap hari itu jamuran, Pak. Beracun.”

Aku menyerahkan beberapa lembar tissue. Rohim memilih mengusap air mata dengan tangannya. Nafasnya sesengukan. Aku tidak menyangka, anak yang terkenal bandel ini bisa menangis juga. Aku membesarkan hatinya. Lama aku memberi wejangan, dan dia mendengarkan dengan khidmat.

“Kamu tak perlu membalas hinaan orang dengan kepalan tangan, yang perlu kamu lakukan adalah membalasnya dengan terus rajin belajar dan bekerja. Balasan yang tepat untuk orang yang menghina kita adalah menjadi lebih baik.”

Rohim adalah anak yatim piatu. Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Dia dan adik-adiknya hidup bersama keluarga pamannya yang memiliki usaha kerupuk. Untuk membalas kebaikan pamannya, Rohim memutuskan untuk menjajakan kerupuk sepulang sekolah.

***

Jam setengah tiga. Sekolah sudah lengang. Sesaat sebelum pulang, aku mendapati seorang anak di depan gerbang sekolah. Michael. Mungkin dia sedang menunggu jemputan.

Aku menghampirinya. Michael bercerita, mobil penjemputnya mogok. Dia diminta sabar menunggu. Aku pun menawarkan tumpangan untuk mengantarnya. Apalagi rumahku dan rumah Michael searah. Sempat Michael menolak, tapi tiba-tiba terdengar perutnya keroncongan. Dengan meringis ia berkata, “iya,deh Pak. Saya sudah lapar.”

Setelah menghubungi orang tua Michael, aku memboncengnya pulang. Dalam perjalanan, aku menanyakan tentang kondisinya setelah dipukul Rohim. Dia berkata tidak apa-apa. Tidak terlalu sakit.

Aku sengaja melewati alun-alun kota. Tepat dugaanku. Di pojok lampu merah alun-alun kota, ada seseorang sedang menjajakan dagangannya. Rohim. Dia mengenakan kaos hijau ,celana pendek cokelat, dan bersandal jepit. Aku menghentikan laju motorku di tepi jalan. Aku melambaikan tangan ke arah Rohim. Dia mendekati kami.

Raut wajahnya tampak terkejut melihat Michael yang aku bonceng. Begitupun dengan Michael. Dia melayangkan pandangan ke arah lain.

“Berapa duit kerupuknya, Him?” tanyaku

“Sebungkus lima ribu, Pak.”

“Ini krupuk baru,kan?” tanyaku memastikan

“Iya,Pak. Baru tadi jam 10 digoreng paman saya hehehe…,” jawab Rohim sambil tertawa.

Aku membuka satu plastik kerupuk dan mencicipnya. “Enak, Him.”

“Alhamdulillah, Krupuk Paman saya memang paling enak Pak di sini.”

“Pamanmu membuat sendiri, Him?”

“Iya Pak. Kadang kalau liburan , saya sering bantu membuatnya.”

“Kamu bisa?”

“Bisa, dong Pak.”

“Kamu untung berapa dari berjualan krupuk, Him?”

Dengan polosnya dia menjawab, “Saya tidak memikirkan untung,Pak. Yang penting saya bisa membalas kebaikan paman saya, itu sudah cukup.”

Aku menawarkan kerupuk ke Michael. Awalnya anak itu menolak, tapi setelah aku paksa, dia mencicipinya juga. Michael tampak menikmati kelezatan kerupuk Rohim. Tidak kusangka, dia mengatakan hal yang tidak pernah aku duga sebelumnya.

“Rohim,” Michael bersuara. “Kerupukmu enak.”

Rona wajah Rohim berubah drastis. Senyumnya mengembang.

“Aku minta maaf telah menghina kamu tadi siang. Aku…” Belum sempat Michael meneruskan ucapannya, Rohim mengulurkan tangan.

“Aku juga minta maaf karena tadi terlalu emosi dan memukulmu, Mich.”

Kedua anak ini pun bersalaman di hadapanku. Alhamdulillah, hubungan mereka membaik. Keduanya berjanji mulai besok akan berlatih untuk mengerjakan tugas olah raga bersama.

Dalam perjalanan pulang, Michael berbisik kepadaku, “Saya telah berbuat hal yang jahat,Pak.”

“Ada apa, Mich?” tanyaku lembut.

“Saya telah menyakiti hati Rohim dengan perkataan saya. Padahal kalau saya ada di posisi Rohim, saya pasti tidak akan bisa sekuat itu. Saya pasti tidak mampu jualan krupuk sepulang sekolah hanya untuk membalas kebaikan pamannya. Rohim anak baik,ya Pak.”

Aku mengangguk pelan, “Michael juga anak baik. Mau minta maaf atas kesalahan.”

Kami melanjutkan perjalanan. Aku menghembuskan napas panjang sambil tersenyum lega. Hari ini aku belajar banyak hal dari kegigihan Rohim, dan sikap Michael yang mau mengakui kesalahan. Semua terselesaikan karena sepotong kerupuk persahabatan.

Tagar:

Bagikan postingan

14 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *