Masih Berguru
Aku cemas kalau Deon akan meninggal dunia. Ada hal yang masih ingin kutanyakan langsung. Begitu pun seorang wanita paruh baya di sampingku yang adalah bibinya. Dia masih melipat kedua telapak tangan dan menutup mata. Mungkin setitik harapan dititipkan dalam doanya — tidak hanya sekedar Deon kembali hidup kedua kali.
“Satu, dua…, tiga!!” Defibrilator dipasangkan ke dada anak STM yang sedang terkapar itu. Mungkin hampir 200 joule listrik yang dikejutkan perawat ke dadanya agar jantung berdetak kembali. Tubuh itu berguncang keras dalam sekali kejutan. Garis di monitor ICU yang tadinya datar akhirnya muncul lagi.
Sebelumnya Deon berada di sebuah lokasi tawuran. Saat pulang sekolah, aku sedang lewat di sana. Lemparan batu sana-sini membuat semua kendaraan berhenti seketika. Suara celurit bergesekan di jalan aspal memercikkan api. Dua kelompok anak-anak STM yang berbeda sekolah saling mengejar. Yang terjatuh menjadi sasaran amukan lawannya. Ceceran darah segar pun terciprat di baju batik yang kupakai.
Amarah massa yang sedang mengamuk itu membungkam mulutku. Mulut yang selalu menasihati murid-murid untuk peduli pada sesama. Bibir mendadak terkatup kaku dan akhirnya beku. Aku sebenarnya malu tidak mampu mengucap kata ‘berhenti!’ padahal di sampingku seorang anak sedang dipukuli.
Mata para pelaku tawuran itu menyorotku tajam. Namun, selangkah demi selangkah, kaki mereka mundur meninggalkan si korban yang sekarat. Aku tak tahu apa alasannya mereka mundur. Mungkin saja karena gelar pahlawan tanpa tanda jasa yang tersemat di seragam yang kupakai. Entahlah. Saat mereka pergi, kubalikkan badan yang sedang sekarat di depan mataku. Itu ternyata Deon, salah satu muridku.
Sebenarnya aku tidak kaget. Hari itu adalah kesekian kalinya Deon ikut tawuran. Padahal, sebagai wali kelas, sudah berulang kali aku mengancamnya. Dia bisa dikeluarkan dari sekolah jika masih ikut tawuran juga. Bahkan, bibinya sudah seringkali dipanggil ke sekolah karena kasus yang sama. Deon tinggal bersama bibinya karena ayah dan ibunya sudah lama pergi tak pernah kembali.
Darah terus mengucur dari kening Deon. Napasnya masih tersengal-sengal. Kuletakkan tubuhnya di tengah-tengah motor ojek yang bersedia menancap gas ke RS terdekat. “Ayo dokter, jangan sampai anak ini meninggal dunia,” mohonku pada petugas medis.
Bibinya Deon sudah selesai berdoa. Dia mengikutiku duduk di ruang tunggu. “Dia mengidolakan, Bapak. Dia bercita-cita jadi guru, Pak…,” ujar wanita itu sambil menangis.
Kuhentikan membaca surat di tangan kiriku. Itu surat dari kepala sekolah. Mataku menatap wanita itu sebentar. Kemudian, kualihkan lagi pandangan ke selembar kertas milik Deon di tangan sebelah kanan. Aku merenung. Bagaimana bisa seseorang yang suka tawuran bercita-cita menjadi guru sepertiku? Aku awalnya tidak percaya.
Saat mengajar saja, murid-murid malah tidak memperhatikan materi yang kuajar. Aku sadar mereka tidak menyukai mata pelajaranku. “Kita menggambar saja, Pak!”
Aku mengangguk. Percuma rasanya memaksakan sesuatu pada anak-anak yang suka tawuran itu.
Deon paling semangat mengeluarkan kertas dan alat tulisnya. Dia memang gemar menggambar. Dibandingkan teman-temannya, hasil gambarnya lebih bagus dengan makna tersirat.
“Nak, apa sebenarnya cita-citamu?” tanyaku pada Deon.
“Seperti Garuda ini, Pak!” Dia semangat menunjukkan kertasnya. Dia membandingkannya dengan gambar lambang negara di dinding kelas. “Burung Garuda itu terlihat diam saja!” timpalnya lagi.
Aku mengernyitkan dahi. Anak itu seringkali membuatku berpikir.
“Saya pengen garuda ini terbang tinggi. Dia harus mencengkeram bumi dari atas awan!”
Aku hanya memujinya dengan cara mengangguk.
“Pak, saya titip pesan ya! Tolong berikan gambar ini ke Pak Bupati, pas nanti demo lagi,” bisik Deon. Aku jadi teringat saat rekan-rekan kerja sesama guru honorer melakukan beberapa kali aksi. Demonstrasi di depan kantor Bupati! Ratusan guru mengelilingi gedung yang megah di kabupaten kami. Kata-kata solidaritas menjadi pemicu gerakan. Kami berkumpul untuk menuntut kesejahteraan yang lebih layak bagi guru. Sudah bertahun-tahun lamanya suara kami tidak pernah didengarkan. Gaji yang kami terima, jauh dari kata layak.
“Kalau suara tidak didengarkan, kami akan ikut berdemo, Pak!” teriak Deon dari belakang dan disahuti serentak seisi kelas, “betul…!!”
Air mataku tak pernah kutunjukkan di depan murid. Namun, jujur saja batinku menangis terharu. Anak-anak STM yang sangar itu ternyata punya solidaritas tinggi. Saat anak ketigaku di opname pun, puluhan murid-muridku datang ke pelataran rumah sakit. Satpam RS sampai ketakutan karena mengira mereka mau berdemo.
Aku sebenarnya masih belum percaya dengan apa yang disampaikan Bibinya Deon. Apa iya muridku yang beringas itu ingin menjadi guru? Setiap hari banyak masalah yang ditemui. Ada yang merokok di toilet, bolos meloncati pagar, dan yang paling sering adalah membawa senjata tajam. Merazia murid-murid itu sudah kulakukan hampir 30 tahun lamanya. Apakah Deon akan sanggup seperti itu? Belum lagi dia merasakan perjuangan mengejar kesejahteraan. Aku terus berdoa agar Deon kembali sehat. Ingin kupastikan kebenaran ucapan bibinya.
Melarang untuk tidak ikut tawuran saja, anak-anak STM itu sulit diberi pemahaman. Berkali kutegaskan, berkali pula mereka menegakkan badan tanda menentang. “Pak, solidaritas itu penting, Pak!” ucap salah satu. “Kalau ada yang menginjak harga diri sekolah kita, kami juga akan lawan, Pak!” timpal yang lainnya.
3 jam berlalu.
Kawan-kawan Dion masih setia menunggu di halaman rumah sakit. Mereka menantikan berita terbaru dariku karena tidak diperbolehkan masuk.
Mataku menatap garis datar pada monitor ICU. Dokter pun terlihat memberikan kode menghentikan operasi. Tangis Bibinya Deon seketika pecah setelah dokter menyampaikan berita duka. Aku turut menyesali belum sempat berbicara pada Deon untuk terakhir kali.
Kukeluarkan lipatan kertas dari saku celana–selembar gambar garuda yang digambar oleh Deon. “Maaf, Nak! Bapak tidak sempat menyampaikan pesanmu. Bulan depan, Bapak sudah pensiun. Tidak akan ikut demo lagi,” ucapku dalam hati sambil melangkahkan kaki keluar.
Murid-muridku berhamburan mendekati pintu rumah sakit. Aku berdiri lesu, “Dengar semuanya! Deon baru saja meninggal dunia.”
Suasana mendadak riuh. “Ayo, kita harus balas dendam!!”
Seperti biasanya, tak kutunjukkan air mata pada murid-murid gagahku itu. Namun aku harus membohongi mereka. Ini mungkin saat yang tepat. “Tunggu!” Aku merentangkan kertas gambar milik Deon. “Dia berpesan, kalian harus menjadi Garuda di kertas ini! Genggam dunia bukan melukainya!”
Semua terdiam dan menunduk. Perlahan-lahan amarah mereka surut. Kepalan tangan berangsur lepas. Semua akhirnya berpelukan. Dan lagi, seperti biasanya, mereka tidak mau menunjukkan air mata.
Aku pun demikian. Duduk lemas dan merenung. Aku sadar telah berbohong. Sampai mendekati usia senja, aku saja belum mampu menjadi guru sejati. Aku masih berguru dari murid-murid STM itu(*).
4 Responses
Luar biasa pak ceritanya..
Ketika membaca cerita itu, seolah-olah saya ada dalam cerita untuk menyaksikan secara langsung konflik yang ada..
Berasa seperti kisah nyata
Mantap pak,
Dan Seharusnya Dengan solidaritas bersama sebagai pelajar kita dapat membuat hal hal yang baik dan bermanfaat untuk membangun bangsa dan negara
Bukanya dengan hal negatif seperi tauran yang dapat membuat korban dan balas dendam yang tidak akan pernah selesai yang malah akan menambah korban
Jagoan sebenarnya adalah orang yang dapat menyelesaikan masalah tanpa pertumpahan darah.
Pesan yang saya dapat, tidak semua orang yg suka tawuran itu terlihat nakal, seperti tidak punya pendirian untuk sukses, dan tidak punya cita². Ternyata mereka seperti itu hanya ingin membela harga dirinya yang mungkin hampir jatuh karena orang lain.
Keren ceritanya, Pak !👍
Spontan air mata menangis haru membaca ceritanya. Serasa melihat langsung kejadiannya.