Pendidikan Karakter: Jalan Sunyi Peradaban

Pendidikan karakter sering disebut, seolah-olah ia perkara gampang, secarik modul, sekumpulan poster instan ala Canva, atau pelatihan sehari dua hari, dan selesai. Pendidikan karakter kerap dielu-elukan, tapi jarang dipraktikkan. Kita lebih sibuk mengejar angka, tapi lupa bahwa kejujuran, empati, dan tanggung jawab tak pernah masuk soal ujian.

 

Di negeri yang kurikulumnya bisa gonta-ganti secepat status Whatsapp, pendidikan karakter sering dijadikan jargon manis yang menggoda, tapi miskin makna di lapangan. Ia disebut-sebut di mimbar-mimbar sekolah, diatur dalam pasal-pasal kementerian, diajarkan dalam hafalan-hafalan sempit,

 

Kita tahu itu penting, tetapi seringkali kita tak tahu persis bagaimana menanamkannya.

 

Sekolah-sekolah menggantungkan poster besar: “JUJUR, DISIPLIN, TANGGUNG JAWAB.” Di ruang kelas, guru-guru menghafalkan nilai-nilai moral layaknya membacakan daftar menu restoran. Ada program “penguatan karakter”, ada sertifikat “pelajar berakhlak mulia”. Semuanya terukur, dicentang, dilaporkan.

 

Namun anak-anak itu tetap buang sampah sembarangan. Tetap saling sikut saat antre sembari mulut menumpahkan sumpah serapah. Tetap mengerjakan tugas kelompok dengan membiarkan satu orang bekerja, sisanya mengandalkan salinan.

 

Akibatnya, banyak anak tumbuh bukan untuk menjadi manusia baik, melainkan menjadi manusia yang pandai berpura-pura baik. Walhasil, dalam dunia yang seperti itu, integritas hanyalah pertunjukan kecil yang dikurasi di media sosial.

 

Tapi seperti kata Goenawan Mohammad, “Manusia bisa menghafal nilai, tetapi tetap kosong di dalam.” Kita hidup di zaman ketika kata ‘akhlak’ dipajang di dinding sekolah, namun kejujuran mati di halaman parkir.

 

Pendidikan karakter yang baik itu bukan soal hafalan panjang, bukan pula tentang kata-kata besar yang sulit dicerna. Pendidikan karakter yang sejati adalah pendidikan yang membumi, nyata, sederhana, dan terasa di telapak tangan kehidupan sehari-hari.

 

Karakter tidak lahir dari poster motivasi. Seharusnya ia lahir dari perjumpaan panjang manusia dengan dirinya sendiri. Ia lahir dari rasa takut akan kehilangan harga diri, bukan karena takut dimarahi Wali Kelas. Ia tumbuh dalam diam, dalam gelisah, dalam hari-hari yang lambat dan tak nyaman.

 

Di dunia yang berubah cepat, di mana anak-anak bermain lebih banyak dengan ponsel daripada lumpur, di mana berita bohong menyebar lebih cepat daripada kabar gembira, pendidikan karakter berdiri di persimpangan jalan, berani melangkah maju atau tertinggal jauh di belakang.

 

Pendidikan karakter telah menjadi obituari bagi akhlak itu sendiri.

 

Dalam masyarakat yang mengejar kecepatan dan ukuran-ukuran palsu, pendidikan karakter seharusnya menjadi jalan sunyi yaitu jalan untuk mengenal diri, mengakui batasan, menghidupi nilai. Tapi karakter, yang mestinya lahir dari pergulatan batin, malah didefinisikan dalam angka, skor, dan nilai rapor.

 

Pendidikan karakter berperan penting dalam membangun masyarakat yang beradab. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, kerja keras, kepedulian sosial, dan toleransi adalah elemen fundamental yang menopang tatanan sosial yang harmonis.

 

Tanpa pendidikan karakter, kecerdasan akademik semata tidak cukup untuk menghasilkan individu yang dapat berkontribusi positif bagi masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus menjadi prioritas utama dalam sistem pendidikan nasional kita.

 

Pendidikan karakter bukanlah proyek pemerintah, bukan kurikulum tambahan. Ia adalah sebentuk usaha perjuangan manusia seumur hidup. Perjuangan yang sunyi, yang jarang diberi piala, tapi justru di sanalah peradaban bertahan. Mirisnya, nasib pendidikan karakter mirip seperti kaset pita tua di rumah nenek, berharga, tapi siapa yang masih mau mendengarkannya di era Spotify ini?

 

Maka, pendidikan karakter perlu beradaptasi. Ia tak bisa lagi hanya duduk di buku pelajaran, tak bisa sekadar menjadi perintah-perintah kaku yang berbunyi seperti undang-undang.

 

Pertama-tama, pendidikan karakter jangan terlalu mengawang-awang. Jika kita datang ke anak-anak sambil membawa tumpukan teori tentang kejujuran dan kesopanan, mereka akan mengangguk sopan sambil diam-diam bermain Mobile Legends di bawah meja.

 

Jadi kenapa tidak sekalian kita ajari anak-anak menggunakan teknologi untuk menanam karakter?

Buat vlog tentang aksi nyata kebaikan. Atau ikut tantangan daring yang mempromosikan literasi, bukan sekadar tantangan “mukbang cabe 99 biji”.

 

Kalau dunia mereka ada di layar, ya masuklah ke layar itu, bawalah pesan kemanusiaan yang berkarakter tanpa meninggalkan marwah dunia mereka.

 

Tentu saja kita jangan lupa bahwa keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak kita. Kalau ayah ibunya tiap hari bertengkar gara-gara rebutan remote TV, maka jangan heran jika anaknya bingung membedakan mana realitas mana fragmen yang seharusnya menjadi panutan.

 

Maka pendidikan karakter mesti butuh contoh. Butuh orang-orang dewasa lain yang ada di sekitarnya untuk berani bilang, “Aku salah”, tanpa pakai seribu alasan, tanpa drama air mata.

 

Nilai-nilai itu harus hidup, bernapas dalam percakapan sehari-hari, terselip dalam tugas-tugas kecil, menyusup ke dalam lagu-lagu, film, atau bahkan dalam gim daring yang mereka mainkan diam-diam di bawah selimut.

 

Pendidikan karakter tidak harus serius seperti seminar motivasi. Ia bisa lahir dari canda di kelas, dari permainan berlari di lapangan, dari drama sederhana di panggung kecil yang dibangun dari papan bekas. Ia tumbuh ketika guru mau mendengarkan cerita anak-anak, bukan hanya mengoreksi kesalahan mereka.

 

Karakter tidak diajarkan. Karakter ditularkan, lewat kehangatan, kesabaran, dan keteladanan.

 

Kita butuh pendidikan karakter yang membiarkan manusia bertumbuh, bukan sekadar berbaris. Yang mengajarkan rasa malu bukan rasa takut. Yang memelihara rasa bersalah, bukan rasa bangga atas pengakuan kosong. Karena, seperti kata Camus, “Seorang manusia tanpa rasa malu telah kehilangan kemanusiaannya.”

 

Pendidikan karakter sejatinya adalah kerja kolaboratif antara rumah, sekolah, dan masyarakat. Tidak bisa hanya menyerahkan sepenuhnya kepada guru di sekolah, sementara di rumah orang tua mengajarkan nilai-nilai yang bertolak belakang. Tidak bisa pula berharap sekolah mendidik integritas, sementara di televisi kita merayakan koruptor sebagai pahlawan.

 

Akhirnya, pendidikan karakter itu bukan lagi soal lulus ujian. Bukan juga soal dapat sertifikat “Siswa Teladan.” Pendidikan karakter itu soal siapa kita di saat tidak ada yang melihat, tak ada sorot CCTV di pojokan. Siapa kita ketika semua lampu sorot dimatikan.

 

Di dunia yang berisik, memilih menjadi baik adalah bentuk keberanian tersendiri. Menjadi manusia yang baik itu susah. Tapi itulah yang membuat hidup kita lebih bermakna.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *