Dalam senyap ruang kelas yang berdebu, di antara papan tulis yang mulai lapuk dan kursi-kursi kayu yang berderit, berdirilah seorang manusia yang membawa beban peradaban di pundaknya. Ia bukan pejabat tinggi, bukan pula pemegang kekuasaan besar, tapi dialah yang menanam benih-benih masa depan dalam jiwa generasi muda “guru”. Guru bukan sekadar profesi. Ia adalah wujud dari cita-cita luhur umat manusia untuk mewariskan ilmu, nilai, dan kebijaksanaan. Dalam dirinya, berpadu antara kecerdasan rasional dan ketulusan hati. Namun, ironisnya, dalam masyarakat yang semakin materialistik dan pragmatis, keberadaan guru kerap diletakkan di pinggir jalan sejarah yang dihormati dalam kata, tapi diabaikan dalam kebijakan.
Dalam tatanan peradaban yang beradab, guru menempati posisi strategis sebagai penjaga akal budi, penyalur nilai-nilai luhur, dan penggerak transformasi masyarakat. Namun, dalam realitas yang kita saksikan hari ini, posisi guru masih sering dipinggirkan, baik secara ekonomi maupun sosial. Kesejahteraan guru masih menjadi isu laten yang tidak kunjung mendapat penanganan fundamental. Dalam konteks ini, perlu kiranya kita merenungkan kembali bagaimana kesejahteraan guru bukan hanya masalah profesi, tetapi refleksi dari cara suatu bangsa memuliakan ilmu pengetahuan dan masa depannya sendiri.
Apa arti kesejahteraan bagi seorang guru? Bukan hanya sekadar angka dalam slip gaji atau nominal tunjangan yang datang sesekali. Kesejahteraan adalah ruang batin yang lapang, tubuh yang tidak letih karena harus mengajar sambil bekerja sambilan, dan hati yang tenang karena tahu anak-anaknya bisa sekolah tanpa harus meminjam uang. Dalam filsafat Timur, hidup yang seimbang adalah hidup yang tidak hanya mengurusi perut, tapi juga jiwa. Guru adalah penjaga jiwa bangsa. Maka menjadi paradoks yang memilukan ketika penjaga jiwa justru hidup dalam kekurangan. Seorang guru yang lapar bukan hanya krisis kemanusiaan, tapi juga pertanda retaknya fondasi peradaban.
Indonesia menjadikan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh pendidikan. Namun ironi muncul ketika guru-guru, khususnya guru honorer harus bertahan hidup dengan gaji yang jauh dari layak, bahkan di bawah upah minimum regional. Sering kali mereka harus menjalani profesi ganda demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, yang pada akhirnya berpengaruh pada kualitas pengajaran dan kestabilan emosional mereka. Dalam filsafat eksistensialisme, manusia tidak hanya dipandang dari keberadaannya, tetapi juga dari kemampuan untuk merealisasikan potensinya. Guru yang terus-menerus dicekik oleh realitas ekonomi tidak memiliki ruang eksistensial untuk bertumbuh secara penuh sebagai pendidik. Mereka terjebak dalam rutinitas yang melelahkan dan kehilangan ruang untuk belajar, merenung, dan berkembang.
Guru bukan pencari kekayaan. Ia tak hidup untuk mengoleksi harta. Tapi bukan berarti ia harus puas hidup dalam keterbatasan. Jika negara memintanya mencerdaskan anak bangsa, maka negara pula yang wajib memastikan ia bisa hidup layak, bermartabat, dan dihargai. Seorang filsuf Yunani kuno, Diogenes, pernah berkata bahwa manusia tercerahkan bukan melalui nasihat, tapi dari contoh yang hidup. Di sinilah guru memainkan peran penting sebagai makhluk hidup yang menjadi teladan. Namun, bagaimana bisa ia memberi teladan ketangguhan, integritas, dan kecerdasan, jika ia sendiri harus berjuang setiap hari melawan kesulitan ekonomi? Bangsa yang besar bukan hanya diukur dari gedung-gedung pencakar langit atau angka pertumbuhan ekonomi, melainkan dari bagaimana ia memperlakukan guru-gurunya. Jika guru disepelekan, maka sesungguhnya bangsa itu sedang menyiapkan kehancurannya secara perlahan. Karena pendidikan yang lemah akan melahirkan generasi yang rapuh, mudah diombang-ambing arus, dan kehilangan arah.
Sekolah adalah titik awal peradaban. Di sanalah nilai kejujuran, kerja keras, dan cinta tanah air ditanamkan. Dan benih itu tak mungkin tumbuh jika guru sebagai penanamnya tidak diberi alat, tanah yang subur, dan air yang cukup. Kita hidup di negeri yang konon menjunjung tinggi pendidikan. Namun, hingga hari ini, masih banyak guru honorer yang dibayar jauh di bawah upah minimum. Ini bukan lagi soal teknis birokrasi atau keterbatasan anggaran, ini adalah soal kehendak moral. Apakah kita rela menitipkan masa depan anak-anak kita pada seseorang yang tak bisa menanggung masa depannya sendiri? Apakah kita tega berharap lahirnya siswa-siswa cerdas dari tangan-tangan yang tak mampu membeli buku untuk dirinya sendiri?
Kesejahteraan tidak boleh dimaknai secara sempit hanya sebagai jumlah nominal yang diterima setiap bulan. Ia mencakup jaminan kesehatan, kepastian status kerja, pengembangan kompetensi berkelanjutan, serta pengakuan moral dari masyarakat. Guru yang sejahtera adalah mereka yang dapat mengajar tanpa dibayangi kecemasan akan kebutuhan hidup esok hari. Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menekankan pentingnya pendidikan sebagai proses pembebasan. Tetapi bagaimana mungkin guru dapat membebaskan jika dirinya sendiri tidak bebas dari tekanan struktural yang menindas? Oleh karena itu, memperjuangkan kesejahteraan guru adalah upaya membebaskan pendidikan dari belenggu ketimpangan.
Kesejahteraan guru bukan sekadar urusan gaji dan tunjangan. Ia mencakup hak atas pelatihan yang berkelanjutan, lingkungan kerja yang layak, pengakuan sosial yang adil, serta perlindungan hukum dari kekerasan dan pelecehan. Guru harus diberi ruang untuk tumbuh, belajar, dan berkarya. Karena pendidikan sejati hanya bisa muncul dari guru yang juga terus belajar. Pemerintah memang telah membuat berbagai program seperti sertifikasi, pengangkatan guru ASN PPPK, dan tunjangan profesi. Tapi kerap kali, pelaksanaannya tidak konsisten, penuh birokrasi, dan menciptakan jurang baru antara guru yang “dianggap layak” dan yang tidak. Ini menciptakan luka batin baru yang justru memperlemah solidaritas di kalangan guru sendiri. Selain itu, dunia usaha, masyarakat sipil, dan lembaga pendidikan tinggi juga harus ambil bagian dalam upaya memuliakan guru. Kita bisa menciptakan kolaborasi yang mendukung peningkatan kapasitas guru, memberi akses teknologi, atau bahkan sekadar memberi apresiasi yang tulus.
Ada pepatah bijak yang mengatakan, “Jika ingin melihat masa depan sebuah bangsa, lihatlah bagaimana ia memperlakukan gurunya hari ini.” Kita sedang hidup di era di mana informasi melimpah, tapi kebijaksanaan langka. Di sinilah pentingnya peran guru bukan sekadar pengajar, tapi penunjuk jalan dalam gelapnya zaman. Kita bisa membangun jembatan terpanjang, menciptakan teknologi tercanggih, atau meraih pertumbuhan ekonomi tercepat. Tapi semua itu akan kosong jika tak dibarengi dengan kemajuan akal budi. Dan kemajuan akal budi hanya mungkin jika gurunya dimanusiakan, dihormati, dan disejahterakan.
Pada akhirnya, sejarah akan mencatat bukan seberapa banyak kekayaan yang kita kumpulkan, tetapi seberapa dalam kita menghargai mereka yang telah menyalakan lilin-lilin ilmu dalam kegelapan zaman.