Dunia (bukan) Panggung Sandiwara_IBS

Dunia (Bukan) Panggung Sandiwara

Kita sering mendengar kalimat, “Dunia ini panggung sandiwara,” entah dari lirik lagu lawas atau dari celoteh orang bijak yang mendadak filosofis saat nongkrong di warung kopi. Tapi mari kita luruskan sedikit: dunia bukan panggung sandiwara… setidaknya bukan jenis sandiwara yang penuh kepura-puraan karena dunia ini adalah kenyataan.

Panggung, sejatinya, bukan cuma sekadar tempat mementaskan teater atau menyalurkan hobi sambil ngarep viral. Ia bisa jadi ruang sakral. Tempat amal sholih. Iya, betul, panggung bisa jadi ladang pahala. Di sanalah kita bisa menumpahkan kreativitas, membagikan ilmu, menunjukkan kejujuran, kecerdasan, kejenakaan, dan tentu saja: budi pekerti. Jangan lupa, semua itu harus bisa dipertanggungjawabkan—baik saat tirai dibuka, pertunjukan berlangsung, maupun setelah lampu dipadamkan dan penonton pulang.

Proses kreatif tak ubahnya latihan ruhani dan intelektual. Menulis puisi, membuat esai, menggubah cerpen, menyusun opini, sampai menyampaikan kajian spiritual atau kesehatan—semuanya bisa jadi proses mendalam untuk mengasah kepekaan, mental, dan pengetahuan. Dan tentu, bisa menginspirasi penonton atau pembaca yang budiman (atau setidaknya yang belum ketiduran).

Tapi satu hal penting: jangan salah panggung dan salah penonton. Bayangkan Anda datang ke diskusi budaya, sudah siap menyimak soal sejarah batik, eh tiba-tiba ada yang orasi politik. Atau hadir ke forum lingkungan hidup, tapi yang dibahas malah tren skincare. Lah? Salah panggung, Bung! Kalau panggung salah, pesan tak sampai. Kalau penonton salah, bisa-bisa dilempar sandal (walau virtual). ha…ha…haaaa

Lalu, kenapa sih dunia disebut panggung sandiwara? Kenapa harus ‘sandiwara’, bukan ‘drama musikal’ atau ‘monolog eksistensial’? Mungkin karena sandiwara terdengar dramatis dan sedikit… penuh tipu-tipu. Tapi mari kita tengok firman Allah dalam QS. Al-An’am: 32: “Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau belaka.” Tapi tunggu, di ujung ayatnya ada punchline penting: “Apakah kalian tidak berfikir?” Nah, ini bukan ajakan main-main, tapi justru ajakan merenung. Peringatan agar kita tak terlena dan lupa peran utama kita di dunia: beribadah.

Dengan begitu, panggung kehidupan ini hakikinya menjadi sarana ibadah. Bukan sekadar tempat tampil gaya atau unjuk eksistensi, tapi ruang untuk saling mengingatkan: siapa kita, untuk apa kita hidup, dan bagaimana peran kita dalam “naskah besar” semesta.

Tentu, kita akui, manusia memang punya ketertarikan tinggi pada hal-hal yang indah dan menggiurkan—walau itu bohong belaka. Dunia ini kadang seperti film romantis: penuh bualan manis dan rayuan gombalisasi yang membuat kita lupa bahwa hidup itu bukan sinetron, apalagi sinetron yang episodenya tak kunjung habis. Jangan sampai kita keasyikan dengan plot dunia yang fiktif dan lupa dengan naskah kehidupan yang sejati.

Maka, wahai para pemeran hidup, mari kita mainkan peran sebaik-baiknya. Tak perlu berlebihan, tak perlu banyak akting palsu. Cukup jadi diri sendiri, tapi yang terbaik versinya. Karena ketika lampu padam dan tirai ditutup, semoga ada tepuk tangan dari langit yang menyambut peran yang telah kita mainkan.

Wallahu a’lam.

Semoga setiap peran yang kita mainkan membawa keberkahan, bukan tepuk tangan semu.
Aamiin.

IBS, Bekasi – Dzulqa’dah 1446 H

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *