Gaza,
kau adalah luka yang enggan sembuh,
tapi masih mampu menumbuhkan mawar
di retak-retak dada yang ditanam peluru.
Langitmu,
adalah jubah duka yang disulam dari jerit,
ia tak lagi biru—
melainkan nisan yang tergantung di tiap awan.
Anak-anakmu berjalan di atas puing
seperti burung-burung patah sayap
yang tak pernah kehilangan arah pulang—
meski langit lupa cara membuka pagi.
Ibumu menanak air mata dalam panci retak,
menyajikan harap dengan rasa debu,
dan tetap menyusui dunia
dengan sabar yang tak bisa dipinjamkan.
Gaza,
kau adalah puisi yang tak sempat ditulis Tuhan,
tapi disalin jutaan kali
di dada-dada manusia yang masih punya nurani.
Angin di tubuhmu berbicara dalam bahasa perih,
namun tak ada kematian
yang bisa membunuh kenangan tentang keberanianmu.
Malammu bukan gelap,
ia adalah sutra pekat tempat doa-doa bermukim—
dilipat rapi oleh tangan-tangan
yang telah kehilangan segalanya,
kecuali iman.
Jika dunia membungkam namamu,
biarlah puisiku menjadi jendela
yang terus terbuka
meski tembok peradaban mulai membatu.
Karya Intan Muzahiyatul Latifah