Oleh: Heri Haliling
Belakangan ini kebijakan dan pendisiplinan di sekolahku mulai terkesan ngawur. Sebagai Gen_Z, aku merasakan sebuah perpeloncoan dan kerja rodi tengah menguar. Seyogyanya yang ku baca di media sosial, siswa itu hanya memiliki misi untuk belajar. Tidak yang lain!
Namun keputusan Pak Aris, kepala sekolah kami ini berbeda. Mungkin karena trauma masa sekolah dulu, beliau dengan seenak telunjuk menitahkan kami harus bawa bibit pisang. Lebih rendah lagi, kamilah yang harus menanamnya.
Jika sudah begini, aku dan yang lain tak bakal tinggal diam. Apa guna ilmu yang ku pelajari? Wejangan para pengamat pendidikan di media sosial itu cukup membuat biji jadi daging. Sebagai ketua OSIS yang dianggap mumpuni, aku menolak!
Melalui permohonan waktu dari beliau, kami anggota OSIS ingin berdiskusi. Pikiranku sendiri telah mantap dengan beberapa rencana. Jika hasil diskusi tak memihak kami, orang tua melalui temu komite wajib tau. Andai tak akui salah juga, huh! Tunggu saja, akun andalan kami siap viralkan ini semua.
“Apakah benar, Pak. Dengan seabrek daya guna media sosial begini, AI, dan penunjang lainnya. Masih pantaskah tangan kami harus ikuti prinsip kolonial?” seruku mantap. Semua quotes di akun yang aku ikuti itu benar-benar menata kata dan pikiranku.
Pak Aris tersenyum di kursi. Ku sangka itulah tameng terbaiknya. Mencoba menenangkan diri dari ketersudutan. Baiklah, ku yakin kemelut pada dasarnya mengabut di jiwanya.
Beliau raih mikrofon. Kami yang duduk khidmat di ruang aula itu bersiap menyimak.
“Saya akan menegaskan dulu tentang pernyataan ini. Saya tak akan memaksa menerima, minta dukungan, apalagi membenarkan. Bagus yang Sakti bilang ‘prinsip kolonial’. Begini..,” beliau menggeser siku. “Kalau bicara kolonial, berarti kalian meminta penjelasan seputar sejarah. Dan harus diakui bahwa, sebagian informasi dalam sejarah mungkin seharusnya direvisi. Salah satu hal tentang kolonial yang sering dikaitkan dengan kerja rodi. Saya yakin sebagian yang ada di ruang ini meyakini bahwa kebijakan membawa bibit pisang itu seolah kerja rodi.”
“Tanpa kurang rasa hormat saya, itu benar adanya, Pak,” timpal Ritus. Dia rekan organisasi yang cakap. Pikiranya tajam sama dengan tusukan matanya. Diberkahi alis tebal, engkau tak akan temui keraguan dari pijar bola matanya.
“Baik, baik..,” angguk Pak Aris. “Taukah kalian jika semua kerja rodi tersebut oleh Gubernur Deandels dibayar? Ada inkam yang diberikan namun putus oleh pembesar-pembesar pribumi?”
“Apakah ini tak keluar dari tema, Pak?” tukasku tak mau kalah.
Pak Aris yang sebenarnya sejak tadi ditemani Bu Salindry selaku ketua Tim Pengembang Sekolah, dan Bu Magdalena selaku bendahara BOS mulai mempersilakan giliran. Bu Salindry yang bertubuh sedikit gempal sekarang sedang asyik menarikan jemari di atas keyboard. Proyektor menyala menampilkan berkas dalam bentu exel.
“Ada yang masih ingat visi SMAN 3 Sine Qua Non?” tanya Bu Salindry.
Apalagi ini. Pertanyaan receh. Beliau menguji kekritisan kami. Segera ku sambut dengan tegas.
“Menjadikan siswa yang berkebhinekaan, budi pekerti luhur, kreatif, kritis, berdaya guna teknologi, seni, dan budaya dengan berorientasi pada disiplin, kerjasama, sikap membangun, serta toleransi.”
Pak Aris memulai tepuk tangan dan segera disambut oleh lainnya.
“Saya penuh kebanggaan mendengar kefasihan yang kamu sampaikan, Sakti,” puji Bu Salindry. “Sekarang coba simak baik-baik penjelasan saya..”
Penjelasan dimulai dengan tampilan layar yang berpindah-pindah. Kebanyakan bentuk tabel dan diagram. Dalam uraiannya, Bu Salindry mengatakan bahwa apa yang diprogramkan sekolah termasuk salah satunya berkebun mampu menghasilkan peningkatan perlombaan dan kegiatan yang bermanfaat untuk SMAN 3 Sine Qua Non. Agenda itu telah berlangsung dari sekian tahun yang lalu. Namun sempat mangkrak karena covid. Sekarang program itu dijalankan kembali pada masa kami yang mulai menginjak bangku kelas XI. Data yang dipaparkan adalah surplus anggaran penggunaan yang begitu rinci setiap jenjang dan penanggalan.
“Bukankan setiap anggaran dana itu telah dihitung perkepala siswa? Pemerintah telah suntikkan itu. Lantas kemana? Apa tak cukup?” tanya Ritus berani.
Bu Magdalena yang merasa ini adalah seruan untuknya segera meminta izin untuk mengambil alih mikrofon.
“Yang kamu sebut itu adalah dana BOS. Semua file yang berisi alokasi penggunaan ada pada saya. Setiap tahun kita selalu undang orang tua untuk membahas tentang ini. Berhubung Ritus memang siswa yang kritis, saya izinkan jika kamu mau minta filenya. Bentuknya kurang lebih demikian. Dana ini cair 2 kali dalam setahun, Januari-Juni dan Juli-Desember. Kebanyakan untuk ATK, sarana prasarana sekolah seperti proyektor setiap kelas, perbaikan taman, pagar, parkir, dan lain-lain. Jika dulu bisa dicanangkan sebagai pembayaran guru honor. Karena sekarang tak boleh lagi ada guru honor, maka peralihan anggaran digunakan seperti yang saya sampaikan barusan. Silakan hubungi ibu dan minta file pada tahun ajaran ke berapa yang Ritus dan OSIS inginkan.”
Jujur penjelasan beliau-beliau ini berdasar fakta. Namun tentunya kami tak akan melepas dari pangkal masalah. Salah satu rekanku, Arin dengan tanpa ragu mulai bertanya tentang poin awal. Apalagi dengan kaitan Visi sekolah. Dia yang seorang gadis cadas selalu juara dengan terampil menyerukan argumen. Dan aku begitu kagum.
“Benar, Arin. Tak salah yang kamu ungkapkan. Ditambah program membawa botol aqua bekas tentu memperolok masa muda kalian. Pelajar mana yang sudi dengan program demikian? Tapi apakah kamu tahu Arin? Dan juga yang lain,” suara Pak Aris dalam. Keluar mungkin dari relung kesungguhan hatinya. “Jaminan apa yang diberikan dunia untuk kalian? Seberapa yakin keadaan setelah kalian lulus nanti sesuai keinginan kalian?”
Kami tahu ini adalah pertanyaan retoris. Maka kompaklah kami diam untuk sekadar menunggu momen lanjutannya.
“Saya tak menakuti kalian dengan sikap pesimis menyongsong masa depan. Saya siapkan kalian bukan hanya menjadi siswa berkeilmuan, tapi juga terampil kreatif untuk bekal cadangan. Belajar memang tak ada sangkut paut dengan tanam menanam atau pulung memulung. Sebagian kalian mampu dan saya yakin memberdayakan teknologi sebagai ajang tambah ilmu dan penghasilan. Prinsip kolonial yang kalian kritisi membantu kalian membentuk antibodi. Ditempa kebiasaan menjadi pengalaman. Dunia kuliah apalagi kerja memerlukan bukan hanya kepintaran, tapi mental dan pendekatan. Melesong dan mencangkul bahkan berwirausaha dengan produk hasil garapan kalian sendiri menjadikan sebuah kepuasan dan nilai perjuangan tersendiri. Berdikari! Kalian tahan disegala medan kerja dengan segambreng keinginan atasan yang mungkin nanti seolah di luar job deskripsi.”
Pak Aris melanjutkan untuk mengamati semua pengeluaran yang ditampilkan proyektor, menggugah kami sebagai pribadi yang jangan hanya melipat tangan tetapi terjun dalam keadaan. Ku pandangi dengan cermat dan kesempatan gugat kami pada kesempatan kali ini seolah tandas.
*
Usai kami siarkan hasil pertemuan OSIS dan kepala sekolah tempo lalu kepada teman-teman di seluruh kelas, tepat Jumat ini kami, siswa SMAN 3 Sine Qua Non kembali harus berkegiatan tanam pisang.
“Ayolah, Arin uruk tanah itu dengan benar. Kamu Ritus, kokohkan pegangan cangkulmu. Jangan lembek begitu, dong?” seru Pak Yono, guru olahraga.
“Wah bapak, membuli ini,” timpal Ritus tak terima. Arin juga kabur tanpa pamit.
“Tenang, udah ku videoin barusan. Tinggal viral,” serobot Anjar dengan keyakinan.
Aku yang dengar bincang-bincang panas di lokasi itu mendekat.
“Sebagai guru, Pak Yono nggak boleh bilang begitu. Ini kesalahan!”
“Ya. Ya…Ya,” jawab yang lain.
“Sudah viralkan aja. Biar Pak Yono kapok! Guru macam apa yang taunya suruh tanpa intropeksi diri. Membuli lagi!” teriak seorang teman.
Pak Yono bingung. Roman wajahnya yang cokelat bersemat ketakutan. Tak berselang lama, Arin yang memutuskan pergi telah datang bersama Pak Aris. Dari kotoran di kaosnya, ku pastikan kepala sekolah kami itu usai bermandi tanah.
“Benar kata Arin, Pak Yono?” selidiknya dengan mata tajam.
Pak Yono mengakui. Dan pengakuan dengan ekspresi begitu sungguh merupakan kemenangan.
“Ritus, Arin, dan kau, Sakti mendekatlah ke sini,” perintah Pak Aris.
“Kalian bisa tanam tunas pisang ini berapa menit?”
“Lima menit ini kelar, Pak,” ungkap Ritus mantap.
Kepala sekolah mempersilakan untuk mencoba da kami segera memulai. Secara bergantian kami bertukar peran dalam memainkan cangkul. Sesekali Pak Aris mengejan melihat kekikukan kami. Dengus tertahan dari lubang hidung beliau tak ayal menjadi intimidasi nyata.
“Tus, pegang tangkai bukan tengahnya. Aduh gak cukup waktu kalau kamu garuk macam sekopan gitu?” gerutuku sedikit jengkel.
Ritus yang kurang terima ku nasihati segera balik memuntahkan kedongkolannya. Di sela itu Arin mencoba memberi semangat agar tetap bersatu. Toh ujung-ujungnya tetaplah perdebatan itu mengisi jalannya proses tanam pisang.
“Cukup. Hentikan mencangkulnya!” tegas Pak Aris.
Satu teman yang melihat menceletuk ejek. Arah celetukannya menuding pada kesalahan satu di antara kami. Jujur karena bukan aku yang disematkan, maka spontan saja aku setuju pada kritikannya.
“Apa yang kalian rasakan?”
Kami bertiga saling tatap. Saling tunggu, siapa yang mau menyerukan kegagalan ini.
“Kurang kompak, Pak,” Arin beranikan diri mewakili.
Pak Yono mendehem. Bisa ku saksikan mendung itu sirna. Sementara badai malunya malah pindah ke kami.
“Sekarang, apakah teguran Pak Yono ini keliru? Atau mungkin ego pikiran kita saja yang menolak kritikan? Jauhkan bala, semoga malah tak menolak ilmu pengetahuan,” tandas Pak Aris.
Beliau kemudian mundur dari lokasi itu. Ku sangka mungkin Pak Aris sedang memekuri diri dalam ruang. Sekadar menimbang konsep lanjutan. Tapi tidak demikian. Sebuah panggilan suara beliau di toa sekolah membuat kami berhenti beraktivitas. Kami diminta berkumpul di lapangan.
Semuanya mengerumun seperti semut.
“Siswa sekalian capek?”
Serempak menjawab, “Iya!”
“Apakah ini berhubungan dengan pelajaran?”
Sebagian besar menyeru, “Tidak!!”
“Apakah semesta akan selalu melayani kondisi hidup yang kalian inginkan?”
“Tidak!!?” celetuk segilintir.
“Selama kamu bekerja ikut instansi, maka keterampilan dan kreativitas di samping pekerjaan utama itulah modal yang wajib kamu punyai. Sebenarnya tak hanya instansi, bahkan dalam masyrakatpun kamu wajib punya. Saat gotong royong jika hidupmu kamu habiskan pada teori dan hanya satu bidang, kamu akan bingung dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Istilahnya kebingungan tentang apa yang dikerjakan. Belajar sampai akhir hayat bukan hanya tentang kognitif, tapi juga psikomotorik. Lantas bagaimana jika kamu tetap pada pendirianmu? Maka mungkin wirausahawan merupakan pilihan,” jelas beliau dengan tangan terbuka seolah menyambut kami.
“Tapi saya tetap tak setuju pembulian, Pak. Suka tak suka, masyarakat akan mengguggat sikap seperti Pak Yono tadi. Saya sudah upload,” ancam Anjar dengan bangga. Dia pun berbicara sambil mengacungkan ponselnya.
“Silakan jika itu pilihanmu. Di era Gen-Z ini banyak jutawan muda, dokter, dan selegram kaya raya yang memberi motivasi bukan lagi memupuk sebuah kemalasan atau mendengar rengekan. Sebaliknya mereka blak-blakan berikan tamparan, umpatan, sumpah serapah agar apa? Agar kita sadar dan tau bahwa kadang memang itu sebuah kebenaran. Orang bodoh lebih berbahaya daripada orang jahat kata seorang filsuf dari Jerman. Mengapa demikian? Sebab orang bodoh mempunyai kecenderungan tak membuka kepala untuk terima ilmu pengetahuan. Orang jahat itu motifnya jelas. Setinggi apapun jabatannya, sealim apapun sandangannya kalau tak mau terima kebenaran dan jadikan cambukan untuk berubah maka jelaslah dia mudah digulirkan oleh propaganda dan kelompok. Dari itu dia tak lagi punya pikiran benar atau salah, yang ada hanya senang dan perasaan menang. Begitulah keadaan yang ada dalam kegiatan siang ini. Banyak di antara kalian yang hanya membuka kebenaran pada satu rel. Menolak yang tidak sejalan. Merasa kuasa dengan media dan dukungan padahal bukti dari sikap dan aktivitas yang dikerjakan memang sesuai dengan yang disindirkan.”
Gluk. Aku telan ludah. Entah perasaan malu ini ada muncul tidak dibenak kawan-kawanku itu. Memang menyakitkan yang dibilang Pak Yono. Tapi benar sindiran itu. Satu-satunya hal untuk menggugat bukan dari rengekan aduan kepada khalayak yang tak tau duduk perkaranya, melainkan dari tindakan yang dengan sendirinya mematahkan anggapan Pak Yono. Tindakan terukur dan terlahir dari jiwa dan kepala yang menerima ilmu pengetahuan.
Ritus, Arin, dan Anjar mendekat. Berbisik:
“Gimana Sakti?”
Aku hela napas. Tersenyum kepada mereka:
“Anjar, hapus video yang telah kamu upload.”
Dalam siraman terik matahari, mereka membalas senyumku. Memahami dan membuka cakrawala diri.
____Selesai_____
Bionarasi
Heri Surahman memiliki nama pena Heri Haliling. Pria kelahiran Kapuas, 17 Agustus 1990 itu adalah seorang guru di SMAN 2 Jorong di Kalimantan Selatan. Selain mengajar, Heri Haliling juga aktif sebagai penulis. Beberapa karyanya antara lain Novel Perempuan Penjemput Subuh (PT Aksara Pustaka Media, 2024), Novelet Rumah Remah Remang (J-Maestro, 2024), buku kumpulan cerpen Perempuan Penggenggam Pasir (Guepedia, 2025). Heri Haliling juga gemar mengikuti penulisan antologi di antaranya:
1. Buku antologi puisi “Abad Burung Gagak di Palestina (Lintas Aksara, 2015),
2. Buku antologi cerpen “Senandung Cinta” (Redirzen, 2024),
3. Buku antologi cerpen “Tuhan, Aku sedang Berusaha. Bantulah Aku” (Teori Kata, 2024),
4. Buku antologi cerpen “Liliy dalam Dekapan Laut” ( PT Binar Cipta Pratama, 2024),
5. Buku antologi cerpen “Goresan Perasaan Kita” (Ka’ros’ Publisher, 2024), dan
6. Buku antologi cerpen nasional guru dan dosen (Sediksi Publisher, 2024).
Keikutsertaan Heri Haliling dalam lomba tulis menulis akhirnya membuahkan hasil, di antaranya:
1. Novel “Perempuan Penjemput Subuh” menjadi juara ke-2 Lomba Cipta Novel Guru dan
Dosen yang diselenggarakan PT Aksara Pustaka Media.
2. Cerpen “Sekuntum Mawar dengan Tangkai yang Patah” mendapat juara ke-3 Lomba
Cipta Cerpen Nasional Guru dan Dosen dari Sediksi Publisher.
3. Cerpen “Kasih dalam Sebuah Boneka” memperoleh harapan terbaik pada lomba cerpen Poetry Publisher.
Selain gemar mengikuti antologi, Heri Haliling juga kerap mengirim sejumlah tulisannya ke media cetak atau digital.