Zaman berubah lebih cepat daripada kemampuan manusia menyesuaikan diri. Dalam dua dekade terakhir, dunia pendidikan menghadapi revolusi besar: digitalisasi, kecerdasan buatan (AI), media sosial, dan globalisasi yang menghapus sekat ruang dan waktu. Anak-anak kini hidup dalam dunia serba terhubung, di mana informasi datang tanpa henti dan dalam berbagai bentuk. Sementara itu, banyak sekolah dan pendidik masih berjuang menyesuaikan cara mendidik agar tetap relevan.
Pertanyaannya, apakah pendidikan hari ini benar-benar menyiapkan generasi untuk zaman mereka, atau justru masih mendidik dengan pola pikir masa lalu? Di sinilah letak dilema besar: pendidikan berada di persimpangan antara mengikuti arus zaman dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang abadi.
Era digital mengubah cara manusia belajar dan berpikir. Menurut laporan World Economic Forum (2023), 65% anak yang kini duduk di bangku SD akan bekerja pada profesi yang belum ada hari ini. Dunia tidak lagi membutuhkan sekadar penghafal, tetapi pemikir, kreator, dan kolaborator.
Revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0 menuntut kompetensi baru: literasi digital, kolaborasi lintas budaya, kemampuan berpikir kritis, serta kecerdasan emosional. Namun, teknologi yang sama juga melahirkan paradoks. Informasi mudah diakses, tapi sulit diverifikasi. Generasi muda tumbuh dengan kecepatan, namun kehilangan kedalaman.
Laporan UNICEF Indonesia (2024) menyebut lebih dari 70% remaja Indonesia aktif di media sosial, sementara hanya sekitar 40% yang memahami keamanan dan etika digital. Guru kini bukan hanya pengajar ilmu, melainkan penjaga moral dan nalar kritis di tengah derasnya banjir informasi. Tantangan utamanya bukan sekadar “mengajar dengan teknologi,” tetapi “mendidik dengan kesadaran digital.”
Inilah jantung dilema pendidikan masa kini: benturan antara nilai lama yang dijunjung tinggi dan tuntutan baru yang lahir dari dunia modern.
Pertama, dilema nilai dan moralitas. Dunia digital membuka ruang tanpa batas, tetapi juga tanpa pagar. Akses informasi yang bebas sering tidak disertai tanggung jawab etika. Anak-anak bisa belajar apa pun dalam hitungan detik—termasuk hal yang belum siap mereka cerna. Guru menanamkan nilai kesopanan, tanggung jawab, dan kejujuran, namun media sosial sering menampilkan ketenaran instan dan sensasi sebagai tolok ukur keberhasilan.
Kedua, dilema otoritas guru dan kebebasan belajar. Jika dulu guru adalah satu-satunya sumber pengetahuan, kini peran itu digantikan oleh mesin pencari dan video daring. Anak-anak merasa tidak perlu bertanya kepada guru, sementara guru merasa kehilangan peran sentralnya. Padahal, pendidikan sejati bukan sekadar mentransfer pengetahuan, melainkan membentuk kepribadian dan kebijaksanaan.
Ketiga, dilema kurikulum. Pemerintah sudah berupaya menyesuaikan diri dengan zaman melalui berbagai pembaruan, termasuk Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikdasmen) Nomor 13 Tahun 2025 yang menetapkan 8 dimensi profil lulusan dalam pembelajaran mendalam (deep learning). Namun, implementasinya sering terbentur pada pola lama yang masih berorientasi pada ujian, bukan pada pemaknaan belajar.
Keempat, dilema orang tua. Banyak orang tua masih terjebak antara dua kutub: memberi kebebasan agar anak melek teknologi, atau membatasi agar tidak “terseret arus.” Data Kementerian Kominfo (2023) menunjukkan rata-rata anak Indonesia usia 10–14 tahun menghabiskan 5–6 jam per hari di depan layar, menurunkan waktu interaksi sosial dan kemampuan fokus. Pendidikan di rumah pun menghadapi tantangan baru.
Di tengah berbagai dilema itu, Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 memberikan arah baru: pendidikan tidak hanya mengejar prestasi akademik, tetapi membentuk profil lulusan yang utuh dan mendalam melalui delapan dimensi kompetensi.
Delapan dimensi tersebut meliputi:
- Keimanan dan Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa — landasan spiritual dan moral sebagai arah perilaku.
- Kewargaan — kesadaran berbangsa, menghargai keberagaman, serta tanggung jawab global.
- Penalaran Kritis — kemampuan berpikir logis, analitis, dan reflektif dalam menyelesaikan masalah.
- Kreativitas — keberanian berinovasi dan menghasilkan ide orisinal yang bermanfaat.
- Kolaborasi — kemampuan bekerja sama, berempati, dan membangun sinergi.
- Kemandirian — daya inisiatif, tanggung jawab, serta kesadaran untuk belajar sepanjang hayat.
- Kesehatan — menjaga keseimbangan fisik dan mental agar dapat berkontribusi secara optimal.
- Komunikasi — kemampuan menyampaikan gagasan secara efektif dan beretika dalam berbagai konteks.
Delapan dimensi ini sejatinya adalah upaya memperkuat pendidikan karakter berbasis pembelajaran mendalam. Sekolah tidak hanya dituntut mengajarkan pengetahuan, tetapi juga memfasilitasi pengalaman belajar yang bermakna — proyek lintas disiplin, diskusi reflektif, dan kolaborasi nyata di masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan menjadi jembatan antara tradisi dan inovasi: menanamkan nilai kemanusiaan sekaligus menyiapkan kompetensi abad ke-21.
Pendidikan sejati tidak berhenti pada menyesuaikan diri dengan zaman, tetapi berperan dalam mengarahkannya. Kita tidak dapat mendidik anak-anak hanya untuk hidup di dunia kita; kita harus menyiapkan mereka untuk dunia mereka — dunia yang belum kita kenal.
Namun di tengah semua inovasi, satu hal tidak boleh hilang: kemanusiaan. Kejujuran, empati, dan tanggung jawab tidak pernah lekang oleh waktu. Teknologi dapat mengubah cara kita belajar, tetapi hanya nilai yang mampu menjaga arah hidup manusia.
Sebagaimana pesan Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak.” Maka, tugas kita bukan sekadar membuat anak-anak menyesuaikan diri dengan zaman, tetapi membantu mereka tumbuh menjadi manusia yang mampu mengarahkan zaman dengan akal sehat dan hati nurani.
Dilema mendidik sesuai zaman bukan untuk dihindari, melainkan untuk dihadapi dengan kesadaran dan kebijaksanaan. Dunia akan terus berubah, namun pendidikan harus tetap menjadi kompas moral yang menjaga arah.






