Pagi itu udara Desa Sumberjati masih berembun. Di ruang kelas IV SD Negeri Sumberjati 1, suara anak-anak bergema, tawa mereka menyatu dengan sinar matahari yang menembus jendela.
Pak Arif Santosa, guru kelas yang berusia empat puluhan, berdiri di depan papan tulis. Rambutnya mulai beruban, tapi matanya tetap jernih memancarkan semangat. Ia menulis:
½ + ¼ = ?
“Siapa yang bisa menjawab?” tanyanya.
Beberapa tangan terangkat, tapi di bangku belakang Dimas menunduk, sibuk dengan ponselnya di bawah meja. Cahaya layar memantul di pipinya.
“Dimas,” panggil Pak Arif lembut. “Kalau kamu sudah bisa menghitung, bantu Bapak nanti ya.”
Anak itu tersipu, cepat-cepat menyimpan ponselnya. Pak Arif tahu, memarahi bukan lagi cara yang tepat. Ia mencoba menuntun tanpa menjatuhkan.
Namun di dalam hati, ia bertanya lirih: Apakah ini yang disebut pendidikan sesuai zaman — atau menyerah pada zaman?
Di ruang guru, Bu Rini sibuk dengan laptopnya.
“Pak Arif, sekarang semua laporan nilai pakai sistem digital. Katanya biar lebih efisien.”
Pak Arif menghela napas. “Tapi sinyal di rumah sering hilang. Kalau listrik padam, bagaimana?”
Bu Rini tersenyum getir. “Namanya juga kemajuan, Pak. Kita harus ikut.”
Ia mengangguk, meski hatinya belum siap. Ia tahu teknologi penting, tapi tidak semua murid punya kesempatan yang sama. Di desa ini, banyak yang masih berbagi satu ponsel untuk sekeluarga.
Beberapa hari kemudian, Pak Arif memperhatikan Laras, murid pendiam yang biasanya rajin, kini sering tak mengumpulkan tugas.
“Kenapa, Laras?” tanya Pak Arif setelah kelas usai.
Anak itu menunduk. “Saya nggak bisa kirim tugas lewat aplikasi, Pak. HP Ibu rusak.”
Pak Arif tercekat. Ia baru sadar, kebijakan sederhana untuk menyerahkan tugas lewat aplikasi justru membuat sebagian murid terpinggirkan.
Malam itu, ia duduk di rumahnya yang sederhana, memandangi buku catatan murid-muridnya. Zaman memang menuntut modernisasi, tapi apakah adil jika yang tidak punya alat harus tertinggal?
Sebulan kemudian, sekolah mengadakan pertemuan wali murid. Kepala sekolah, Pak Budi, berbicara dengan semangat:
“Kita akan menerapkan smart class. Anak-anak perlu siap menghadapi era digital.”
Beberapa orang tua bersorak setuju, tapi seorang bapak di pojok mengangkat tangan.
“Pak, kami di rumah sinyal susah, laptop nggak punya. Anak saya bisa ikut belajar?”
Ruangan seketika senyap. Pak Arif berdiri pelan.
“Bapak Ibu,” katanya tenang, “zaman memang berubah. Tapi esensi belajar tidak berubah. Kita tidak sedang mengganti hati dengan mesin. Anak-anak tetap butuh teladan, bukan hanya jaringan internet.”
Beberapa orang tua mengangguk. Ada yang terdiam lama, seolah baru mengerti.
Suatu sore, Pak Arif mencoba merekam video pembelajaran dengan ponsel tuanya. Ia tampak kaku di depan kamera, berulang kali salah ucap.
Dari jendela, Dimas dan dua temannya mengintip. “Pak, mau kami bantu edit?” tanya mereka riang.
Akhirnya mereka duduk bersama di kelas yang sepi. Dimas mengajari gurunya memakai aplikasi edit video. Pak Arif terkekeh melihat dirinya di layar, tapi di dalam hatinya tumbuh rasa hangat: ia tidak ketinggalan, hanya perlu belajar dari arah lain.
Beberapa minggu kemudian, video buatan mereka diputar di kelas. Anak-anak bersorak melihat gurunya menjelaskan pecahan dengan potongan semangka.
“Pak Arif jadi YouTuber!” teriak Dimas.
Tawa memenuhi ruangan. Laras menatap layar dengan mata berbinar. Setelah video selesai, ia maju dan berbisik, “Pak, saya mau belajar bikin video juga.”
Pak Arif tersenyum. “Boleh. Tapi jangan lupa, belajar bukan soal alat, tapi niat.”
Beberapa bulan berlalu. Video kelas mereka memenangkan lomba tingkat kabupaten. Bagi Pak Arif, penghargaan itu hanya bonus; yang lebih berharga adalah semangat anak-anaknya yang kembali hidup.
Suatu sore, Laras datang membawa amplop.
“Ini, Pak. Surat dari saya.”
Pak Arif membukanya. Tulisan kecil di atas kertas lusuh itu berbunyi:
“Pak Arif, dulu saya malu karena tidak punya HP. Tapi Bapak mengajari saya bahwa belajar bisa dari mana saja. Terima kasih sudah sabar.”
Pak Arif menatap surat itu lama. Ada rasa haru yang menyesak di dadanya. Ia sadar, mungkin inilah makna mendidik sesuai zaman: bukan mengejar perubahan, tapi menjaga agar nilai-nilai lama tidak hilang di dalamnya.
Suatu pagi, dari jendela kelas, Pak Arif memandangi sawah yang mulai menguning. Anak-anak duduk rapi, sebagian membuka buku, sebagian memegang tablet sumbangan sekolah.
Ia berdiri di depan kelas dan berkata pelan,
“Anak-anak, kalian boleh pandai menggunakan gawai, tapi jangan biarkan gawai menggantikan rasa ingin tahu. Belajar itu bukan hanya cepat tahu, tapi juga mengerti.”
Anak-anak mengangguk. Di luar, burung pipit terbang rendah di antara padi. Pak Arif tersenyum kecil. Dunia memang berubah, tapi hati manusia tetaplah pusat pendidikan.
Karena mendidik sesuai zaman bukan berarti tunduk pada zaman melainkan menjaga agar setiap perubahan tetap berpihak pada kemanusiaan.






