“Zaman sudah berubah. Anak-anak sekarang tak butuh guru lagi, Pak Ardi. Yang mereka butuhkan hanya paket internet yang lancar.”
Begitu kata Bu Rini kemarin di sekolah, sebelum kami berpisah ke rumah masing-masing. Ucapannya menempel di kepalaku hingga pagi ini seperti embun yang enggan menguap.
Embun itu masih menyelimuti rumput ketika aku melewati jalan setapak menuju SMP Nusantara 4. Jalan itu basah, seakan baru selesai menumpahkan rahasia malam. Aku berhenti sejenak untuk menarik napas panjang. Entah mengapa langkahku terasa lebih berat dari biasanya. Mungkin karena pernyataan Bu Rini? Mungkin juga karena sekolah ini? Sekolah yang dulu kukenal ramah dan sederhana, kini menjelma menjadi arena diam-diam. Sebuah arena antara guru yang bergerak mengejar zaman dan guru yang tetap bergeming dengan zona nyamannya.
Gedung sekolah tampak sama, cat birunya mulai mengelupas perlahan, tapi denyut di dalamnya berubah. Tidak semua guru siap berubah. Di ruang guru, perdebatan soal teknologi kini lebih bising daripada suara bel masuk. Ada yang semangat mencoba aplikasi-aplikasi baru, tapi lebih banyak yang merasa tersisih, terutama mereka yang sudah lama mengajar.
“Kalau semua serba digital, ngapain kita masih di sini?” kata Pak Surya setengah bercanda tapi kental getirnya, memecah keheningan pagi sebelum masuk ke kelas. “Anak-anak bisa belajar dari video. Dari AI. Dari apa pun yang bukan kita.”
Aku tak sempat menjawab. Sebagai guru yang berada di tengah-tengah, tak terlalu tua untuk mencoba hal baru, tetapi tidak cukup muda untuk bergerak lincah. Aku sering merasa berada di persimpangan yang membingungkan.
Sementara di halaman sekolah, suara langkah kaki murid SMP terdengar lebih berat daripada langkah murid SD. Anak-anak usia 13–15 tahun itu membawa dunia kecil di genggaman. Gawai dengan lampu notifikasi yang berkedip seperti jantung kedua. Beberapa saling bercanda, beberapa menunduk pada layar, beberapa bahkan berjalan sambil mendengarkan sesuatu.
Aku meninggalkan ruang guru untuk menuju kelas. Di perjalanan, aku melintasi dua guru yang sedang berdebat.
“Bu, materi literasi digital itu nggak saya pahami. Saya sudah bilang,” suara Pak Surya meninggi.
“Ini bukan soal paham atau tidak, Pak. Sekolah mau semua guru pakai aplikasi penilaian baru,” balas Bu Rini.
“Tapi kalau galat terus, siapa yang tanggung jawab? Nanti nilai anak-anak hilang!”
Aku lewat begitu saja. Mencoba tak ikut terseret dalam konflik. Meski diam-diam aku tahu, konflik itu menunggu di depan pintuku sendiri.
Aku berhenti di depan kelas 8B dengan nama barunya di sistem sekolah, yaitu Ruang Belajar Mandiri 3. Aku tidak pernah benar-benar suka nama itu. Nama yang menurutku terlalu dingin, seperti ruang rapat perusahaan. Dari luar kulihat anak-anak menatap layar masing-masing. Tidak ada obrolan pagi, tidak ada tawa yang biasanya mengudara sebelum jam pelajaran dimulai.
Sunyi. Sunyi yang aneh. Sunyi yang justru terasa gaduh oleh cahaya layar.
Ketika aku masuk, beberapa wajah terangkat. Tatapan mereka hangat sekaligus redup, seolah hanya sebagian dari diri mereka yang hadir di ruangan. Aku duduk, menunggu percikan percakapan tentang gim baru, tentang tugas seni, atau cerita tentang ayam yang baru menetas di rumah. Tidak ada satu pun.
“Pak, tugas hari ini lewat aplikasi lagi, ya?” suara Lila terdengar datar, tanpa menoleh.
Pertanyaan itu menusukku lebih dalam dari yang seharusnya.
Aku ingin berkata, “Tidak. Hari ini kita bicara. Kita bertanya. Kita mencari hal yang tidak bisa kalian dapat dari layar.”
Tapi kenyataan di sekolah ini jauh lebih keras. Kepala sekolah menuntut semua guru mengirim tugas lewat aplikasi. Data harus masuk. Laporan harus lengkap. Bukti digital harus ada.
Di ruang guru, guru-guru yang tidak paham teknologi dianggap lambat. Guru-guru yang terlalu paham teknologi dianggap sombong. Guru-guru di tengah-tengah, seperti aku, terombang-ambing di antara keduanya.
Lila kembali ke layarnya. Jari-jari mereka menari cepat, lebih cepat daripada tutur yang bisa kuucapkan. Dari sudut kelas, aku mendengar Pak Toni, guru matematika, berteriak di kelas sebelah.
“Laptop saya galat lagi! Anak-anak jadi tidak bisa mengerjakan soal!”
Suara itu disusul tawa kecil anak-anak di kelasnya.
Aku menutup mata sebentar. Konflik itu nyata. Teknologi semakin maju, tapi tidak semua guru punya waktu, kemampuan, atau keberanian untuk mengejar. Di tengah keriuhan perubahan, anak-anak sering kali malah kebingungan.
“Anak-anak,” kataku sambil berdiri. “Boleh matikan layar sebentar?”
Beberapa wajah langsung tampak curiga. Mereka menurut, tetapi dengan gerakan enggan. Begitu cahaya layar padam, wajah mereka seakan kembali ke masa sebelum digital mengambil tempat terlalu besar dalam hidup.
“Bapak ingin bertanya. Apa hal yang membuat kalian penasaran hari ini? Apa saja bisa disebutkan meski tidak ada di aplikasi atau buku?” kataku tegas.
Sunyi. Sunyi sesaat yang jujur. Kemudian, tangan Rangga terangkat.
“Pak …, kenapa embun selalu muncul pagi-pagi di rumput? Saya lihat tadi waktu jalan.”
Pertanyaan sederhana, tapi di dalamnya ada sesuatu. Ada nyala kecil yang selama ini tergeser oleh cahaya layar.
Tangan-tangan lain menyusul.
“Kenapa kalau kita teriak di lapangan, suaranya kayak dikejar angin?”
“Kenapa HP bisa panas padahal cuma dipakai sebentar?”
“Kenapa gurita punya delapan tangan?”
“Kenapa guru-guru sekarang sering ribut soal aplikasi, Pak?”
Pertanyaan terakhir membuat kelas hening. Semua mata menatapku. Aku menelan ludah. Pertanyaan itu bukan tentang IPA, IPS, atau teknologi. Itu pertanyaan tentang dunia mereka sekarang.
Aku menjawab pelan, “Karena kami juga sedang belajar, sama seperti kalian.”
Mereka mengangguk. Tidak ada tawa. Tidak ada sindiran. Hanya pengertian.
Kami pun masuk dalam obrolan panjang, obrolan yang kembali mengingatkanku bahwa memantik rasa ingin tahu jauh lebih penting daripada menjejalkan tugas ke layar.
Kelas berubah lebih hidup. Anak-anak saling bertanya. Saling menjawab. Saling memantik pikiran. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, kelas 8B terasa seperti kelas, bukan ruang sunyi yang dipenuhi cahaya biru.
Bel istirahat akhirnya berbunyi. Anak-anak bersiap-siap. Lila mendekat, memandangku dengan mata yang tidak lagi redup.
“Pak, hari ini beda. Lebih enak daripada tugas aplikasi.”
“Bapak juga merasa begitu,” balasku sambil tersenyum.
Ketika mereka keluar kelas untuk menyerahkan HP ke ruang guru dan dititipkan, layar-layar kembali menyala. Dunia digital kembali memanggil. Tapi aku tahu, setidaknya hari ini, satu pintu telah kembali terbuka.
Aku melangkah keluar. Mungkin benar kata Bu Rini, zaman sudah menuntut anak-anak untuk bisa belajar dari mana saja dan kapan saja. Tapi, satu hal tetap tak tergantikan. Mereka masih butuh seseorang yang mengajarkan bagaimana bertanya.







