Tradisi lisan merupakan salah satu bentuk peradaban tertua dalam sejarah umat manusia. Sebelum mengenal sistem aksara dan tulisan, manusia lebih dulu membangun dunia pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan budaya mereka melalui bahasa tutur. Tradisi lisan bukan hanya sekedar sarana komunikasi, tetapi juga wadah penyimpanan memori kolektif dan identitas sebuah komunitas. Namun
ironisnya, tradisi lisan sering kali dipandang sebelah mata dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern, terutama setelah tulisan tersebut dianggap sebagai simbol kemajuan peradaban. Baru pada abad ke-20, perhatian terhadap tradisi lisan muncul kembali secara serius melalui kajian akademik yang melibatkan linguistik,
antropologi, sejarah, dan folklor. Perjalanan panjang pengakuan tradisi lisan ini tidak terlepas dari beberapa fase penting: mulai dari kesadaran awal mengenai keberadaannya, polemik mengenai karya epik Homeros, penemuan fundamental Milman Parry, hingga lahirnya penelitian lanjutan yang memperkokoh tradisi lisan
sebagai bidang kajian ilmiah modern. Kesadaran Mengenai
Tradisi Lisan:
Kesadaran awal mengenai tradisi lisan sebenarnya tidak muncul dari dunia akademik, tetapi melalui penemuan arsip sejarah dan catatan budaya. Pada abad ke- 18 dan 19, lahir ketertarikan terhadap tradisi rakyat atau cerita rakyat di Eropa. Para pemikir seperti Friedrich von Schlegel dan Johann Gottfried Herder menaruh perhatian pada sastra rakyat sebagai ekspresi jiwa bangsa (Volksgeist). Mereka memandang bahwa budaya rakyat yang diwariskan secara lisan bukanlah bentuk budaya rendah, namun justru autentik karena hidup bersama masyarakatnya. Di Indonesia sendiri, kesadaran terhadap tradisi lisan sudah lebih dulu muncul dalam bentuk pantun, gurindam, kaba Minangkabau, hikayat Melayu, syair, dan tradisi tutur seperti wayang, tembang macapat, kelong Bugis, dan hudoq Dayak. Namun. dalam konteks ilmu modern, tradisi lisan mulai menjadi objek kajian serius ketika para ahli bahasa struktural dan filsafatbahasa menemukan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan konstruksi budaya yang menyimpan makna sosial dan ideologi. Sayangnya, meski sudah mulai diperhatikan, tradisi lisan masih dipandang sebagai bentuk budaya yang “primitif” dibandingkan tradisi tulis. Kajian sastra pada masa itu memusatkan perhatian pada karya tulis yang dianggap lebih tinggi secara estetika maupun intelektual. Tradisi lisan baru mendapatkan
legitimasinya setelah munculnya polemik besar dalam dunia filologi: memuat seputar keaslian karya Homeros.
Polemik Mengenai Homeros:
Karya Iliad dan Odyssey karya Homeros merupakan tonggak sastra epik Yunani Kuno. Namun, pada abad ke-18, muncul pertanyaan besar dari para cendekiawan: apakah Homeros benar-benar tokoh sejarah yang menulis kedua epik ini, ataukah karya tersebut adalah hasil akumulasi tradisi lisan? Perdebatan ini kemudian dikenal sebagai Pertanyaan Homer. Beberapa sarjana klasik seperti FA Wolf mengemukakan bahwa Homeros kemungkinan tidak pernah menulis kisah
tersebut. Menurutnya, epos Homeros menunjukkan ciri-ciri yang kuat sebagai hasil tradisi lisan—banyak pengulangan formula, ayat yang mirip dengan sedikit variasi, serta pola naratif yang bersifat tematik, bukan linier. Wolf berpendapat bahwa kisah Homeros baru dituliskan berabad-abad kemudian setelah tersebar secara lisan.Debat ini berjalan panjang dan tidak menemukan titik temu yang memuaskan. Namun, polemik ini membuka jalan bagi sebuah pertanyaan penting: bagaimana tradisi lisan mampu menghasilkan karya sastra yang kompleks tanpa tulisan? Jawabannya baru mulai terlihat ketika seorang ilmuwan muda dari Harvard, Milman Parry, meneliti tradisi epik kehidupan di masa modern.
Penemuan Milman Parry: Tradisi Lisan Bersifat Formulaik:
Pada tahun 1920-an, Milman Parry melakukan penelitian lapangan di daerah Balkan (Yugoslavia). Di sana ia menemukan para penyanyi epik lisan yang disebut guslar. Mereka menyanyikan cerita panjang selama berjam-jam tanpa naskah tertulis. Parry merekam, mentranskripsi, dan menganalisis pertunjukan mereka. Penelitiannya menemukan fakta penting: tradisi lisan memiliki sistem cipta sastra yang konsisten dan bukan improvisasi kacau. Parry menemukan bahwa para penyanyi epik tidak menghafal seluruh cerita kata demi kata. Mereka menggunakan formula—unit ekspresi tetap yang dapat digunakan berulang kali dalam konteks musikal dan naratif yang sesuai. Contoh rumusnya misalnya “prajurit gagah berani”atau “matahari mulai menurun”. Sistem formula inimemungkinkan mereka menciptakan puisi panjang secara spontan namun tetap mengikuti pola baku. Ia menyimpulkan: Tradisi lisan bukan bentuk sastra yang rendah; ia adalah sistem kreatif yang tunduk pada aturan komposisi formulaik. Penemuan Parry menjadi
dasar teori Komposisi Lisan-Formula. Setelah Parry meninggal, muridnya, Albert Lord, melanjutkan penelitiannya dan menerbitkan buku monumental The Singer of Tales (1960). Buku ini membuktikan bahwa Iliad dan Odyssey adalah produk tradisi lisan dengan ciri formulaik yang sama seperti nyanyian Karya Yang
Mengikuti dan Perkembangan Kajian Tradisi Lisan:
Penelitian Parry dan Lord membuka era baru dalam studi sastra dan budaya. Banyak peneliti kemudian memperluas teori tradisi lisan ke berbagai konteks budaya dunia. Beberapa perkembangan lanjutannya: Ruth Finnegan melalui buku Oral Literature in Africa (1970) menunjukkan bahwa Afrika memiliki tradisi sastra kaya yang sepenuhnya berbasis lisan. Jack Goody dan Ian Watt meneliti hubungan antara tradisi lisan, ingatan, dan perkembangan rasionalitas dalam budaya. Walter J. Ong memperkenalkan istilah oralitas primer dan oralitas sekunder, menjelaskan
ciri-ciri berpikir tanpa tradisi masyarakat tulis. Dalam dunia pendidikan dan linguistik,penelitian tradisi lisan memberi pemahaman baru tentang perkembangan bahasa, kemampuan mengisahkan, dan struktur naratif universal. Di Indonesia, tradisi lisan mulai dikaji oleh James Danandjaja dalam bidang folklor, serta dalam kajian sastra daerah seperti kaba Minangkabau, pantun Riau, atau cerita lisan Bugis.
Kesimpulan:
Perkembangan kajian tradisi lisan dalam ilmu modern menunjukkan perubahan besar dalam cara pandang terhadap budaya. Tradisi lisan yang dahulu dianggap sebagai bentuk warisan “primitif” kini diakui sebagai bagian penting dalam sejarah sastra dan perkembangan intelektual manusia. Mulai dari kesadaran awal di Eropa tentang pentingnya sastra rakyat, polemik filologis mengenai keaslian karya Homeros, penemuan monumental Milman Parry tentang sistem formulaik dalam penciptaan epik lisan, hingga berkembangnya kajian lintas budaya melalui pemikiran Walter J. Ong, Jack Goody, Ruth Finnegan, dan Albert Lord—kesemuanya membuktikan bahwa tradisi lisan memiliki struktur estetik, logika naratif, serta mekanisme transmisi pengetahuan yang sistematis.
Selain itu, tradisi lisan memainkan peran penting dalam membentuk kesadaran historis suatu masyarakat. Melalui penyampaian lisan, komunitas mempertahankan nilai moral, pengetahuan lokal, dan kearifan tradisional yang
tidak selalu tercatat dalam dokumen tertulis. Tradisi lisan juga menjadi media pendidikan budaya yang efektif karena mampu menyentuh emosi kolektif dan memperkuat solidaritas sosial. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, tradisi lisan justru menjadi benteng identitas budaya yang menjaga keberlanjutan memori kolektif masyarakat
ESSAY
Nurul Hidayah







