DARI INGATAN KE DOKUMEN TERTULIS
Setelah suatu budaya mulai mengenal tulisan, sering kali mereka masih belum memberikan kedudukan tinggi pada praktik menulis. Pada masa ini, orang yang sudah bisa membaca umumnya menganggap bahwa dokumen tertulis lebih kuat dijadikan bukti dibandingkan dengan ucapan lisan, terutama dalam kasus hukum. Namun, berbagai budaya awal yang sudah mengenal aksara tetapi belum sepenuhnya menghayatinya justru beranggapan sebaliknya. Kepercayaan terhadap dokumen tertulis berbeda-beda di setiap budaya. Melalui kajian Clanchy mengenai penggunaan tulisan untuk administrasi di Inggris abad ke-11 dan ke12 (1979), terlihat jelas bahwa tradisi kelisanan dapat tetap bertahan meskipun tulisan sudah digunakan, bahkan dalam ranah administrasi.
Dalam periode yang ditelitinya, Clanchy menemukan bahwa “dokumen tidak sertamerta menimbulkan kepercayaan” (Clanchy, 1979: 230). Masyarakat harus diyakinkan bahwa tulisan benar-benar mampu memperbaiki metode lisan yang lama sehingga layak diterapkan meski prosesnya rumit dan membutuhkan biaya. Sebelum dokumen digunakan, kesaksian lisan bersama menjadi cara utama untuk memastikan hal-hal seperti usia ahli waris feodal. Pada tahun 1127, untuk menyelesaikan perselisihan mengenai bea impor di pelabuhan Sandwich— apakah hak itu milik biara St Augustine di Canterbury atau Gereja Kristus—dipilihlah dewan juri yang terdiri dari dua belas pria dari Dover dan dua belas dari Sandwich. Mereka merupakan orang-orang tua yang dianggap bijaksana dan memiliki reputasi kesaksian yang baik. Setiap anggota juri lalu bersumpah berdasarkan apa yang diwariskan leluhur mereka serta apa yang pernah mereka lihat dan dengar ketika muda, bahwa bea tersebut memang menjadi hak Gereja Kristus (Clanchy, 1979: 232–233). Mereka secara publik menyampaikan kembali memori kolektif yang diwariskan.
Secara umum, saksi dianggap lebih meyakinkan dibandingkan teks karena saksi bisa dipertanyakan dan diminta mempertahankan pernyataannya, sementara teks tidak dapat melakukannya—serupa dengan kritik Plato terhadap tulisan. Upaya notarialis untuk membuktikan keabsahan dokumen mencoba menciptakan mekanisme pembuktian di dalam tulisan, tetapi sistem tersebut baru berkembang kemudian, dan di Inggris jauh lebih lambat dibanding Italia (Clanchy, 1979: 235–236). Bahkan, keabsahan dokumen sering kali tidak dijamin oleh isinya, melainkan melalui objek simbolik, misalnya pisau yang diikatkan pada dokumen (Clanchy, 1979: 24). Benda simbolis pun bisa digunakan untuk mentransfer hak milik. Sekitar tahun 1130, Thomas de Muschamps menyerahkan tanah Hetherslaw kepada biarawan Durham dengan meletakkan pedangnya di atas altar (Clanchy, 1979: 25). Bahkan setelah penyusunan Domesday Book tahun 1086 dan meningkatnya jumlah dokumen tertulis, pola pikir lisan masih muncul, seperti dalam kisah Earle Warrenne. Di hadapan hakim pada masa Edward I (1272–1306), ia tidak menunjukkan piagam, melainkan pedang tua yang berkarat, sambil menyatakan bahwa leluhurnya memperoleh tanah tersebut dengan pedang itu ketika datang bersama William Sang Penakluk. Walaupun kisah tersebut penuh inkonsistensi, Clanchy (1979: 21–22) menyatakan bahwa keberlanjutannya menunjukkan kuatnya pola pikir lisan yang mengandalkan simbol.
Pada masa awal, piagam penyerahan tanah di Inggris bahkan tidak diberi tanggal (Clanchy, 1979: 231, 236–241). Menurut Clanchy, penyebab utamanya ialah bahwa penanggalan memaksa juru tulis menentukan posisinya dalam waktu (1979: 238), yang berarti ia harus memilih titik acuan tertentu—penciptaan dunia, penyaliban, atau kelahiran Kristus. Paus menggunakan tahun kelahiran Kristus sebagai acuan penanggalan, namun meniru cara paus dalam dokumen sekuler dianggap tidak pantas. Berbeda dengan zaman modern yang dipenuhi kalender, jam, dan penanggalan yang baku, Inggris abad ke-12 tidak memiliki perangkat tersebut.
Sebelum cetakan membuat manusia akrab dengan waktu abstrak, masyarakat tidak memandang hidupnya sebagai bagian dari hitungan tahun yang sistematis. Bahkan pada abad pertengahan hingga Renaisans, kebanyakan orang tidak tahu angka tahun dalam kalender. Hal itu dianggap tidak penting, sebab angka tersebut tidak berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Banyak orang bahkan tidak tahu tahun berapa mereka lahir.
Piagam juga sering bercampur dengan simbol-simbol seperti belati atau pedang, yang mudah dikenali. Tidak jarang piagam dipalsukan agar tampak sesuai dengan apa yang diharapkan pengadilan (Clanchy, 1979: 249). Menurut Clanchy, pemalsu bukanlah pelaku pinggiran, tetapi para ahli yang berada di pusat budaya tulis abad ke-12. Dari 164 piagam Edward sang Pengaku yang masih tersisa, 44 adalah palsu, 64 asli, dan sisanya tidak dapat dipastikan.
Karena banyak aspek masa lalu tidak bisa diingat dengan pasti, kesalahan yang dapat diverifikasi dari sistem hukum dan ekonomi yang masih lisan relatif sedikit. “Kebenaran yang diingat bersifat fleksibel dan selalu diperbarui” (Clanchy, 1979: 233). Seperti contoh dari Nigeria dan Ghana modern (Goody & Watt, 1968: 31–34), dalam pemikiran lisan, hal-hal dari masa lalu yang tidak relevan di masa kini akan dihapus. Hukum adat selalu menyisihkan materi yang tidak berguna, sehingga tampak abadi dan sangat tua. Bagi masyarakat beraksara tinggi, penting untuk disadari bahwa dalam budaya lisan, masa lalu bukanlah kumpulan fakta yang rinci, melainkan wilayah leluhur yang memberi makna pada kehidupan masa kini. Kelisanan tidak mengenal daftar, grafik, atau statistik.
Goody (1977: 52–111) membahas peran puitis tabel dan daftar, termasuk kalender, sebagai struktur yang hanya mungkin terbentuk berkat tulisan. Bahkan, tulisan awal seperti tulisan paku Sumeria sekitar 3500 SM digunakan untuk mencatat keuangan. Budaya lisan lebih mengubah daftar menjadi narasi, seperti katalog kapal dalam Iliad. Dalam Taurat, hubungan geografis disajikan dalam bentuk cerita perjalanan, bukan daftar formal (Bilangan 33:16 dst). Begitu pula silsilah sering disajikan dalam bentuk naratif, bukan sebagai daftar nama.
Bagian Injil yang tertulis tetapi berasal dari tradisi lisan memperlihatkan bahwa urutan peristiwa dirasakan sebagai aliran waktu, bukan sebagai struktur visual. Dalam budaya lisan, silsilah lebih mirip “lagu yang diingat” daripada daftar data. Ketika antropolog mengubah mitos lisan menjadi tabel atau daftar, hal itu sering merusak struktur berpikir aslinya, karena mitos tidak dibangun untuk koherensi visual.
Daftar dan diagram sangat berguna, tetapi tetap membawa distorsi karena mengubah informasi lisan ke bentuk visual yang memerlukan pola tertentu. Teks selalu bekerja dalam ruang, dengan arah tertentu—kiri ke kanan, kanan ke kiri, atas ke bawah, dan seterusnya. Tulisan memperkenalkan konsep “kepala”, “kaki”, dan orientasi ruang dalam pengetahuan. Perubahan sistem tulisan Yunani, seperti boustrofedon hingga bentuk horizontal kiri-ke-kanan, mencerminkan transformasi cara berpikir. Abjad juga menjadi jembatan antara ingatan lisan dan tulisan. Diagram bahkan lebih jauh dari proses mental lisan karena menyusun informasi dalam dua dimensi. Penggunaan diagram secara luas merupakan hasil internalisasi cetakan, bukan sekadar tulisan.







