Awal Mula Keaksaraan

                                                                                                 AWAL MULA KEAKSARAAN

Ketika suatu bentuk tulisan lengkap, baik berupa sistem alfabet maupun non-alfabet, pertama kali hadir dalam sebuah masyarakat dari lingkungan luar, kehadirannya awalnya hanya digunakan pada bidang-bidang tertentu dan membawa berbagai dampak serta konsekuensi. Pada tahap awal, tulisan kerap dipandang sebagai alat yang memiliki kekuatan magis dan bersifat rahasia (Goody, 1968b: 236). Sisa-sisa pandangan awal terhadap tulisan ini masih dapat ditemukan dalam bukti etimologi: kata “grammarye” dalam bahasa Inggris Pertengahan, atau grammar, yang pada mulanya merujuk pada kegiatan mempelajari buku, kemudian berkembang menjadi istilah yang berkaitan dengan praktik klenik atau sihir. Melalui salah satu dialek Skotlandia, istilah ini berubah dalam kosakata bahasa Inggris modern menjadi “glamor”, yang berarti kemampuan melakukan mantra. Dengan demikian, istilah ‘glamor girls’ sejatinya berakar dari makna lama, yaitu grammar girl. Futhark, yaitu abjad Rune di Eropa Utara pada abad pertengahan, juga sering dikaitkan dengan praktik magis. Fragmen tulisan digunakan sebagai jimat atau alat sihir tertentu (Goody, 1968b: 201–3), tetapi juga dapat dihargai hanya karena sifatnya yang mampu membuat kata-kata menjadi permanen. Penulis Nigeria, Chinua Achebe, misalnya, menggambarkan bagaimana satu-satunya individu yang dapat membaca di sebuah desa Ibo mengumpulkan semua benda yang mengandung tulisan seperti surat kabar, kotak kardus, dan kuitansi di rumahnya (Achebe, 1961: 120–1). Semua benda tersebut tampak terlalu luar biasa untuk sekadar dibuang.

Ada pula masyarakat yang tingkat keaksaraannya terbatas dan memandang tulisan sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan bahaya bagi pembaca yang kurang hati-hati, sehingga membutuhkan figur seperti guru spiritual untuk menjadi perantara antara pembaca dan teks (Goody dan Watt, 1968: 13). Keaksaraan dapat  Dibatasi jadi hanya pada kelompok-kelompok khusus seperti pendeta (Tambiah, 1968: 113-4), teks juga dapat dirasakan memiliki nilai religius intrinsik: tindakan menggosokkan buku pada dahi mereka, atau memutar roda doa berisi teks yang tidak bisa mereka baca memberi manfaat bagi orang-orang buta huruf (Goody, 1968a: 15-16). Duduk di tepian sungai, para rahib Tibet “mencetak halaman-halaman mantra dan jampi-jampi di permukaan air dengan balok ukiran kayu” (Goody, 1968a: mengutip R.B. Eckvall). “Kultus Kapal Barang” yang sangat terkenal dan masih marak di beberapa pulau Pasifik Selatan menunjukkan bahwa orang-orang buta huruf atau semi buta huruf mengira bahwa dokumen-dokumen perniagaan surat pesanan, konosemen, kuitansi, dan semacamnya yang mereka tahu penting dalam pengoperasian kapal, adalah alat-alat sihir untuk membuat kapal penumpang serta kapal barang datang dari seberang lautan. Dengan harapan kapal barang akan muncul untuk mereka miliki dan mereka gunakan (Meggitt, 1968: 300-9), mereka pun mengembangkan berbagai ritual yang menggunakan teks tertulis.

Dalam budaya Yunani kuno, Havelock menemukan suatu pola umum keaksaraan terbatas yang dapat diterapkan pada banyak budaya: tak lama setelah tulisan muncul berkembanglah ’keaksaraan tukang (craft literacy)’ (Havelock, 1963; bdgk. Havelock dan Herschell, 1978). Pada tahap ini, para tukang mengerjakan tulisan sebagai keterampilan, dan pihak lain mempekerjakan mereka untuk menulis surat atau dokumen sebagaimana seseorang mempekerjakan tukang batu untuk membangun rumah atau tukang kapal untuk membuat perashu. Sejak abad pertengahan hingga memasuki abad keduapuluh, seperti itulah kondisi di kerajaan-kerajaan Afrika Barat, seperti Mali (Wilks, 1968; Goody, 1968b). Orang pada tingkat keaksaraan-tukang semacam itu tidak perlu mengetahui tentang membaca dan menulis lebih dari mengetahui keterampilan yang lain. Ketika tulisan baru melewati tahap ini sekitar zaman Plato di Yunani Kuno, lebih dari tiga abad setelah digunakannya abjad Yunani, barulah perubahan itu terjadi. Akhirnya, kebiasaan tersebut tersebar luas di antara seluruh masyarakat Yunani dan menjadi begitu terinternalisasi sehingga mulai memengaruhi cara berpikir secara umum (Havelock, 1963).

Sifat fisik dari bahan-bahan tulisan pada masa awal turut mendorong keberlanjutan budaya skrip (lihat Clanchy, 1979: 88–115 mengenai “Teknologi Tulisan”). Jika sekarang kita mengenal kertas buatan mesin yang permukaannya rata serta bolpoin yang kuat, para penulis terdahulu justru berhadapan dengan perlengkapan tulis yang jauh lebih rumit untuk diatur. Sebagai media menulis, mereka memakai berbagai jenis bahan seperti bata tanah liat basah, kulit hewan baik kulit kambing maupun kulit sapi yang terlebih dahulu dibersihkan dari lemak dan bulunya, kemudian dihaluskan memakai batu apung dan diputihkan dengan kapur, bahkan sering dipakai ulang dengan cara mengikis tulisan sebelumnya (palimpsest). Selain itu, mereka juga menggunakan kulit kayu, papirus (yang kualitasnya lebih baik dibanding kebanyakan permukaan lain, meski tetap kasar menurut standar teknologi modern), daun-daun kering atau tumbuhan tertentu, serta lilin yang dilapiskan pada papan kayu yang biasanya diberi engsel hingga membentuk papan berdaun ganda (diptych) yang digantungkan di ikat pinggang. Jenis papan berlilin ini berfungsi sebagai buku catatan; permukaannya bisa diratakan ulang agar dapat dipakai kembali. Mereka pun memakai batang kayu (Clanchy, 1979: 95), serta beragam permukaan kayu dan batu lain yang tersedia. Pada masa itu belum ada toko alat tulis di sudut jalan yang menyediakan kertas dalam bendelan karena memang kertas belum ada. Untuk alat menulis, tersedia pilihan seperti pena dari bulu angsa yang harus dibelah dan terus-menerus diruncingkan menggunakan “pisau pena”, kuas (umumnya digunakan di Asia Timur), atau berbagai alat lain untuk menggores permukaan maupun membubuhkan tinta atau cat. Tinta cairnya sendiri diracik dengan banyak cara berbeda, lalu disimpan dalam tanduk sapi kopong (inkhorn) atau wadah tahan asam lainnya; di Asia Timur, kuas biasanya dilembapkan kemudian digesekkan pada balok tinta kering seperti teknik dalam lukisan cat air.

 

Untuk bekerja dengan semua bahan dan alat tersebut, diperlukan keterampilan mekanis yang khusus. Dengan alat-alat tulis seperti itu, dan karena tidak semua “penulis” memiliki keterampilan semacam itu keterampilan yang memang dikembangkan untuk membuat komposisi Panjang menulis menjadi lebih mudah secara fisik ketika kertas mulai digunakan. Namun kertas, yang dibuat di China barangkali pada abad kedua M dan kemudian disebarkan oleh orang Arab ke Timur Tengah pada abad kedelapan Masehi, baru mulai diproduksi di Eropa untuk pertama kalinya pada abad kedua puluh. Kebiasaan mental lisan yang sudah ada sejak lama, yakni mengucapkan keras-keras pikiran seseorang, mendorong praktik pendiktean, sebagaimana juga dipengaruhi oleh kondisi teknologi tulisan pada masa itu. Mengenai tindakan fisik dalam menulis, Penulis Kronik Inggris Abad Pertengahan, Orderic Vitalis, menyatakan bahwa “seluruh tubuh bekerja keras” (Clanchy 1979, hal. 90).

Sepanjang Abad Pertengahan di Eropa, para pengarang sering mempekerjakan juru tulis. Karangan dalam bentuk tulisan yakni penuangan pikiran dengan pena di tangan-memang dilakukan sejak zaman kuno, terutama untuk karangan singkat, tetapi praktik ini baru berkembang luas bagi sastra dan tulisan panjang pada periode yang berbeda di berbagai kebudayaan. Di Inggris abad kesebelas, hal tersebut masih jarang terjadi dan, ketika dilakukan, sering berlangsung dalam latar psikologis yang begitu lisan sehingga sulit kita bayangkan sekarang. Eadmer of St Albany pada abad kesebelas mengatakan bahwa ketika ia membuat karangan tertulis, ia merasa seolah-olah tengah mendiktekan kepada dirinya sendiri (Clanchy, 1979: 218). St. Thomas Aquinas, yang menulis manuskripnya sendiri, menyusun Summa theologiae dalam format semi-lisan: setiap bagian atau “masalah” dimulai dengan paparan keberatan terhadap pendapat yang akan ia ambil, kemudian ia menyatakan pendapatnya, dan akhirnya menjawab keberatan-keberatan tersebut secara berurutan. Demikian pula, seorang penyair awal menulis puisi dengan membayangkan dirinya sedang mendeklamasikannya di hadapan para pendengar. hanya sedikit, kalaupun memang ada, novelis masa kini yang menyusun novel sambil membayangkan diri membacakannya dengan suara keras, walaupun mereka mungkin sangat peka terhadap efek bunyi dari kata-kata yang mereka pilih. Tingkat keaksaraan yang tinggi mendorong munculnya bentuk komposisi yang sepenuhnya bersifat tulisan, di mana pengarang merangkai teks yang benar-benar berupa teks, menempatkan kata-katanya di atas kertas. cara ini memberikan bentuk pemikiran yang berbeda dibandingkan bentuk pikiran yang bertumpu pada tradisi lisan. pembahasan (yang berarti dituliskan) mengenai pengaruh keaksaraan terhadap proses-proses berpikir akan dilakukan lebih lanjut di bagian berikut.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *