Jejak Hati di Kanvas Jiwa

Oleh: Luthfi Azizan

Di sebuah sudut negeri yang penuh dengan debu kapur dan wacana pendidikan yang riuh rendah, kita sering lupa bahwa sekolah—atau bahkan rumah—seharusnya bukan tempat mengisi tempayan kosong. Tugas kita, para pendidik dan orang tua, jauh lebih mulia dari itu. Kita adalah penjaga galeri, berdiri di samping seniman kecil yang sedang bersiap melukis Kanvas Jiwa-nya sendiri.

Dr. Fahruddin Faiz, dalam ceramah filsafatnya, telah mengingatkan kita tentang keajaiban ini, yang dia sadur dari Maria Montessori: Anak bukanlah beban, melainkan kunci emas bagi peradaban yang kita impikan. Jika kita ingin masa depan yang unggul, kita harus menghentikan kebiasaan mengisi tempayan dan mulai membersihkan kuasnya.

Inilah Jejak Hati yang seharusnya kita ukir di kanvas para tunas bangsa.

Selembar Kertas Rindu dan Pikiran Bunga Karang

Seorang anak, kata pak Faiz, adalah Absorbent Mind—Pikiran yang Menyerap. Mereka adalah bunga karang yang tulus, menyerap apa pun yang ada di sekelilingnya tanpa filter. Jika kita di rumah bertik-tok ria dengan makian dan drama, bunga karang itu akan menyerap keruh. Jika kita sibuk dengan rebahan dan keluhan, itulah air yang akan diminumnya.

Kanvas jiwa ini, di usia emasnya (0-6 tahun), adalah selembar kertas rindu yang penuh kejujuran. Mereka lebih murni dan lebih apa adanya dari kita yang dewasa, yang sudah mahir dengan seni pura-pura.

Maka, kritik terkeras untuk kita adalah: Mengapa kita menuntut mereka menjadi mutiara, sementara lingkungan yang kita sediakan adalah lumpur?

Tugas pertama kita adalah menghormati Kanvas itu. Hargai keunikan mereka. Jangan memaksa anak petani jadi insinyur hanya karena itu adalah cita-cita kita yang gagal. Biarkan benih mereka tumbuh dengan cara mereka sendiri, seaneh apa pun cita-cita mereka (bahkan jika itu menjadi presiden atau petani, seperti kata Pak Faiz).

Baca Juga: Dramatugi Perut Lapar

Merayakan Kebebasan dan Rasa Ingin Tahu

Di balik setiap jiwa yang utuh, ada guru yang tahu batasnya. Pendidik sejati harus bergeser dari peran komandan menjadi Seniman Lingkungan. Kita bertugas menyiapkan panggung yang aman agar sang anak bisa memulai Dramaturgi pribadinya.

Filosofi ini mengajarkan tentang Intrinsic Motivation dan Kemandirian. Pendidikan karakter tidak bisa ditanamkan melalui perintah yang keras atau hadiah yang berlebihan. Anak yang didorong oleh hadiah (reward) akan cepat puas, sementara anak yang didorong oleh hasrat murni akan mencari tahu hingga ke akar masalah.

Kita harus menghentikan kebiasaan:

  • Terlalu Telaten: Membantu anak mengerjakan segala sesuatu, dari makan hingga berpakaian, hanya karena kita tidak sabar. Ini merampas kesempatan mereka untuk Mandiri.

  • Melarang Eksplorasi: Membentak ketika mereka ingin membongkar radio atau mencoret tembok. Pak Faiz mengingatkan, biaya gelas pecah jauh lebih murah daripada biaya mental yang pecah karena trauma dilarang berekspresi.

Biarkan mereka bergerak bebas (Freedom of Movement). Biarkan mereka salah. Biarkan mereka kotor. Dari kesalahan itulah mereka belajar. Dari obah (bergerak) itulah mereka menemukan siapa mereka, tanpa perlu tergantung pada pujian atau persetujuan orang lain di masa dewasa.

Mendidik Jiwa yang Utuh: Bukan Sekadar Rasio

Hal yang paling penting dari semua ini adalah tujuan akhir: Educating the Full Child—Mendidik Anak Seutuhnya.

Kita sering terjebak dalam mitos bahwa sekolah hanya mengurus rasionalitas (matematika, sains), sementara emosi, sosial, dan spiritualitas adalah urusan lain. Padahal, kita tidak ingin menciptakan manusia yang otaknya canggih seperti komputer, tetapi jiwanya rapuh dan mudah putus asa di hadapan kegagalan.

Maka, Kanvas Jiwa harus dilukis secara utuh. Kita harus ajak mereka ke masjid, ke pasar, ke taman, agar semua potensi mereka teraktivasi. Kita harus mengajarkan mereka cara berinteraksi, cara meraba, cara mengunyah, dan cara bertanya.

Jejak Hati yang sejati adalah jejak yang utuh, tidak parsial, dan tidak terperangkap dalam ilusi kebaikan semu. Kita tidak butuh generasi yang hanya juziah (parsial), yang mikirnya sempit dan hanya tentang dirinya sendiri. Kita butuh generasi yang Kamil (utuh).

Maka, wahai para penjaga galeri: Angkatlah pena, ambil kuas. Tugas kita kini bukan lagi menghitung jam pelajaran, melainkan memastikan bahwa setiap hari yang dilewati anak-anak adalah hari di mana hati, akal, dan jiwa mereka hadir sepenuhnya di dunia, meninggalkan jejak yang jujur, bukan sekadar cetakan yang sama.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *