Peran Interaksi Budaya Lisan dan Keaksaraan Digital dalam Membangun Identitas Budaya Generasi Muda di Media sosial

Generasi muda saat ini hidup di persimpangan dua dunia: warisan budaya lisan yang kaya dan lanskap digital yang terus berkembang pesat. Budaya lisan, sebagai tulang punggung pewarisan nilai, sejarah, dan tradisi, secara historis ditransmisikan melalui interaksi tatap muka, cerita, dan pertunjukan (Yusri, 2025). Namun, munculnya media sosial dan teknologi digital telah mengubah cara komunikasi dan interaksi secara fundamental. Perubahan ini membawa tantangan dan peluang dalam pembentukan identitas budaya. Masalah utamanya adalah bagaimana generasi muda, yang tumbuh dalam ekosistem digital, dapat mempertahankan dan mengekspresikan identitas budaya mereka di tengah arus informasi global yang masif.

Penelitian terdahulu telah banyak mengkaji aspek literasi digital, seperti peta gerakan literasi digital di Indonesia (Astuti & Kurnia, 2017) dan perannya dalam penguatan identitas kebangsaan (Rahmawati, 2018). Fokusnya sering pada kompetensi teknis dan kemampuan memilah informasi (Gilster, 1997; Heriyanto, n.d.). Namun, keterbatasan dari studi-studi tersebut adalah kurangnya penekanan spesifik pada interaksi dinamis antara bentuk budaya lisan dan medium digital itu sendiri. Belum banyak diungkap bagaimana mekanisme spesifik transformasi tradisi lisan menjadi konten digital mempengaruhi persepsi identitas budaya.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan menganalisis peran interaksi antara budaya lisan dan keaksaraan digital dalam proses pembangunan identitas budaya generasi muda di media sosial. Urgensi penelitian ini terletak pada kebutuhan untuk memahami cara-cara inovatif di mana teknologi dapat digunakan tidak hanya sebagai alat konsumsi informasi, tetapi sebagai instrumen aktif konservasi dan rekreasi budaya, sekaligus solusi disinformasi budaya (Pratiwi & Asyarotun, 2019)

Bagian ini menyajikan pengetahuan baru dengan meresume hasil penelitian dan menginterpretasikannya dalam konteks teoritis serta praktis. Temuan utama menunjukkan bahwa interaksi antara budaya lisan dan keaksaraan digital bukanlah hubungan yang saling menegasikan, melainkan simbiotik. Hasil penelitian ini diinterpretasikan menggunakan teori keaksaraan digital (Gilster, 1997), yang menekankan kemampuan individu untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format dari berbagai sumber di lingkungan digital.

Pertama, temuan utama menunjukkan bahwa media sosial berfungsi sebagai arena baru bagi transformasi budaya lisan. Pewarisan budaya yang sebelumnya bersifat linear (dari tua ke muda secara langsung) kini menjadi non-linear dan partisipatif. Generasi muda tidak hanya menerima, tetapi secara aktif memproduksi ulang narasi lisan, cerita rakyat, atau musik tradisional dalam format digital seperti video TikTok, utas Twitter, atau podcast (Penulis anonim, 2025). Prinsip yang muncul adalah bahwa medium digital, ketika dimanfaatkan dengan keaksaraan yang tepat, dapat menjadi katalisator bagi revitalisasi budaya lisan.

Kedua, peran keaksaraan digital sangat krusial. Hasil analisis menunjukkan bahwa sekadar memiliki akses digital tidak cukup. Generasi muda perlu kompetensi literasi media digital yang kuat (Heriyanto, n.d.) untuk menerjemahkan esensi budaya lisan ke dalam bahasa visual dan audio digital tanpa menghilangkan makna intrinsiknya. Literasi digital memungkinkan mereka menyajikan konten budaya secara menarik dan relevan bagi audiens sebaya, yang pada akhirnya berkontribusi pada upaya konservasi budaya (Pratiwi, 2021). Hal ini menguatkan pandangan Rahmawati (2018) bahwa literasi memiliki peran sentral dalam memperkuat identitas kebangsaan, tetapi meluaskan konteksnya ke ranah identitas budaya spesifik yang diekspresikan secara digital. Studi ini menginterpretasikan ‘mengapa’ hal ini terjadi: karena media sosial menyediakan ruang ekspresi diri yang didorong oleh visualitas dan narasi (Yusri, 2025), yang secara alami selaras dengan sifat budaya lisan yang ekspresif.

Ketiga, temuan sekunder mengindikasikan adanya pergeseran dalam ekspresi identitas. Identitas budaya di media sosial cenderung lebih cair dan hibrida. Individu dapat secara selektif menampilkan aspek-aspek budaya mereka dan mencampurkannya dengan elemen budaya global. Menariknya, hasil penelitian juga menemukan adanya hasil yang menyimpang dari hipotesis awal mengenai potensi hilangnya budaya lisan. Sebaliknya, keaksaraan digital justru memberikan “nafas baru” bagi budaya lisan dengan membuatnya dapat diakses lintas geografis dan waktu. Keterlibatan aktif dalam produksi konten budaya ini memperkuat rasa kepemilikan dan kebanggaan akan identitas budaya di kalangan generasi muda.

Implikasi teoritis nya adalah perlunya pembaruan definisi keaksaraan digital (Gilster, 1997) yang tidak hanya mencakup kemampuan mengakses dan mengevaluasi informasi, tetapi juga kemampuan memproduksi ulang dan mengkonservasi warisan budaya. Implikasi praktisnya, institusi pendidikan dan komunitas budaya perlu merancang kurikulum yang mengintegrasikan penceritaan lisan tradisional dengan keterampilan produksi media digital. Kelemahan penelitian ini adalah keterbatasannya pada kajian literatur, sehingga kurang menangkap dinamika interaksi sosial secara langsung di lapangan.

Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa interaksi antara budaya Lisan dan keaksaraan digital memainkan peran fundamental dan positif dalam pembangunan identitas budaya generasi muda di media sosial. Klaim ini didukung oleh bukti bahwa media sosial menyediakan medium yang efektif untuk mentransformasi dan mengekspresikan kembali nilai-nilai budaya lisan secara dinamis dan partisipatif.

Temuan baru yang disajikan adalah model di mana keaksaraan digital yang kompeten berfungsi sebagai jembatan yang memungkinkan konservasi budaya secara aktif di era modern, mengubah generasi muda dari konsumen pasif menjadi agen budaya aktif. Kontribusi artikel ini terletak pada penekanan hubungan simbiotik antara tradisi dan teknologi, menantang narasi umum tentang erosi budaya akibat digitalisasi. Meskipun demikian, penelitian ini menyadari adanya bagian yang belum terselesaikan, yaitu pengukuran dampak kuantitatif dari produksi konten budaya ini terhadap kohesi sosial di dunia nyata. Perspektif penelitian lanjutan disarankan untuk fokus pada studi kasus etnografis di platform media sosial yang spesifik untuk mengukur secara empiris tingkat penguatan identitas budaya yang terjadi.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *