Fungsi Kelisanan dalam Pembentukan Narasi Kolektif Masyarakat Lisan
Abstrak
Kelisanan merupakan aspek fundamental dalam pembentukan narasi kolektif di masyarakat lisan. Melalui tradisi lisan, nilai, sejarah, dan identitas budaya diwariskan secara turun-temurun tanpa media tertulis. Artikel ini mengkaji fungsi kelisanan dalam memperkuat narasi kolektif sebagai fondasi sosial dan kultural masyarakat lisan. Metode yang digunakan adalah kajian pustaka (library research) dengan menelaah literatur terkini selama lima tahun terakhir. Hasil kajian menunjukkan bahwa kelisanan tidak hanya menjaga kontinuitas budaya, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan mengadaptasi narasi terhadap perubahan zaman. Artikel ini menggarisbawahi pentingnya kelisanan dalam menjaga identitas dan keberlangsungan narasi kolektif di era modern.
Kata Kunci : Kelisanan, Narasi Kolektif, Identitas Budaya
Abstract
Orality is a fundamental aspect in shaping the collective narrative within oral communities. Through oral traditions, values, history, and cultural identity are passed down from generation to generation without written media. This article examines the function of orality in strengthening the collective narrative as a social and cultural foundation for oral societies. The method used is library research by reviewing recent literature published within the last five years. The findings indicate that orality not only preserves cultural continuity but also reinforces social cohesion and adapts narratives to changing times. This article highlights the importance of orality in maintaining identity and ensuring the sustainability of collective narratives in the modern era.
Keywords: Orality, Collective Narrative, Cultural Identity
PENDAHULUAN
Kelisanan atau tradisi lisan merupakan bentuk komunikasi budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui tuturan langsung. Dalam masyarakat yang tidak bergantung pada media tulisan, kelisanan menjadi sarana utama dalam mempertahankan ingatan kolektif. Cerita rakyat, mitos, dan legenda menjadi media penyampai nilai sosial dan pandangan hidup komunitas. Di banyak masyarakat tradisional, kelisanan masih berfungsi sebagai basis penyampaian pengetahuan lokal. Tanpa tradisi lisan, banyak aspek kebudayaan kemungkinan besar akan hilang ditelan waktu.
Peran kelisanan dalam pembentukan struktur pengetahuan menjadi semakin jelas ketika melihat bagaimana masyarakat mengembangkan pola pikir melalui tuturan. Masyarakat lisan mengandalkan memori, repetisi, dan performa verbal dalam menyampaikan informasi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tradisi lisan membentuk cara berpikir yang situasional dan kontekstual. Hal ini berbeda dengan masyarakat literasi yang lebih mengandalkan abstraksi. Dengan demikian, kelisanan membentuk identitas kognitif sekaligus identitas kultural.
Narasi kolektif dalam tradisi lisan berfungsi sebagai pedoman moral yang mengarahkan tindakan sosial masyarakat. Kisah-kisah yang dituturkan biasanya memuat pesan tentang integritas, kepemimpinan, ketekunan, dan relasi harmonis dengan alam. Para peneliti mencatat bahwa masyarakat lisan menggunakan cerita sebagai alat pendidikan informal untuk menanamkan nilai etika. Proses ini berlangsung secara natural dalam interaksi sehari-hari. Karena itu, kelisanan menjadi instrumen penting dalam pembentukan karakter komunitas.
Selain menjadi ruang penyampaian pesan moral, kelisanan juga memperkuat kohesi sosial dalam masyarakat. Aktivitas seperti pertunjukan cerita, musyawarah desa, atau ritual adat membuka ruang bagi partisipasi kolektif antar anggota masyarakat. Interaksi ini menciptakan pengalaman emosional yang mempererat solidaritas. Dalam masyarakat lisan, pengetahuan tidak hanya dipahami, tetapi juga dialami bersama. Oleh karena itu, tradisi lisan berperan strategis dalam membangun rasa kebersamaan dan identitas kelompok.
Perubahan sosial dan teknologi modern membawa tantangan besar bagi keberlanjutan tradisi lisan. Arus globalisasi dan penetrasi media digital menggeser pola komunikasi tradisional. Banyak generasi muda lebih akrab dengan informasi daring daripada cerita leluhur. Kondisi ini berpotensi mengurangi ruang interaksi verbal antar generasi. Karena itu, upaya pelestarian kelisanan menjadi urgen dalam menghadapi perubahan zaman.
Namun, perkembangan teknologi juga menghadirkan peluang bagi revitalisasi kelisanan. Penelitian menunjukkan bahwa platform digital dapat menjadi medium baru dalam melestarikan cerita dan praktik lisan. Rekaman audio, video, podcast, dan dokumentasi digital membantu memperluas akses terhadap narasi budaya tradisional. Transformasi digital ini memungkinkan masyarakat menjaga memori kolektif tanpa kehilangan makna inti tradisi. Dengan demikian, kelisanan menunjukkan sifat adaptif terhadap perubahan teknologi modern.
Meski begitu, tradisi lisan tetap memiliki karakter yang tidak sepenuhnya dapat digantikan oleh media digital. Unsur performatif seperti intonasi, ekspresi, improvisasi, dan suasana sosial menjadi bagian integral dari penyampaian cerita. Proses interaksi langsung memperkaya makna narasi dan memperdalam pengalaman pendengar. Para peneliti menegaskan bahwa tradisi lisan memiliki nilai emosional dan kultural yang tidak dapat direduksi menjadi sekadar teks atau rekaman. Inilah alasan mengapa kelisanan tetap relevan hingga kini.
Dalam kajian antropologi kontemporer, kelisanan dipahami sebagai struktur epistemik yang membentuk cara masyarakat memahami realitas. Melalui tuturan, masyarakat tidak hanya mentransmisikan cerita, tetapi juga menginterpretasikan dunia sekitarnya. Penutur tradisional memegang peran penting sebagai penjaga memori budaya. Mereka memastikan kesinambungan pengetahuan dan menjembatani nilai-nilai antar generasi. Dengan demikian, kelisanan memiliki fungsi kognitif sekaligus sosial yang mendalam.
Penelitian mengenai tradisi lisan menjadi penting untuk memahami bagaimana masyarakat mempertahankan identitas di tengah arus globalisasi. Narasi kolektif yang terbentuk melalui kelisanan dapat menjadi mekanisme resistensi kultural terhadap homogenisasi budaya global. Selain itu, tradisi lisan memberikan wawasan mengenai bagaimana nilai lokal dipertahankan dan dinegosiasikan dalam konteks modern. Karena itu, kelisanan merupakan aset kultural yang memiliki nilai strategis dalam pembangunan budaya nasional dan lokal.
Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, penelitian ini bertujuan menelaah fungsi kelisanan dalam membentuk dan memelihara narasi kolektif pada masyarakat lisan. Fokus kajian meliputi mekanisme penuturan, pembentukan nilai budaya, serta adaptasi tradisi lisan terhadap perubahan sosial dan teknologi. Kajian ini diharapkan memberikan kontribusi ilmiah bagi pengembangan studi kebudayaan kontemporer. Selain itu, hasil penelitian dapat menjadi dasar bagi upaya pelestarian budaya lisan di tengah tantangan globalisasi. Dengan demikian, kelisanan tetap menjadi bagian vital dari identitas komunitas modern.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode library research, yaitu studi literatur terhadap publikasi-publikasi ilmiah, buku, dan artikel jurnal yang relevan dengan tema kelisanan dan narasi kolektif. Fokus kajian adalah jurnal dan literatur yang diterbitkan dalam 10 tahun terakhir (2015–2025) untuk memastikan keaktualan teori dan data. Sumber data dianalisis secara kualitatif untuk menelusuri fungsi dan peranan kelisanan dalam konteks sosial budaya masyarakat lisan, termasuk mekanisme transmisi narasi serta adaptasi nilai budaya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis literatur menunjukkan bahwa kelisanan memegang fungsi sentral dalam menjaga identitas budaya masyarakat lisan. Melalui tradisi bercerita, masyarakat mempertahankan hubungan dengan memori kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi. Penyampaian cerita secara langsung menciptakan ikatan emosional yang kuat. Dalam konteks tersebut, kelisanan berperan bukan hanya sebagai media komunikasi, tetapi juga sebagai pembentuk jati diri sosial. Fungsi ini menjadikan kelisanan fondasi utama keberlanjutan budaya.
Tradisi lisan pada komunitas adat seperti Baduy memperlihatkan bagaimana nilai moral dan etika ditanamkan melalui tuturan sehari-hari. Proses mendengarkan cerita dari tetua adat menjadi sarana pendidikan informal yang efektif. Interaksi langsung memastikan nilai diterima secara alami oleh generasi muda. Mekanisme ini berjalan tanpa struktur pendidikan formal modern. Dengan demikian, kelisanan menjadi pilar pendidikan karakter dalam komunitas adat.
Di dalam proses penyampaian narasi, kelisanan memperlihatkan sifat yang dinamis dan lentur. Cerita dapat dimodifikasi sesuai situasi sosial tanpa merusak makna budaya inti. Kemampuan beradaptasi ini membuat tradisi lisan tetap relevan menghadapi perubahan zaman. Narasi dapat mengalami improvisasi sesuai kebutuhan pendengar. Hal ini menjadikan kelisanan sebagai media budaya yang hidup dan terus berkembang.
Tradisi elong dalam masyarakat Bugis menjadi contoh bagaimana kelisanan menyimpan nilai normatif melalui bahasa yang puitis. Elong tidak hanya memuat struktur kekerabatan, tetapi juga membimbing perilaku sosial. Penyampaian lisan melalui nyanyian menjadikan pesan moral lebih mudah diterima. Kekuatan irama dan repetisi membantu ingatan kolektif masyarakat. Tradisi ini memperlihatkan integrasi nilai etika dalam seni lisan.
Melalui penyampaian elong, solidaritas komunitas Bugis semakin menguat karena proses menyanyi bersama menciptakan ruang emosional kolektif. Ritual yang melibatkan kelisanan ini mempererat hubungan antargenerasi. Interaksi tersebut bukan sekadar hiburan, tetapi juga sarana pewarisan adat. Dengan begitu, kelisanan menjadi pengikat sosial yang efektif. Perannya mencakup dimensi budaya, emosional, dan moral.
Kekuatan kelisanan dalam menciptakan kohesi sosial terlihat dari cara komunitas berbagi cerita dalam pertemuan adat. Proses mendengar dan merespons secara langsung membentuk ruang kedekatan yang tidak dapat digantikan oleh media tulisan. Tradisi berkumpul menjadi ritual yang memperkuat rasa memiliki. Setiap cerita menjadi pengalaman bersama yang memperdalam hubungan sosial. Hal ini menjadikan kelisanan sebagai alat mempersatukan masyarakat.
Dalam komunitas Ciacia, tradisi kabhanti menjadi sarana pewarisan budaya yang berfungsi ganda sebagai seni dan pendidikan. Proses pewarisan dilakukan melalui praktik internal keluarga dan ritual adat. Melalui kabhanti, generasi muda belajar sistem pengetahuan tradisional. Penyampaian dilakukan dengan cara performatif sehingga lebih menarik. Hal ini memperlihatkan kekuatan estetika kelisanan.
Generasi muda dalam komunitas tersebut tidak sekadar menerima narasi, tetapi ikut mengolahnya sehingga terjadi proses kreativitas budaya. Pewarisan lisan menjadi ruang dialog antargenerasi. Interaksi ini menciptakan kesinambungan tradisi tanpa kehilangan relevansinya. Narasi lama dapat diperluas sesuai konteks sosial baru. Dengan demikian, kelisanan menjadi sumber inovasi budaya.
Kelisanan juga berperan dalam menjaga ingatan sejarah komunitas. Melalui mitos, legenda, dan cerita asal-usul, masyarakat memperoleh pemahaman tentang identitas mereka. Cerita tersebut menghubungkan masa kini dengan masa lalu. Narasi berfungsi sebagai jembatan temporal yang memperkuat rasa kebangsaan lokal. Karena itu, kelisanan memainkan peran vital dalam pemeliharaan sejarah non-tertulis.
Sejarah yang disampaikan secara lisan juga mengandung pesan moral dan etika. Nilai-nilai tersebut diperkenalkan melalui simbol, tokoh, dan alur cerita yang memudahkan internalisasi. Generasi muda tidak hanya mempelajari kejadian masa lalu, tetapi juga memahami ideal moral yang harus dipegang. Penyampaian naratif membuat pesan lebih mudah diterima. Dengan demikian, kelisanan berperan sebagai sumber etika sosial.
Dalam konteks pendidikan informal, tradisi lisan terbukti efektif dalam membentuk karakter dan kesadaran sosial. Proses ini bekerja melalui imitasi, penghayatan, dan keterlibatan emosional. Nilai yang ditanamkan melalui narasi sering kali lebih tahan lama dibanding ajaran teoretis. Hal ini terlihat pada komunitas adat yang masih mempertahankan sistem nilai kuat tanpa perangkat formal. Kelisanan menjadi alat pedagogis yang berpengaruh.
Studi linguistik menunjukkan bahwa masyarakat lisan memiliki pola pikir yang kontekstual dan kolektif. Kelisanan mendorong proses berpikir yang terikat pada hubungan sosial dan praktik sehari-hari. Cara berpikir ini berbeda dari budaya tulisan yang lebih abstrak. Perbedaan tersebut memengaruhi bentuk narasi, struktur kalimat, dan strategi komunikasi. Hal ini menunjukkan keterkaitan antara bahasa dan pola kognitif masyarakat.
Penelitian terhadap Hikayat Upu Daeng Menambun memperlihatkan ciri khas kelisanan seperti pengulangan dan struktur aditif. Teknik ini membantu pendengar memahami dan mengingat narasi. Struktur tersebut juga memungkinkan fleksibilitas dalam penyampaian. Kelisanan tidak menuntut presisi teks, tetapi keutuhan makna. Dengan demikian, tradisi lisan bersifat performatif dan adaptif.
Sifat performatif kelisanan membuatnya mampu bertahan meski berbagai perubahan sosial terus terjadi. Ketika nilai dan konteks mengalami pergeseran, narasi dapat disesuaikan melalui improvisasi. Penyesuaian ini menjaga tradisi tetap hidup. Hal ini menjadikan kelisanan sebagai bentuk budaya yang lentur. Keberlanjutannya bergantung pada keterlibatan komunitas.
Perkembangan teknologi digital menghadirkan tantangan sekaligus peluang bagi kelisanan. Di satu sisi, modernisasi menggerus ruang pertemuan fisik untuk berkisah. Namun di sisi lain, teknologi dapat menjadi alat dokumentasi dan publikasi narasi. Pengarsipan digital memperluas jangkauan cerita. Dengan demikian, teknologi berpotensi memperkuat kelisanan.
Integrasi kelisanan dengan media digital telah melahirkan bentuk baru seperti vlog budaya, dokumenter lokal, dan konten audio. Media tersebut memungkinkan narasi lisan menjangkau audiens global. Generasi muda juga lebih mudah mengakses tradisi melalui platform digital. Transformasi ini menunjukkan kemampuan adaptasi tradisi. Kelisanan tetap hidup dalam format baru.
Kelisanan juga berkontribusi pada pembentukan identitas keagamaan, sebagaimana terlihat dalam praktik pembacaan teks suci. Penyampaian lisan menghubungkan tradisi spiritual dengan kehidupan sosial. Melalui tuturan, nilai keagamaan diterjemahkan dalam praktik sehari-hari. Relasi ini memperkuat kohesi keagamaan komunitas. Kelisanan menjadi medium spiritual sekaligus sosial.
Teori Walter J. Ong mengenai orality membantu menjelaskan bagaimana kelisanan membentuk cara manusia memahami dunia. Ong menekankan bahwa budaya lisan menekankan hubungan dan konteks. Pendekatan ini terlihat dalam masyarakat adat yang mengutamakan kebersamaan. Narasi lisan menjadi alat untuk merumuskan realitas sosial. Dengan demikian, kelisanan memiliki fungsi epistemologis.
Ritual lisan dan upacara adat yang masih dipertahankan hingga kini menjadi bukti pentingnya kelisanan bagi keberlanjutan budaya. Ritual bukan hanya peristiwa simbolik, tetapi juga proses pelestarian nilai. Melalui ritual, narasi diwariskan secara berulang. Proses ini menciptakan kesinambungan antargenerasi. Kelisanan pun menjadi jembatan budaya yang tidak tergantikan.
Meski demikian, tradisi lisan menghadapi ancaman kepunahan jika tidak didukung strategi pelestarian yang tepat. Modernisasi, urbanisasi, dan melemahnya tradisi keluarga mempercepat hilangnya narasi lokal. Dokumentasi, pendidikan, dan revitalisasi menjadi langkah penting menjaga keberlangsungan kelisanan. Integrasi dengan teknologi juga diperlukan agar tetap relevan. Dengan pendekatan komprehensif, kelisanan dapat bertahan di masa depan.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis literatur dalam satu dekade terakhir, kelisanan terbukti memiliki peran fundamental dalam menjaga kesinambungan identitas budaya, memori kolektif, dan kohesi sosial masyarakat lisan. Tradisi lisan tidak hanya berfungsi sebagai media pewarisan nilai, tetapi juga sebagai mekanisme pendidikan moral, etika, dan kearifan lokal yang membentuk karakter komunitas. Sifatnya yang dinamis membuat narasi lisan mampu beradaptasi dengan perubahan sosial dan tetap relevan bagi generasi baru, sebagaimana tercermin dalam berbagai tradisi seperti elong Bugis, hikayat Melayu, hingga kabhanti di Sulawesi.
Dalam konteks modern, kelisanan menghadapi tantangan sekaligus peluang melalui perkembangan teknologi digital. Transformasi media penyampaian mendorong tradisi lisan untuk berevolusi tanpa kehilangan esensi budaya yang dikandungnya. Kajian literatur menunjukkan bahwa integrasi kelisanan dengan teknologi dapat memperluas jangkauan, memperkuat dokumentasi, dan menjaga kelestarian nilai budaya bagi masyarakat masa kini. Dengan demikian, kelisanan tetap menjadi fondasi vital bagi keberlanjutan identitas dan nilai-nilai budaya, sekaligus berfungsi sebagai penghubung antara generasi tua dan generasi muda dalam arus modernitas yang terus berubah.







