“BETE”
Cucu Nurajijah
“Gue lagi bete nih, jangan ganggu!”. Seringkali kita menemui orang berucap dengan kata “bete” tersebut, hal ini mencerminkan fenomena menarik di kalangan masyarakat modern, khususnya generasi muda, cenderung mencari cara yang lebih kasual dan less formal untuk mengekspresikan emosi. Dibandingkan dengan kata baku seperti “kesal”, “jengkel”, atau “murung”, kata “bete” terasa lebih ringan, lebih santai, dan lebih humanis.
Istilah “bete” merupakan akronim dari bahasa Inggris “bad temper” atau “boring time” yang kemudian mengalami penyesuaian fonologis dalam bahasa Indonesia gaul. Ada pula yang mengaitkannya dengan “bad mood”. Menariknya, kata ini telah mengalami proses naturalisasi sedemikian rupa sehingga terasa sangat Indonesia, bahkan banyak penutur yang tidak menyadari asal-usul bahasanya.
Mengapa kata “bete” begitu populer di kalangan masyarakat urban, khususnya generasi milenial dan Gen Z? Jawabannya mungkin terletak pada karakteristik kehidupan modern yang penuh tekanan.
Rutinitas yang monoton, tuntutan pekerjaan atau akademik yang tinggi, paparan informasi berlebihan di media sosial, hingga ekspektasi sosial yang tidak realistis, semuanya berkontribusi pada munculnya perasaan bete. Dalam konteks ini, “bete” menjadi kata yang merepresentasikan bentuk kelelahan psikologis yang ringan namun konstan.
Menariknya, penggunaan kata “bete” juga mencerminkan cara generasi kini menghadapi masalah emosional dengan lebih terbuka. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang cenderung menyimpan perasaan negatif, generasi muda kini lebih vokal dalam mengekspresikan ketidaknyamanan emosional mereka, meskipun dalam bentuk yang casual.
Media sosial memberikan panggung baru bagi kata “bete” untuk berkembang. Tidak jarang kita menemukan postingan atau status yang berbunyi:
“Lagi bete, butuh ice cream dan Netflix” “Bete mode: ON”
Fenomena ini menunjukkan bahwa berbagi perasaan bete di media sosial bukan hanya tentang ekspresi diri, tetapi juga tentang mencari validasi dan rasa kebersamaan. Ketika seseorang memposting bahwa mereka sedang bete dan mendapat respons “sama nih, gue juga lagi bete”, terciptalah rasa komunitas dan pemahaman bahwa mereka tidak sendirian dalam mengalami emosi tersebut.
Yang perlu kita ingat adalah bahwa merasa bete itu wajar dan manusiawi. Semua orang pernah mengalaminya. Jadi, ketika next time Anda merasa bete, ingatlah bahwa Anda tidak sendirian. Jutaan orang di luar sana juga sedang mengalami hal yang sama. Dan tidak apa-apa untuk merasa bête, yang penting adalah bagaimana kita mengelolanya.







