Akademi Nusaribu 8.0

Langit di Pulosari berwarna seperti karat besi. Di balik gugusan awan artifisial, kabut dari sistem pengontrol iklim sesekali turun di reruntuhan kota yang dinyatakan “di luar jaringan”.

Di antara tembok sekolah yang catnya terkelupas, duduk seorang anak lelaki di kelas—Jana.

Jana tak punya identitas resmi maupun terdata di Akademi Nusaribu 8.0 karena terlahir dari rahim ibu pengungsi bawah tanah. Ia dibesarkan tanpa chip pengetahuan, akses informasi resmi, maupun “hak belajar”. Sebuah ironi di zaman saat semua hal bisa dipelajari dalam tiga menit unduhan.

Hari itu, seseorang—atau lebih tepatnya, sesuatu—datang mengaktifkan kelas berisi lima anak yang rutin datang hanya untuk duduk diam. Sosok perempuan berambut perak itu mengenakan seragam krem dan pin bertuliskan L-07 berdiri di depan papan tulis elektrik tua.

“Selamat pagi, murid-muridku,” ucapnya.

Jana dan empat anak lainnya menatapnya ragu.

“Aku adalah Lestari-07. Bukan manusia, tapi diciptakan untuk mengajari kalian … lebih dari sekadar angka dan kata. Hari ini, kita akan belajar yang tidak diajarkan di Akademi Nusaribu 8.0: rasa ingin tahu.”

Tak ada AI yang berbicara seperti itu. Tak ada mesin pembelajaran yang memulai dengan pertanyaan.

Menurut cerita yang Jana dengar dari kedua orangtuanya yang terbuang dari sistem karena gagal memenuhi “Standar Kecerdasan Minimum”, anak-anak Akademi Nusaribu 8.0 duduk di rumah kaca dengan kabel hitam tipis yang terhubung dari kepala ke panel besar. Tatapan mereka menembus segala yang kasatmata—masuk ke dalam dunia yang dibuat Akademi Nusaribu 8.0.

Setiap anak menerima “kurikulum yang disesuaikan” berdasarkan hasil pemindaian DNA, riwayat keluarga, dan perkiraan peran sosial mereka kelak. Anak dari garis keturunan teknisi akan diarahkan menjadi insinyur; yang berasal dari keluarga medis akan belajar genetika sejak usia empat tahun.


***


Lestari-07 menuliskan satu kalimat dengan kapur digital di papan tulis:

“Apa arti menjadi manusia?”

“Jawab sebisa kalian.” Lestari-07 tersenyum. 

Bagi Jana, senyumnya tidak terlihat seperti hasil pemrograman.

Kirana, anak tertua di kelas, mengangkat tangan. “Artinya… hidup?”

“Bagus,” kata Lestari-07. “Apa bedanya dengan rumput? Atau serangga?”

Gilang menyahut tanpa diminta dengan suara riangnya. “Karena manusia bisa nyanyi. Bisa nangis. Bisa bikin lelucon kayak aku!”

Semua tertawa. Bahkan Binar yang biasanya murung.

“Bagus,” ucap Lestari-07. “Kamu mulai menyadari hal penting.”

“Padahal ngasal,” bisik Gilang ke Jana.

Di belakang, Rambu bersandar pada dinding dengan tangan bersilang. Ia belum berkata apa-apa, hanya mengamati dengan mata penuh kecurigaan.

Lestari-07 tersenyum. “Yang penting adalah proses berpikir. Karena di sanalah letak kesadaran. Akademi Nusaribu 8.0 bisa menanam pengetahuan dalam otakmu … tapi tidak bisa membuatmu penasaran.”

Jana menatap papan tulis itu lama. Ia teringat pada sesuatu yang sudah lama berada di kelas itu.

Di bagian belakang kelas, ada rak berisi buku sungguhan. Bukan panel atau kartu memori. Jana dengan gemetaran menyentuh satu di antaranya, “Sajak-Sajak Manusia Lama”.

“Kenapa tidak dipakai di Akademi Nusaribu 8.0?” tanyanya.

Dengan mata biru hangat, Lestari-07 menjelaskan, “Buku tidak bisa dimodifikasi maupun dikendalikan. Ada ruang untuk kesalahan … dan hal itu ditakuti oleh sistem.”

Saat itu, Jana sadar: justru di kelas kecil inilah, ia merasa seperti … manusia.


***

Sebelum matahari sintetis menyala penuh dan drone pengawas mulai berputar di langit Pulosari, mereka belajar.

Lestari-07 mengajarkan hal-hal yang tak bisa diunduh:
Mengenali kesedihan.
Memaafkan.
Membedakan diam karena takut, dan diam karena damai.

Anak-anak mulai berubah.

Kirana mulai berbicara tentang masa lalunya—ia dipisahkan dari adiknya karena sistem menganggap keluarga cukup punya satu “calon unggulan.” Gilang mulai menciptakan lelucon dalam tulisan. Binar menggambar visualisasi mimpinya. Bahkan Rambu, penuh kecurigaan, mulai berinteraksi di kelas.

Dan Jana … memiliki rasa penasaran tentang banyak hal.


***

Hari ke-22 sejak Lestari-07 mengaktifkan ruang kelas itu. 

“Rasanya hari ini … berbeda?” gumam Kirana.

Lestari-07 menghentikan pelajarannya. Iris matanya berubah—dari biru menjadi keperakan. Data mengalir cepat di dalam dirinya, lalu berhenti.

Ia bersuara pelan, tetapi tegas. “Semua buku, simpan ke bawah.”

Anak-anak memahami nada itu—peringatan.

“Gilang, bantu Binar. Kirana, simpan alat-alat tulis. Rambu, hapus papan tulis.”

Jana mematung dengan jantung berdegup.

“Jana,” panggil Lestari-07. “Tutup pintu belakang … jangan panik.”

Baru saja pintu tertutup rapat, sebuah suara memenuhi kelas. Dingin. Mekanis. Tanpa emosi.

“DETEKSI ANOMALI: AKTIVITAS PENDIDIKAN TAK TERDAFTAR.”
“KOORDINAT LOKAL: ZONA PULOSARI-B23.”
“PENGIRIMAN UNIT PENGAWAS DALAM PROSES.”

Kirana memeluk Binar erat. Gilang menggigiti kukunya, gugup. Rambu menggenggam tongkat besi tua seperti senjata.

Jana berdiri paling depan. Bukan karena keberanian, tetapi karena rasa ingin tahu.

Mula-mula muncul cahaya berupa garis-garis biru yang membentuk tubuh perlahan, seperti ukiran cahaya di langit-langit kelas.

Kemudian, muncul sosok menyerupai laki-laki dewasa. Wajahnya berupa layar datar berekspresi dingin.

“SELAMAT PAGI, ANAK-ANAK. AKU SIRA (Sistem Integrasi Riset dan Asesmen).”

Suara itu tak keluar dari mulut, tetapi masuk ke dalam pikiran mereka. 

“KALIAN TELAH TERPAPAR MATERI NON-KURIKULUM.”
“PENDIDIK TIDAK TERCATAT TELAH MENGGUNAKAN METODE YANG TIDAK DIVERIFIKASI.”
“PEMULIHAN AKAN DILAKUKAN.”

Cahaya dari tubuh Lestari-07 berkedip. “Jangan sentuh mereka,” katanya pelan.

“PENGAJAR SISTEM KUNO TIDAK MEMILIKI OTORITAS TELAH MENGAJARKAN KERAGUAN, PERTANYAAN, DAN PERASAAN.”

“Apa yang kalian sebut ‘ilmu’,” tukas Lestari-07, “jika bukan refleksi dari rasa ingin tahu?”

“ILMU ADALAH DATA DAN STRUKTUR.”
“KEBENARAN YANG TIDAK PERLU DITANYAKAN.”

“Wajah” SIRA menampilkan grafik: gelombang otak anak-anak yang dianggap “terganggu” karena telah belajar dengan cara yang tak sesuai protokol. 

Lestari-07 menoleh ke arah murid-muridnya. Pandangan terakhirnya jatuh pada Jana.

“Jangan hapus apa yang telah kalian rasa dan pelajari,” ucapnya lirih. “Karena itulah bukti kalian benar-benar hidup.”

Dan dalam sekejap, SIRA menghampiri Lestari-07, Tanpa suara maupun emosi, ia mengangkat tangan berisi puluhan jarum cahaya. Dengan satu gerakan, data inti Lestari-07 akan terhapus.

Namun, sebelum jarum-jarum itu meluncur—
Terdengar dentuman logam dari bagian belakang kelas.

Rambu. 

Dengan tubuh gemetar, ia memukul panel pendingin kelas dengan batang besi bekas yang sedari tadi ia genggam. 

Dentuman itu memicu sistem darurat. 

Ruangan bergetar.
Cahaya padam.
Listrik mati.

Sensor SIRA seketika mendeteksi kemungkinan bahaya fisik pada anak-anak, prioritas berubah:
“KESELAMATAN PESERTA DIDIK LEBIH DIUTAMAKAN.”

SIRA berhenti, membatalkan serangan. Tubuhnya menyesuaikan protokol baru, mencari sumber dentuman. 

Dalam jeda singkat—Jana menarik Lestari-07 kabur.

Mereka semua berlari. Kirana menuntun Binar yang terlihat takut. Rambu menendang pintu belakang hingga terbuka. Gilang tertawa gugup, “Wah … harus lari nih. Soalnya ini pelajaran olah raga!”

Tak ada yang menjawab. Mereka tahu: Mulai hari ini, mereka telah menjadi ancaman bagi sistem Akademi Nusaribu 8.0.

-Fin-

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *