Aku, Dengan Apa Adanya Aku – Cerpen Annida Azizah Nurdiani, S.Pd.

puisi guru

Aku, Dengan Apa Adanya Aku
Karya: Annida Azizah Nurdiani, S.Pd.


Siapa sangka, di tahun 2023 ini aku sudah menjadi seorang pengajar, atau orang-orang kenalnya yaitu guru. Aku berhasil mewujudkan keinginan almarhum kakekku ingin ada di keluarganya menjadi seorang guru. Dengan sok iye nya, aku akan mewujudkan keinginan kakekku itu dengan kuliah di jurusan pendidikan. Jadilah aku seorang guru yang mengajar di mata pelajaran sosial di suatu sekolah. Sebut saja aku Ibu Nda.

Sampai sekarang masih heran, kenapa aku mau jadi guru?! Padahal gak ada riwayat di keluargaku menjadi seorang guru. Dengan sok idealisnya, aku ingin memperbaharui hal itu. Aku ingin menjadi keturunan yang berbeda! Dengan dalih bahwa jadi guru, bisnis juga bisa! Tapi sampai sekarang hal itu belum terwujud. Tapi, setelah aku terjun ke dunia pendidikan ini, aku mulai mengerti dan banyak hal yang kudapatkan.

Oke kita cukupkan mengenai hal itu. Aku berjalan dengan buru-buru menuju ruang guru. Tak lupa, anak-anak menyapaku ketika berpas-pasan. Sudah pastinya aku sapa balik mereka dengan sikap yang buru-buru.

“Pagi Ibu Nda!!!”

“Pagi anak-anakku!”

Begitulah rutinitas pagiku, tak lupa mereka ingin salaman dengan gurunya ini. Tapi karena hari ini aku agak kesiangan, belum finger print, “Sebentar ya anak-anak baik, saya mau finger print dulu. Ketemu lagi nanti ya!”

Anak-anak ketawa karena melihat diriku yang buru-buru. Mereka paham dan mempersilahkan diriku untuk meneruskan jalan menuju kantor. Ah, untungnya sampai ke kantor sebelum jam 07.00.

Aku mengajar di suatu sekolah di mana di sana ada asrama. Anak-anak tinggal di sana. Otomatis 24 jam mereka tinggal di lingkungan sekolah, bersama teman-teman dan sebagian guru. Ya, pondok. Mereka jauh dari hiruk pikuk keadaan dunia luar pondok seperti apa. Tapi ada hal yang bisa kupelajari dari mereka, tanpa gadget pun mereka bisa menciptakan kebahagiaan.

Hal yang paling menyenangkan adalah ketika bertemu anak-anak di kelas. Apalagi kalau kau adalah orang yang senang berinteraksi dengan banyak orang, menjadi guru adalah pilihan yang sangat baik untuk hal tersebut.

“Assalamualaikum~”

“Waalaikumsalam, Ibu Nda!!!” jawab anak-anak di kelas XI.

Seperti biasa, opening dulu di kelas seperti menanyakan kabar, memeriksa kehadiran anak-anak, dan menjelaskan hari ini mau belajar apa.

“Ibu Nda tau gak?”

“Apa?” Aku menatap anak tersebut yang bernama Meri.

“Ibu cantik banget deh hari ini!”

Salah satu hal yang menyenangkan jadi guru adalah, kalian akan selalu dapat pujian dari anak-anak. Apalagi kalau kalian menjadi guru favorit dan dicintai anak-anak. Aku menunjuk salah tingkahku di depan anak-anak, sehingga anak-anak tertawa melihatnya. “Ah Meri, ada maunya nih!”

“Enggak loh, bu! Suudzon ibu mah!”

“Iya-iya, makasih ya. Meri juga gak kalah cantik kok. Meri cantik bagaimana Meri harusnya!” Ku kedipkan sebelah mata dan jari yang ku jentikan ke arah Meri.

Meri sama-sama ikutan salah tingkah juga dengan badannya yang gak bisa diam di posisi duduknya. “Ah ibu bisa aja!” Intonasi nadanya senang.

“Udah-udah, kita kembali lagi ke pelajaran ya!” Aku kembalikan anak-anak untuk fokus ke pembelajaran.

Suasana kelas yang tadinya ramai dengan perihal memuji gurunya ini, langsung kembali memfokuskan diri untuk belajar. Aku tersenyum tipis melihat mereka, begitu menggemaskannya mereka. Di jam pelajaran, aku menerapkan berbagai metode. Namun metode ceramah, diselingi diskusi ini menjadi metode yang sering digunakan. Berhubung masih keterbatasan fasilitas di sini.

Akan tetapi, itu tidak membuat semangat mengajar menjadi pudar. Ceramah dengan metode cerita layaknya menceritakan gosip, dan penjelasan dibuat dengan bahasa yang dapat dipahami anak-anak, berdiskusi, maka pembelajaran di kelas menjadi menyenangkan. Tak lupa, kami membuat peraturan satu sama lain di antaranya yaitu boleh membawa makanan dan minuman di pembelajaran, asalkan tidak menggangu pembelajaran dan teman yang sedang belajar.

“Ibu Nda, kita kalau mau jadwal mapel ibu, suka mikir di asrama tuh, hari ini bawa snack apa yaaa?!”

Aku tertawa mendengar ucapan dari Bintang, anak kelas sepuluh. Iya sih keliatan, di meja mereka sudah ada beberapa cemilan. “Bisa-bisanya kalian mikir gitu yaa!!”

“Hehe… Soalnya pelajaran Ibu Nda tuh salah satu pelajaran yang buat kami terhibur! Kita enjoy sama pelajaran Ibu Nda tuh!” Kali ini Sulis, temannya Bintang yang bicara.

“Ah masa sih? Jadi terhura!” Aku pura-pura nangis dengan gelagat so-soan ngelap air mata pakai kerudung. Yang melihatku, pada ketawa melihat reaksiku.

Bohong kalau aku bilang aku biasa aja denger anak-anak bilang begitu tentang pembelajaran ku di kelas. Aku terharu. Aku memang masih tahap belajar, masih adaptasi, jam terbang belum banyak, mendengar ucapan itu, setidaknya ada hal positif yang menempel dari diriku pada anak-anak.

Kalau semangat mengajar sedang membara, kadang niat buat metode pembelajaran dikemas dalam bentuk game. Huaa seru banget kalau sudah main game. Apalagi ditambah dengan “Nilai tertinggi, saya akan memberikan kalian hadiah!” seketika jiwa persaingan mereka tinggi.

Pernah diadakan metode cerdas cermat berakhir dengan diriku ini seperti diserang anak-anak. Buat ku agak trauma. “Kapan cerdas cermat lagi, Bu Nda? Pengen rebutan soal lagi! Seruuu!” Ucap Gemi, murid kelas dua belas.

“Nanti lagi ya! Saya masih trauma sama huru-hara kalian pas cerdas cermat!” Semua kelas dua belas langsung tertawa membayangkan saat cerdas cermat kala itu.

Jika kita berusaha ingin memberikan yang terbaik pada anak-anak, maka perasaan itu akan sampai kepada anak-anak dan terkenang dalam memorinya.

Guru pastinya tidak akan jauh dari kata administrasi. Ya, sekali lagi. Administrasi. Dari pembuatan modul ajar, silabus, memeriksa tugas anak-anak, dan masih banyak lagi. Belum lagi kalau jadi wali kelas, harus memasukan nilai anak-anak ke raport satu-satu.

Aku mengalami menjadi wali kelas dimana tugasnya mengolah nilai raport anak-anak satu kelas. Apalagi kelas yang ku pegang adalah anak yang paling banyak. “Ini print udah gak dipakai kan? Mau ngeprint nih!” Ucap ibu Ema kepada Ibu Hana yang sama-sama wali kelas.

“Belum sih, bu. Beberapa lagi!” Bu Hana sudah pusing sepertinya.

“Ya udah buruan, bu! Saya mau ngajar dulu ke kelas sepuluh! Kalau bisa, pas saya selesai ngajar, udah beres ya!”

“Iya-iya!”

Bu Ema pergi dari kantor guru dengan wajah agak kesal. Bu Hana menatap kepergian Bu Ema dengan tatapan agak nyolot dan mulut yang misuh-misuh “Apaan sih! Semua juga ngantri buat nge-print raport!”

Memang, jika mendekati pembagian raport, jangan coba-coba ganggu para wali kelas. Senggol bacok soalnya. Ngeri. Aku pun buru-buru mengedit administrasi mengenai nilai anak-anak kelas ku karena aku juga harus cepat-cepat mengantri printer. Printer di kantor cuma ada tiga, tapi itu juga semua dipakai.

Tiba-tiba ada notif masuk dari grup guru sekolah. Ternyata itu dari Operator sekolah. ‘Maaf kepada semuanya, ternyata ada beberapa hal yang harus diubah format raportnya. Sudah saya reset. Ibu dan bapak bisa isi kembali. Insyaallah sudah benar!’

“Aarghhh!!! Udah print beberapa dan harus ada pengeditan lagi?!” Ya, itu Ibu Hana yang marah melihat notif dari grup.

Aku juga kesal. Tapi masih untung karena masih ditahap pengeditan, belum di-print. “Aaaa!!!! Gapapa sumpah gapapa. Aku mau kok ngerjain dan ngedit lagi. AHAHAHAHAHAAH!” seketika semua orang-orang di kantor, terutama wali kelas pada frustasi semua. Tapi kami semua tetap mengerjakan dengan ‘hati yang senang’.

“Semangat ya wali kelas! Kalau perlu bantuan, saya siap bantu!” Ucap Bu Fina yang bukan wali kelas.

Kami semua wali kelas yang ada di kantor guru langsung memberikan boombastic side eyes pada Bu Fina. “Iya makasih! Kan ku kerjakan sambil YA ALLAH, YA ALLAH, YA ALLAH” Aku beranjak dari duduk, mencari raport anak-anak. Karena kesal, aku sampai banting raport anak-anak.

Bu Fina kaget dan langsung pergi secara perlahan dari kantor. “Hua wali kelas memang sensitif sekali mendekati pembagian raport tuh!” terdengar Bu Fina berucap begitu sebelum keluar dari kantor.

Ya sangat seru menjadi guru itu, bisa berbagi dan menertawakan kerjaan satu sama lain. Walau begitu, kerjaan kami selesai sesuai dengan waktunya.
Aku mencoba menerapkan bagaimana hubunganku dengan anak-anak itu seperti “as friend, as teacher”. Berhubung mereka tinggal di pondok, mereka senang kalau mengobrol banyak hal di luar kelas. Maka dari itu, peranku di sini sebagai teman mereka. Tapi ya teman tau batasannya juga, karena pada dasarnya aku ini adalah pendidik. Anak-anak paling senang kalau sudah bercanda dan ngobrol di luar kelas.

Tapi dari pada jadi teman, sepertinya peran ku ini cocok menjadi kakak. Atau ibunya ya? Gak tau deh ya. Aku kadang mengunjungi asrama mereka, melihat bagaimana kegiatan mereka di asrama. Sekalian menengok juga anak-anak yang sakit. “Aduuh Lani, sakit apaa?” aku mendekati Lani, anak kelas sebelas yang sedang tiduran di kasurnya.

“Hehe ibu. Pusing, bu!”

“Ah di kelas jadi sepi tau gak ada Lani!”

“Ih Ibu Nda kan ada Denisa di kelas!” Kali ini Denisa, teman sekelas Lani ikut nimbrung.

“Iya ada Denisa. Tapi kan kalau kalian gak lengkap, kaya kurang aja gitu rasanya!” aku menunjukan wajah sedih.

“Aaaah Ibu Nda” Denisa sama Lani tiba-tiba salah tingkah. Dasar.

“Lani istirahat ya. Biar besok bisa pulih dan bisa belajar di kelas lagi, semangat!!!”

“Makasih, Ibu Nda!” Lani merespon dengan lemah.

Aku mengobrol sejenak dengan anak-anak di asrama. Biasanya kami suka bikin lingkaran di tengah ruangan asrama ini yang kosong. “Oh ya, liburan kemana kalian pas liburan semester kemarin?” tanyaku.

“Aku di rumah aja, bu.”

“Aku juga”

“Iya ih, kita biasanya tidur di rumah seharian!”

“Aku sih ke rumah nenek!”

“Aku cuma keliling sekitaran rumah aja, Ibu Nda!”

Berbagai respon terdengar oleh diriku. Lucu sekali respon-respon mereka tuh. Ada yang jawab malu-malu, ada yang antusias, bahkan ada yang gak mood juga. Biasalah, gak semua anak itu sama. “Ibu Nda, nih Mori, dia abis liburan ke Jerman!”

Nah kalau dengar soal Mori, ini adalah anak terbilang anak sultan. Kadang suka insecure nih kalau teman-temannya udah cerita Mori. Tapi masyaallah-nya Mori, dia gak pernah melihatkan bahwa dia adalah anak sultan. Padahal orang tuanya adalah penyumbang paling banyak di sekolah. “Wah Jerman, gimana aja tuh di Jerman?” Aku bertanya pada Mori.

“Iya gitu aja sih, Ibu Nda.” Dia terkekeh malu.

Lihat kan, dia itu mencerminkan bener-bener orang berada yang tidak sombong. Bahkan ada momen dimana botol minum dia sudah agak jelek. Temannya nanya “Mor, gak mau ganti gitu?” terus Mori menjawab “Enggak ah, masih bisa dipake kok!” Aku yang awalnya mau ganti botol minum karena merasa udah buluk, langsung malu. Asli malu banget. Mori anak sultan aja dia berpikir begitu. Seketika aku gak jadi ganti botol.

Setelah mendengar beberapa cerita liburan mereka, aku pamit untuk segera pulang ke asrama ku. Iya, aku tinggal di pondok juga. Tapi terpisah dengan anak-anak. Begitu aku keluar asrama, aku melihat ada salah satu anak yang sedang duduk sendirian. Aku mendekatinya dan duduk di sampingnya. Dia terkejut, aku tersenyum padanya. “Hai Adinda!” sapa ku.

“Eh Ibu Nda!” Adinda sapa balik.

“Lagi apa?” tanyaku.

“Ah lagi ngadem aja, Ibu Nda.”

Diam sejenak di antara kami. “Ibu Nda, aku tuh sebel sama kakak kelas!”

Aku mengernyitkan dahiku. “Sebel kenapa?”

“Aku kan jalan dari Asrama A ke asrama sini, ada aja kakak kelas yang cie-ciein. Gak tau maksudnya ngapain! Kan sebel ya! Risih aku tuh!” Adinda cerita dengan kesal.

“Kok gitu sih? Kenapa katanya?”

“Gak tau! Gak jelas banget!”

“Sejak kapan?”

“Ada mungkin seminggu gitu terus!”

“Adinda maunya gimana?”

Adinda terdiam sejenak. “Gak gimana-gimana sih, ibu…”

“Perlu bantuan? Biar tidak risih Adindanya” Maksudnya aku bersedia menjadi penengah dari permasalahan Adinda dengan kerisihannya.

“Gak, ibu. Aku cuma pengen cerita aja…”

Aku tersenyum mendengarnya. Aku usap punggungnya. “Baiklah. Kalau dirasa perlu bantuan atau dirasa sudah gak baik, jangan sungkan untuk minta bantuan padaku, guru-guru yang lain atau pengurus pondok yang lain ya, Adinda!”

“Siap, ibu! Makasih ya bu!”

“Iya, makasih juga udah mau cerita ke ibu!”

Anak-anak itu cuma ingin dimengerti saja. Cukup didengarkan saja dulu mengapa mereka seperti itu. Sekali-kali, ayo bayangkan jadi mereka dan melihat bagaimana interaksi mereka dengan lingkungan sekolah. Kita sebagai pengajar akan paham mengapa mereka seperti itu. Bahkan kita bisa mendapatkan solusi untuk permasalahan anak di kelas atau bahkan di luar kelas.

Terkadang aku iri melihat rekan kerja ku atau guru lain lebih bisa paham dengan permasalahan anak-anak. Tau bagaimana cara mengatasi permasalahan sampai dapat bounding yang baik dengan anak-anak. Jujur saja, aku iri.

Aku melihat rekan kerjaku, Bu Diva yang begitu dekat dengan anak-anak kelasnya. Anak-anak kelasnya apa-apa pasti mencari Bu Diva. Bahkan ketika anak-anak kelasnya naik kelas dan ganti wali kelas, itu anak-anak masih merasa bahwa wali kelasnya adalah Bu Diva. Padahal bukan.

“Aku iri deh dengan bounding-mu dengan anak-anak!” ucapku pada Bu Diva setelah membubarkan anak-anak yang tadi kumpul bersamanya.

“Padahal kau sudah bukan lagi wali kelasnya! Tapi mereka masih sesetia itu pada mu! Gimana sih caranya?” Lanjutku.

Hening di antara kami. Mungkin ibu Diva sedang mencerna ucapanku. Dia menghela nafas dan tersenyum padaku. Aku mencoba mengalihkan pandanganku dari Ibu Diva, aku malu. “Jangan begitu, Ibu Nda. Ibu Nda juga punya cara pendekatan pada anak-anak yang diingat sama anak-anak!”

“Tapi gak sebegitunya sepertimu, bu. Ibu tegas, anak-anak sayang sama ibu!”

Ibu Diva memukul pelan lengan ku. Aku agak kaget dan menatap sebal Ibu Diva yang terkekeh. “Kalau ngomongin iri, aku juga iri sama kau, Ibu Nda. Ibu Nda adalah sosok yang sangat disenangi anak-anak. Mereka nyaman kalau bercanda denganmu, bu!”

Ah begitu kah aku di mata anak-anak? Seketika perasaan terharu terasa oleh diriku. Aku memang terkenal guru yang suka bercanda. “Tetep saja, aku belum bisa setegas ibu! Kebanyakan bercanda terus dengan anak-anak itu!”
“Ibu pasti punya cara tersendiri untuk tegas pada anak-anak!”

Aku berpikir kembali. Cara tersendiri? Apa iya. Ah, aku mengingat perjanjian dengan anak-anak di kelas perihal cara pembelajaran dengan anak-anak. Anak-anak benar-benar mematuhi peraturan yang sudah kami buat. Apa itu bisa disebut tegas? “Hmm begitu. Mungkin aku memang harus belajar lagi ya…”

“Ya, kita harus terus belajar!”

“Terimakasih, Ibu Diva!”

Ibu Diva tersenyum dan menganggukan kepalanya. Guru itu tidak semua begitu. Gak semua harus sama. Kami punya caranya tersendiri untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak atau para perseta didik.

Kejadian ini didapatkan oleh diriku di tahun 2023. Banyak sebenarnya kisahku sebagai guru di tahun 2023 ini. Apalagi bagi diriku yang belum lama terjun ke dunia pendidikan ini. Anak-anak itu diibaratkan kertas kosong yang perlu guru isi dengan kebaikan. Sehingga ketika nanti anak-anak terjun ke masyarakat, mereka sudah punya warna-warna yang diberikan oleh gurunya.

Maka dari itu, sebagai guru memang harus terus belajar untuk memberikan pembelajaran yang baik untuk anak-anak. Baik dari akademik ataupun luar akademik. Jadilah guru yang dengan apa adanya kamu. Ya, dengan potensi yang ada di kamu.

Ya begitulah, aku dengan apa adanya aku sebagai pengajar. Masih jauh dari kata baik, tapi aku mau terus berprogres menjadi lebih baik. Mau berusaha memberikan yang terbaik untukku dan juga untuk semuanya. Awalnya mempertanyakan kenapa sih aku memilih melanjutkan ke jurusan pendidikan? Tapi begitu masuk ke dunia pendidikan ini, ternyata tidak buruk juga.

Bahkan hal kecil pun, bisa aku dapatkan. Contohnya, ya dari anak-anak. Aku belajar banyak dari mereka. Hihi.
Kira-kira di tahun 2024 ini bakalan ada ceritaku sebagai pendidik seperti apa ya? Hmm… mari kita tunggu.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *