Aku Kecewa tapi Aku Punya Mereka
Karya: Reza
Desember 2023, di salah sudut kota yang kecil, dalam kamar kos-kosan yang kumuh dan temaram, seorang gadis duduk termenung melihat ke layar laptop dengan wajah datar. Tak dihiraukannya cahaya dari layar laptop yang menyilaukan mata, dia tetap termenung. Lantai yang dipenuhi sampah, dinding yang penuh dengan tempelan kertas warna-warni di sana-sini dan di salah satu sudut meja tergeletak sebuah buku tulis yang penuh dengan coretan kasar pada salah satu halaman yang berisi susunan rencana, yang sudah tersusun rapi. Ya, gadis itu adalah Ami, mahasiswi salah satu Universitas terbaik di ibu kota. Dia masih menatap layar yang menunjukkan tulisan “Anda masih belum dapat mengakses laman ini.” Rupanya layar tersebut mempertontonkan kegagalan Ami untuk mendaftar sidang skripsi di akhir tahun ini. Perlahan air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Ami duduk dalam diam, kemudian dia menangis dalam kesendirian karena dia telah gagal.
Ami adalah anak dari seorang pengrajin yang kesehariannya menempa besi yang panas menjadi sesuatu yang sangat berguna. Ya, ayahnya adalah seorang pandai besi1 yang selalu gigih dalam bekerja. Ibunya telah lama pergi bekerja di luar negeri, hanya memberi kabar sesekali sambil mengirim uang. Keduanya telah lama berpisah semenjak Ami masih duduk di bangku SMA, akan tetapi keduanya masih saling bertegur sapa hingga saat ini. Entah apa permasalahan yang membuat keduanya memilih untuk berpisah, Ami tak tahu dan tak ingin mencari tahu. Ami bukanlah anak yang hidupnya berlebih, bahkan untuk biaya kuliah saja ayahnya harus meminjam dulu kesana kemari. Dia pernah mencoba untuk bekerja sembari berkuliah, akan tetapi dia berakhir dipecat karna Ami bukanlah gadis yang bisa fokus akan banyak hal. Dikarenakan kekurangannya itu, Ami harus selalu bergantung pada ayah dan ibunya untuk membayar biaya kuliah serta hidupnya di kota itu.
1 Orang yang pekerjaannya membuat alat-alat dari besi atau baja, seperti alat-alat bertani: cangkul, arit, bendho, bapang, kapak, pisau dll. maupun senjata-senjata.
Kembali ke masa sekarang, di semester yang sudah tua ini Ami seperti berada di ujung tanduk. Dia sangat berusaha untuk menyelesaikan skripsi dan mengejar sidang skripsi di akhir tahun ini. Hal ini dilakukan agar Ayahnya tidak perlu lagi membayar uang kuliah di semester depan. Ayahnya sudah lelah dan ibunya sudah bekerja sangat keras mengusahakan agar Ami bisa lulus menjadi sarjana di tahun ini. Berkali-kali Ami bolak-balik bertemu dosen pembimbing untuk menyelesaikan skripsinya itu namun, nasib baik masih belum berpihak kepadanya. Ketika dia sudah menyelesaikan seluruh bab skripsinya, Ami baru diberitahu bahwa nilainya masih ada yang belum memenuhi syarat untuk melaksanakan sidang di tahun ini.
Bagaikan petir di siang bolong, Ami terkejut mendengar penuturan dari salah satu staf kampus yang memberitahukan bahwa nilainya masih ada yang belum memenuhi syarat untuk mendaftar sidang saat ini. Ami tidak terima, dia merasa jika dia sudah menyelesaikan semua mata kuliah yang disyaratkan dan nilainya sudah lulus semua, tapi kenapa nilainya masih kurang?! Setelah perdebatan cukup panjang, akhirnya Ami harus menelan pil pahit jika salah satu nilai dari dosen A masih belum lulus, walaupun dia merasa jika dia sudah mengikuti mata kuliah dosen tersebut dengan baik di semester sebelumnya. Staf tersebut menyarankan Ami untuk melakukan diskusi dengan sang dosen, tapi sang dosen enggan untuk membantu bahkan untuk membaca pesan yang Ami kirim via Whatsapp pun dia enggan.
Keesokan harinya, Ami berusaha untuk menemui sang dosen A, tapi setelah berhari-hari dia bolak-balik ke kampus, sang dosen masih belum dapat ditemui. Ami sangat frustasi karena memang waktu untuk pendaftaran sidang skripsi sudah hampir ditutup. Dia berusaha untuk berkonsultasi kesana-kemari dengan siapa pun itu yang bisa membantunya mengatasi permasalahan nilainya ini. Bahkan Ami juga sudah berusaha untuk berkonsultasi dengan Kaprodi2 atas masalah yang menimpanya ini, tapi bahkan Kaprodinya pun tidak dapat membantu karena sesuai dengan peraturan yang berlaku, jika dia ingin mendaftar sidang maka Ami harus lulus dalam semua mata kuliah yang sudah ditetapkan oleh Universitas. Ami sudah sangat berusaha tapi nasib berkata lain. Ami harus menelan pil pahit jika dia tidak bisa memaksakan dirinya untuk mendaftar sidang di akhir tahun ini karena sang dosen A sudah pergi melaksanakan Umrah ke Tanah Suci. Beliau pun membalas pesan Ami yang dikirim melalui Whatsapp dengan balasan, “Ini adalah keputusan final, berapa pun nilai yang kamu terima sudah tidak dapat diubah lagi.”
2 Singkatan dari Kepala Program Studi.
3 Singkatan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ami pulang dengan langkah gontai, dia menelepon sang Ayah, mencurahkan segala permasalahan dan kegelisahannya saat ini. Tapi sang Ayah hanya diam dan berkata “Ayah kecewa nak jika kamu masih belum bisa lulus tahun ini. Ayah sudah berandai-andai bahwa kamu bisa kerja di tahun depan karena umur Ayah yang sudah makin tua. Ayah bukanlah seorang bos emas ataupun anggota DPR3 yang memiliki banyak uang nak, untuk membiayai kuliah kamu itu. Bahkan saat ini untuk makan saja Ayah sangat susah karena harus membayarkan uang semester kamu. Ayah harap kamu bisa lulus tahun ini ya nak, bantu Ayah.” Telepon dimatikan dan Ami hanya bisa termenung sendirian. Dia berniat untuk menelepon sang Ibu, mencurahkan segala kegundahan, tapi dia tidak sampai hati karena sang Ibu sudah cukup sibuk bekerja di luar sana.
Sudah berhari-hari Ami tidak keluar dari kamarnya, tidak sholat, tidak mengaji, bahkan untuk mandi pun dia enggan. Untung saja dia punya banyak stok mi instan, sehingga dia tidak harus pergi keluar walau hanya untuk sekedar membeli makanan. Ami masih mencoba untuk menghubungi sang dosen A, memohon bantuan, tapi bahkan pesannya dari tempo hari saja tidak dibaca lagi. Ami sangat frustasi, dia masih mencoba untuk mengakses website pendaftaran sidangnya itu, tapi tetap tulisannya tidak berubah. Dia masih belum memenuhi syarat untuk mendaftar sidang.
Oh Ami yang malang, seandainya saja waktu itu dia tidak mengikuti kegiatan organisasi, seandainya saja dia selalu mengecek semua nilainya, oh seandainya saja dia bisa membagi waktunya dengan baik, seandainya saja. Ami menyesal, dia menangis, dia ingin bersandar tapi bahkan sandarannya pun sudah tidak ada semenjak dia memutuskan pergi ke kota Jakarta. Ami berpikir, bahkan jika seandainya dia diam saja di Jakarta, tidak melakukan apapun dan tidak bercerita ke siapa pun, mungkin tidak akan ada yang peduli akan nasibnya ini. “Haha,” Ami tertawa,“Bahkan mencari ijazah untuk menjadi budak korporat4 saja masih susah anjing! Apa gue mati aja ya, capek njing, nggak ada yang bantu.” Ami menangis lagi.
4 Istilah yang biasa digunakan sebagai julukan bagi seseorang yang rela mengabdikan hidupnya di perusahaan tempat ia bekerja.
Pagi itu ketika dia terbangun dari tidurnya, Ami meraih pisau cutter yang tergeletak di atas meja belajarnya. Melihatnya dengan wajah datar ke arah pisau yang sering dia gunakan untuk memasak itu. Dia bergumam dan menimbang-nimbang dalam kesendirian, “Kalo tangan disayat pake ini bisa cepet mati nggak ya? Tapi kan sakit atau apa gue harus nabrakin diri ke jalan raya biar bisa cepet mati dan nggak capek lagi?” Oh Ami yang malang, kegilaannya bahkan sudah mulai menampakkan diri. Ami tertawa lalu menangis, dia melempar pisau itu ke arah pintu, menutup mukanya dengan kedua tangan dan mulai menangis lagi hingga dia pun tertidur. Malam harinya, dia terbangun karena lapar, Ami memasak mi instan lagi yang bahkan rasanya sudah berbeda dari yang terakhir kali dia makan. Oh bahkan dengan mi instan pun dia sudah mulai muak. Ami ingin melempar mi instan itu ke arah pintu namun, dia mendengar pintunya di ketuk oleh seseorang. Ami membuka pintu, melihat siapa yang datang. Oh rupanya ibu kosnya yang datang untuk menagih bayaran kosnya di bulan ini. Ami ingin membayar namun, rupanya dia tidak memiliki uang sepeserpun di dompetnya saat ini. Dia berusaha meminta tambahan waktu dengan alasan Ayahnya masih belum mengirimkan uang namun, sang ibu kos malah marah dan mengatainya. Ami hanya bisa diam mendengarkan sambil meminta maaf. Sang ibu kos pergi dengan memberikan Ami tenggat waktu satu minggu untuk membayar uang kosnya itu.
Ami kembali menutup pintu, membuka ponselnya dan mulai mengecek salah satu aplikasi yang ada di ponselnya itu untuk melakukan pinjaman online. Dia berencana untuk meminjam uang dari aplikasi tersebut untuk membayar uang kosnya itu, tapi bahkan dia pun terlalu takut akan resikonya nanti. Ami sudah cukup frustasi dengan berbagai masalah yang dia hadapi, bahkan saat ini dia sudah mulai berhalusinasi jika dia dapat melaksanakan sidang di akhir tahun ini. Dia berbicara sendiri, seolah-olah sedang menjawab pertanyaan dari dosen penguji. Oh Ami yang malang.
Di tengah kekalutannya itu, ponsel Ami berdering menunjukkan ada yang menelepon. Dia menerima panggilan di ponselnya itu tanpa melihat siapa yang menelepon, “Halo, assalamualaikum nak, gimana kabarnya?” Ami termenung mendengar suara di seberang sana, air matanya menetes, rupanya sang Ibu yang menelepon. Sang Ibu melanjutkan, “Kamu gimana kabarnya, kok tidak pernah lagi nelpon ibu?” Ami menggigit bibir, sekuat tenaga dia menjawab“Iya bu, lagi ada masalah di kampus, jadinya belum bisa nelpon.” Sang Ibu bertanya lagi, “Masalah apa, kamu kapan sidangnya? Uang kos sudah dibayar Ayah apa belum?” Ami hanya bisa menjawab dengan nada bergetar, “Belum bu, Ayah belum ada uang. Ibu bisa bantu Ami nggak bu buat bayar uang kos Ami bulan ini? Ami pusing banget bu mikirin semuanya. Ami capek aja.”
Ami pun menangis sesegukkan dan mulai menceritakan semua permasalahan yang dia hadapi saat ini kepada Ibunya, berharap setidaknya dia dapat berbagi keresahannya ini dengan sang Ibu. Dia bercerita tentang dirinya yang tidak bisa mendaftar sidang di tahun ini karena ada nilai dari salah satu dosen yang tidak lulus, uang kos yang belum dibayar dan kekalutannya akan masa depan. “Ami capek bu, nggak ada yang bisa bantu Ami disini. Ami mau nyerah, tapi tinggal dikit lagi harusnya Ami udah bisa lulus bu. Ami capek aja, mana Ayah pas Ami telfon jawabannya begitu, memangnya Ami disini cuma main-main aja apa?! Ami kan lagi usaha bu, nggak ada tuh Ami nongkrong-nongkrong nggak jelas lagi, tapi omongan bapak malah gitu, Ami capek aja.”
Sang Ibu hanya bisa mendengarkan semua keluhan anaknya, lalu berkata, “Nak yang sabar ya. Iya, kita ini bukan orang kaya, hidup kita susah. Jadi sarjana itu memang nggak gampang, uangnya juga nggak gampang, ibu tau itu. Ibu mengerti perasaan Ayah kamu, susahnya dia mencari uang buat kamu. Ibu harap kamu bisa semangat lagi. Kamu ingat kan dulu kamu gimana disana? Ibu akan berusaha nyari uang untuk biaya kos dan belanja kamu nanti tapi inget, jangan pernah benci Ayah kamu, karna yang ngebiayain semua kuliah kamu itu dia to. Kami akan selalu mendukung kamu, apa pun itu. Saat ini mungkin Ayah kamu sedang butuh waktu, mungkin dia juga sama seperti kamu, dia sedang lelah juga. Apapun yang terjadi, jangan pernah tinggalkan sholat, jangan pernah jauh dari yang Maha Kuasa. Inget pesan ibu. Untuk masalah Ayah kamu, Ibu akan mencoba untuk memberi dia pengertian bahwa kamu juga sedang kesulitan disana dan kamu sedng berusaha juga. Kamu tidak usah pikirin Ayah ya, cukup belajar saja disana dengan giat.” Ami hanya bisa mengangguk dan mengiyakan walaupun dia tau itu tidak akan dapat dilihat oleh sang Ibu. Dia berkata “Ibu Ami minta maaf sudah buat Ibu kecewa tapi Ami bersyukur Ibu nggak marah.” Dia mengungkapkan rasa syukur, rasa sayang dan rasa terharu karena sang Ibu masih mau mendengarkan keluhannya dan memberikan dukungan walaupun dia sudah membuatnya kecewa. Obrolan itu pun berakhir dengan kelegaan di hati kedua perempuan tersebut. Walaupun Ami masih belum berani untuk berbicara lagi dengan sang Ayah, tapi dia yakin jika sang Ibu dapat membuat sang Ayah mengerti suatu saat nanti.
Keesokan harinya, sang Ayah menelepon Ami mengatakan bahwa dia meminta maaf. Sang Ayah berkata, “Nak, Ayah minta maaf karena hanya memikirkan diri Ayah dan tidak memikirkan kamu yang juga susah disana. Ayah sadar akan kekurangan Ayah dan Ayah minta maaf. Tidak apa-apa jika kamu tidak bisa lulus tahun ini. Bagi Ayah yang penting kamu tetap sehat-sehat disana. Nggak papa gagal tahun ini, tapi harus tetap kembali berusaha. Jangan tinggalkan solat, Ayah akan selalu menerima dan mendukung kamu dengan apapun itu, selama kamu masih mau berusaha.” Ami sangat terharu mendengar perkataan sang Ayah, dia seperti menemukan keberanian untuk melangkah lagi karena dukungan dari Ayah dan Ibunya. Ami mengungkapkan rasa terimakasih dan rasa sayangnya pada sang Ayah. Dia berkata, “Ami bersyukur karena Ayah dan Ibu masih mau mendukung Ami walaupun Ami telah membuat kalian kecewa. Ami minta maaf dan Ami janji akan selalu berusaha untuk tidak mengecewakan kalian lagi. Itu janji Ami.” Obrolan itupun berakhir dengan permintaan maaf oleh keduanya.
Ami pun menjadi semangat kembali. Paginya, dia mulai berbenah diri, membersihkan kamar kosannya yang penuh sampah, membuka jendela agar udaranya menjadi bersih serta membeli stok makanan lagi yang lebih sehat. Sorenya dia menerima pesan bukti pembayaran uang kos dari sang Ibu berserta uang belanja bulanannya. Dia mengucapkan terimakasih disertai dengan emoticon love kepada sang Ibu dan langsung mengirimkan bukti pembayaran tersebut ke nomor sang ibu kos. Dia sudah mulai menemukan keceriaannya kembali, mulai sholat lagi dan mulai mengaji lagi. Malam harinya, Ami mulai membuka laptop yang sudah lama tidak dia buka sebelumnya untuk mempersiapkan segala persyaratan sidang dengan tetap menunggu balasan dari sang dosen A. Dia juga sudah mulai mencari berbagai macam lowongan kerja dari berbagai sosial media yang ada, karena dia merasa jika dia sudah bisa mulai fokus lagi untuk bekerja.
Baginya yang sekarang, manusia hanya bisa tetap berusaha dan berikhtiar akan banyak cobaan yang datang menghadang. Walaupun dia tidak dapat melaksanakan sidang di tahun ini, itu tidak apa-apa, itu artinya dia masih belum berada di waktu yang tepat. Masih ada semester depan dan masih ada kedua orang tuanya yang akan selalu mendukungnya apapun yang terjadi. Ami sudah tidak ingin lagi memikirkan hal lain kecuali pikiran untuk melangkah ke depan dengan menjadi pribadi yang lebih baik. Cukup masalah kemarin saja yang menjadi pukulan besar baginya, dia tidak ingin menambah masalah baru.
Baginya kita manusia hanya bisa berikhtiar dan terus berusaha. Kita boleh patah, semua orang bisa patah namun, jangan sampai ketika kita di bawah, kita lupa kepada siapa kita harus mengadu. Mengadulah ke Yang Maha Kuasa, karena Dia tidak akan pernah bosan dengan hamba yang sering mengingat-Nya. Dekatilah Dia, karena PDKT yang tidak akan pernah merugikan adalah PDKT dengan sang Pencipta. Oh iya, Ami itu adalah aku dan ini adalah ceritaku.