Aku Tahu Kapan Aku Bahagia – Cerpen Ilham Ramadhan

puisi mencintai diri

Aku Tahu Kapan Aku Bahagia
Karya: Ilham Ramadhan

Setiap kali ia pulang pasti basah, kepulangannya di penghujung hari menimbulkan kecemasan oleh sang Ibu. Lebih parahnya membuat tetangga berbisik-bisik menyebut Jelita, nama gadis berumur 20 tahun itu.

Tak ada satupun manusia di dunia ini menginginkan cerita buruk dari orang-orang sekitar. Menjadi seorang gadis yang tahan banting telah kerap dilakukan Jelita dua tahun belakangan ini, bukan pilihannya hidup dengan kondisi yang memaksanya untuk berjuang demi biaya kuliahnya. Jelita merupakan mahasiswi semester tiga di Universitas Katolik Atma Jaya, dengan mengambil Program Studi Ekonomi Pembangunan. Lewat program yang ia ambil, Jelita berharap mampu membangun ekonomi yang jauh lebih baik bagi dirinya dan pastinya untuk Indonesia.

Pertanyaan sering muncul kenapa ia harus pulang larut malam hingga basah di sekujur tubuhnya? Apa yang ia lakukan selama di bangku perkuliahan? Kenapa air mata juga turut membasahi tubuhnya? Siapa Jelita sebenarnya? Beberapa pertanyaan itu selalu terdengar oleh Dayani, Ibu tiri dari Jelita. Tetangga yang selalu julid akan sesuatu yang dianggap tabu di daerahnya.

Bukan tanpa alasan kenapa Jelita harus pulang tengah malam, semua dikarenakan ia harus menjaga stand jualan milik kakak tingkatnya. Ekonomi yang kian merosot membuatnya terpaksa menghabiskan waktu sepulang kuliah untuk menjaga stand tersebut. Biaya perkuliahan tak lagi sanggup dibebani kepada Ibunya, karena tak tega melihat Ibu Dayani yang harus bekerja di tengah adiknya yang masih membutuhkan ASI. Jelita merasa bahwa Ibunya kewalahan, dan masih terpukul usai ditinggal oleh Ayah kandungnya.

Satu tahun belakangan ini, yang paling membuat hidup Jelita hampir menyerah untuk melanjutkan kuliah. Stand jualan yang ia jaga tak seramai waktu tahun 2022. Belum lagi hujan disertai angin memporak-porandakan suasana bagi pedagang yang ingin jualan. Tidak ada pembeli yang bakal mampir membeli jualan Jelita di tengah derasnya hujan. Apa lagi jualan yang ia tawarkan berupa minuman dingin, pasti akan sulit laku.

Keuntungan yang Jelita dapatkan dari penjualan adalah sebesar 30% dari total pemasukan satu hari. Bayangkan betapa sedih hatinya ketika satu harian tidak ada yang membeli, lambat laun ia akan pulang dengan membawa secercah harapan dan air mata kesedihan. Jika ia pulang menerebos hujan, sudah lengkap kepahitan hidup yang ia rasakan.

Terkadang ia bertanya kenapa hidupnya di tahun 2023 begitu menyakitkan, ujian demi ujian datang silih berganti, belum sembuh luka, datang lagi luka yang baru. Sampai ia mikir bahwa Tuhan menganggapnya kuat menjalankan semua ini. Padahal tak sekuat yang ia tempuh, terkadang menjerit gemas melepas perih yang begitu menyayat hati.

Sempat satu hari, di penghujung tahun 2023, ia pulang dengan cibiran pedas dari tetangganya. Mengatakan hal tak wajar di luar nalar.

“Sebenarnya kamu tuh kuliah atau KULI AHHH…?” Ucap seorang tetangga yang mengakhiri maksudnya dengan nada mendesah.

“Kalau kamu membawa virus di kota ini, lebih baik pindah saja sana, cari tempat yang sepi untuk melakukan hubungan gelap tiap malam” Sambung satu orang tetangga lagi menodorkan kalimat menyakitkan.

Jelita memanglah terlihat menawan, meski kepulangannya membawa luka dan air mata. Sedikit pun paras cantiknya tak pudar dimakan ujian. Meski banyak pikiran, wajahnya selalu menebar pesona. Hal itulah kenapa tetangganya kerap beranggapan bahwa Jelita bukanlah perempuan baik-baik.

Sekali dua kali Jelita sabar dan tak merespon ujaran tetangganya yang memang bikin sakit hati. Namun, hari ini menjadi kali pertama ia melawan dan memberontak omongan mereka.

“Cukup ya, Bu. Saya tinggal di sini tidak pernah merepotkan kalian, beras pun sama sekali tak pernah saya minta. Tapi kenapa kalian berani bicara seperti itu, tanpa tahu sebenarnya?!”

“Penampilan kamu yang membuat kami semua curiga. Kami gak mau kota ini menjadi ke dua kalinya mendapatkan perempuan kotor seperti Ibu kamu” Ucap satu di antara tetangga itu yang mulai membawa masa lalu gelap Ibu Dayani.

“Jangan pernah bawa-bawa Ibu saya! Jika ditanya siapa perempuan kotor setelah Ibu saya, kalian semua lah perempuan kotor di kota ini. Pikiran kalian kotor, dan paling kotor adalah mulut kalian.” Tegas Jelita mengakhiri perdebatan tersebut. Ia berlari disertai amarah dan air mata menuju rumahnya.

Semua tetangga yang mendengar perkataan itu langsung terdiam dan mulai bersorak kepada Jelita.

Malam yang ditemani gemuruh dan angin memberi luka kepada Jelita usai menanggapi omongan tetangganya. Ibu Dayani yang melihat Jelita duduk di kursi rotan langsung menghampiri dan bertanya akan hal yang dialami Jelita.

“Kamu kenapa, Nak? Masih tetap sepi jualannya?

Jelita berusaha tenang dan menyambut belaian tangan dari Ibunya.

“Aku sedih, Bu. Kenapa cerita di tahun ini begitu menyakitkan. Aku benar-benar gak kuat kalau begini terus, Bu.” Tangis Jelita begitu pecah di pelukan Ibunya.

Ibu Dayani hanya bisa mendoakan dan memberi kekuatan kepada Jelita. Ia melihat bayangan dari kaca jendela dan suara sorakan terdengar memasuki rumahnya.

“Ibu yakin, Tuhan telah menyiapkan skenario yang terbaik untuk kamu. Meski sekarang belum kamu rasakan, tapi Ibu percaya cerita di tahun ini akan menjadi hal yang baik untuk masa depan kamu” Perlahan air mata Ibu Dayani menetes lembut di pipinya.

Jelita masih memeluk Ibunya, terlelap dan begitu letih, sampai semua masalah satu harian ini diberi jalan keluar lewat tidurnya.

Tepat pada tanggal 31 Desember 2023, menjadi hari yang diharapkan Jelita untuk berjualan. Karena pada tahun sebelumnya begitu ramai pembeli yang membeli jualannya. Jelita semangat dan berharap bahwa hari ini adalah hari yang penuh rezeki baginya.

Waktu libur kuliah dimanfaatkan Jelita untuk terus mencari uang demi biaya kuliahnya di semester empat tahun depan. Sekarang ia harus menjaga stand dari pagi hingga larut malam. Satu harapannya bahwa malam ini tidak akan hujan seperti yang terjadi empat bulan belakangan ini.

“Bu, aku pergi jualan dulu ya” Pamit Jelita mencium tangan Ibunya.

“Hati-hati ya, Nak. Ibu doakan hari ini tidak hujan” Ucap Ibu mendoakan.

Jelita telah siap dan semangat menuju stand jualannya menggunakan angkutan umum. Ia harus berjalan menunggu di tempat biasa ia tunggu, sekitar 10 menit untuk Jelita tiba di tempat tersebut, dan sekitar 15 menit perjalanannya menuju lokasi tempat ia berjualan. Jika dihitung, bisa memakan waktu sekitar 30 menit bagi Jelita menempuh perjalanan.

Tak jarang Jelita kerap digoda oleh supir angkutan umum yang nakal mengganggunya. Ia tak acuh dan terus berdoa miminta perlindungan. Sangat sulit cerita hidup Jelita yang harus kuat menanggung beban di kerasnya kota Batavia.

Setiba sampai di tempat kerjanya, Jelita langsung disambut hangat oleh kakak tingkatnya yang punya stand tersebut. Bersyukur masih ada orang baik di sekitar Jelita saat itu, meski terpaut satu tahun dengan kakak tingkatnya, tapi mereka terlihat akrab dan saling memahami. Jika ditanya, kakak tingkat Jelita bernama Surya, satu jurusan dengannya. Sampai saat ini mereka tetap memposisikan diri sebagai kakak dan adik, tidak lebih dari itu seperti apa yang diharapkan teman-teman Surya.

“Kamu kan jaga standnya dari pagi sampai malam. Nah, kalau kamu nanti kewalahan, telepon aja aku ya” Ucap Surya menyejukkan hati Jelita.

“Siap, Bang. Makasih ya bang udah baik sama aku” Jelita tersenyum bersyukur.

Cuaca saat itu terpantau panas, Jelita semakin bersyukur karena orang-orang pada berdatangan membeli minuman dingin. Jelita begitu ulet dan cekatan saat membuat pesanan. Senyumnya pun syahdu begitu ramah melayani pembeli. Hal itulah membuat Surya mempertahankan Jelita bekerja di sana. Tak jarang ia punya mimpi untuk membangun usaha sendiri, mungkin saat ini hanya mimpi, tidak tahu kapan akan menjadi nyata.

Semakin berjalan waktu menuju malam, cuaca kian tak bersahabat. Angin sepoi-sepoi berganti dengan angin ribut yang kapan saja bisa menerbangkan seng-seng rumah warga. Suasana di sekitar tempat Jelita jualan semakin ricuh dan kalang kabut. Jelita panik akan ada hujan deras melanda kota Batavia. Lebih-lebihnya banjir jika hujan terus berjatuhan. Padahal pendapatan hari ini belum mencapai target, tapi hujan telah tiba disusul angin dan gemuruh.

“Tuhan, aku tak bisa berkata apa pun lagi. Hujan adalah rahmat dari-Mu, aku tak bisa berkehendak, hanya doa yang bisa aku sampaikan” Keluh Jelita meratapi hujan.

Memang tak semudah yang dibayangkan. Cerita di tahun 2023 di luar ekspetasi Jelita. Harapan demi harapan telah sirna dimakan takdir. Jelita hanya mengais dan menangis di derasnya hujan. Berteduh di stand jualan dengan memohon banjir tidak melahap dirinya.

“Aku tahu kapan aku bahagia” Ucapan Jelita mengakhiri tahun penuh cerita.

Kejadian yang dialami Jelita di tahun 2023 membentuk dirinya lebih kuat menghadapi tahun selanjutnya. Tapi lewat cerita ini, Jelita tahu kapan dia bahagia. Pelangi akan tiba setelah hujan, bahagia Jelita akan bersemi setelah dipenuhi kesedihan.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *