AKU TAK SE-SPESIAL ITU

Aku duduk di bangku panjang taman kota. Aku memilih tempat ini untuk menenangkan hati… rasa lelah yang mendera tanpa kompromi, datang begitu saja, tanpa aba-aba. Rasa sedih yang telah kurasakan selama empat tahun terakhir.

Saat aku asyik merenungkan nasib, tiba-tiba sebuah tangan menepuk bahuku, membuatku sedikit terkejut.

“Selamat pagi, ini Nuraini, ya?” sapa seorang ibu setengah baya yang tiba-tiba berdiri di sampingku.

Aku menatap wajahnya, sambil berusaha mengingat. Wajah itu seperti pernah kulihat. Tak lama kemudian, ingatan itu muncul… ia adalah Bu Rani, wali kelasku semasa SMK.

Dengan senyum kaku, aku menjawab, “Pagi, Ibu.”

Senyumnya masih sama hangat seperti dulu. Ia kemudian bertanya, “kamu sekarang kerja dimana?”

Seperti biasa, guru yang bertemu alumni selalu menanyakan hal yang sama.

“Sudah kerja, Bu,” jawabku pelan.

“Syukur, alhamdulillah! Lulusan tahun berapa, ya?” tanyanya dengan semangat.

“2017,” jawabku singkat.

“Wah, senangnya sudah bekerja. Bagaimana rasanya?” tanyanya lagi.

“Se… senang,” jawabku, ragu. Entah kenapa, kata senang itu rasanya hanya berhenti di ujung lidah… tak benar-benar turun ke hati.

Bu Rani tersenyum, matanya berbinar. “Ibu ingat, kamu anak yang aktif dan cekatan saat praktik dan mengerjakan tugas. Bahasa kamu juga bagus waktu presentasi. Pasti atasanmu merasa beruntung kamu bisa bergabung di perusahaannya.”

Aku ingin mengatakan sesuatu kepada Bu Rani, tapi lidahku terasa kelu. Kata-kata menggumpal di tenggorokan, enggan keluar. Aku hanya bisa membalas senyumnya dengan senyum kaku.

Bu Rani lalu bangkit dari tempat duduknya. Ia menggerakkan tangan dan kaki, bersiap untuk melanjutkan jogging paginya.

Saat ia mulai melangkah pergi, tanpa sadar aku memanggil,
“Ibu… boleh saya bertanya?”

Langkahnya terhenti. Ia menoleh, lalu menatapku dengan mata yang hangat.
“Tentu, silakan,” jawabnya lembut.

Aku menarik napas perlahan. Lalu, dengan suara yang nyaris bergetar, aku berkata,
“Pernahkah Ibu merasa menjadi seseorang yang hanya dibutuhkan… tapi tak pernah benar-benar dihargai?”

Bu Rani menatapku cukup lama. Ekspresinya berubah tak lagi sekedar ramah, tapi seperti sedang menimbang sesuatu yang ada dalam dari masa lalunya sendiri.

Ia lalu duduk kembali di bangku taman, tepat di sampingku. Kali ini, tidak ada jarak guru dan murid di antara kami. Hanya dua manusia yang sama-sama memikul lelah hidup.

“Pernah,” jawabnya pelan. “Lebih dari sekali, malah.”

Aku terdiam. Hanya memandang ke depan, ke arah daun-daun yang tertiup angin, seperti menunggu kalimat selanjutnya yang tak kunjung tiba.

“Dulu, saat jadi guru muda, aku pernah rela pulang larut, membantu kegiatan sekolah di luar jam kerja.  Banyak yang memuji saat butuh bantuanku. Tapi setelah selesai, aku seperti menghilang dari pikiran mereka,” katanya lirih.

Aku menoleh padanya. Ada ketenangan dalam wajahnya, tapi juga sisa-sisa luka yang belum hilang sepenuhnya.

“Tapi tahu tidak, Nak…” Ia melanjutkan. “Kadang kita memang tidak bisa mengukur nilai diri dari seberapa orang lain menghargai kita. Karena sebagian besar dari mereka hanya melihat apa yang bisa kita beri, bukan siapa kita sebenarmya.”

Aku menunduk. Kalimat itu terasa terasa seperti menampar pelan, tapi juga memeluk dengan hangat. Tiba-tiba, mataku terasa panas.

“Selama empat tahun ini, Bu…” suaraku pecah,” aku berusaha menjadi kuat. Menjadi baik. Menjadi berguna. Tapi semakin aku memberi, semakin aku tak terlihat.”

Bu Rani diam. Ia menoleh ke arahku, menunggu.dengan tatapan tenang.

“Awalnya, aku begitu antusias … datang pagi, pulang paling malam, tak pernah menolak tugas, bahkan rela menggantikan rekan izin mendadak. Aku kira, itu akan cukup untuk membuatku dihargai.”

“Tapi rupanya… bukan begitu cara dunia kerja,” ucapku lirih.

Bu Rani mengangguk pelan, matanya menatap daun-daun yang berguguran di taman. Hening sejenak.

“Iya… Aku masih ingat,” lanjutku, suaraku mulai goyah. “Suatu ketika ada pelatihan bersertifikat dari kantor pusat… peluang emas untuk belajar langsung dari para profesional industri.”

“Aku memenuhi syarat, loyalitas, keahlian teknis, pengalaman lapangan. Bahkan atasanku pernah bilang aku salah satu karyawan yang paling rajin.”

Aku kembali menarik napas. Kali ini lebih dalam, seolah berusaha menahan sesuatu yang ingin pecah dari dada.

“Tapi ketika nama-nama peserta diumumkan, namaku tak ada lagi,” ucapku, mencoba tersenyum walau rasanya pahit.

“Manajerku bilang, pelatihan itu lebih cocok untuk mereka yang masih perlu banyak belajar,” tambahku, suara mulai getir.

Bu Rani menghela napas pelan. “Ya… mungkin mereka takut disaingi. Atau mungkin juga iri, melihat kamu yang cepat belajar dan mudah beradaptasi.”

Aku menoleh padanya, lirih. “Tapi kenapa harus takut disaingi? Kenapa mereka harus iri padaku? Aku bahkan merasa… aku tak se-spesial itu.”

Mataku mulai berkaca-kaca. “Justru aku yang iri pada mereka. Datang sering terlambat, sering buat kesalahan fatal… tapi tetap dapat kepercayaan. Sedangkan aku? Aku cuma jadi alat.”

Bu Rani diam sejenak, lalu menatapku dalam. “Nuraini… Ibu bersimpati atas apa yang kamu rasakan. Ibu paham betul. Dunia kerja memang keras. Kadang, yang bekerja sungguh-sungguh justru yang paling sering dilupakan. Dan itu menyakitkan.”

Ia menggenggam tanganku perlahan. “Tapi satu hal yang harus kita ingat, Nak. Ada Sang Pencipta yang menulis takdir kita. Sebagai manusia, kita diwajibkan untuk memerangi perasaan diri yang penuh kecewa, penuh prasangka. Arahkan pikiranmu ke hal-hal yang positif. Karena Allah… tidak pernah salah dalam menetapkan sesuatu.”

Aku menunduk. Suaranya seperti embun yang menyentuh luka.

“Rasa kecewa itu wajar. Hal yang tak kamu sukai saat ini mungkin justru jalan menuju sesuatu yang lebih baik. Mungkin belum sekarang kamu mengerti, tapi nanti… kamu akan melihatnya. Yang kamu pikir ideal, belum tentu terbaik untukmu. Karena Allah tahu masa depan. Sedangkan kita… hanya berpikir yang sekarang.”

Aku tak menjawab. Tapi hatiku mulai terasa hangat—seperti menemukan sedikit tempat berteduh setelah terlalu lama kehujanan sendiri.

Bu Rani masih menatapku, lalu menambahkan dengan suara pelan tapi penuh makna.

“Ketika kamu bekerja keras tapi tidak dihargai, itu berarti kamu sedang belajar arti ketulusan.”

“Ketika segala upayamu tak dilihat, tak dianggap… kamu sedang belajar arti keikhlasan.”

“Dan saat hatimu dipenuhi kekecewaan, disakiti tanpa alasan, justru di situlah kamu sedang belajar bagaimana memaafkan, bahkan tanpa permintaan maaf.”

Aku menahan napas, menunduk, tak ingin air mata jatuh. Tapi kalimat Bu Rani seolah membongkar semua luka yang selama ini aku bungkam.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa… mungkin aku tidak sendirian. Bahwa rasa sakit ini bukan akhir dari segalanya. Tapi bagian dari proses menjadi seseorang yang lebih kuat, lebih lapang, lebih hidup.

 

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *