Atlas Hati di Lereng Gunung Guntur

Kabut pagi masih menggantung di antara lekuk bukit Kancana ketika Arifin menuruni jalan setapak menuju SMAN 1 Merdeka. Di tangannya, Arifin memegang tas kulit yang sudah usang berisi peta yang sudah lusuh, peta yang berisi informasi tentang batuan. Sambil memegang tas usang itu, Arifin menikmati secangkir kopi jahe yang dijual di warung Bu Imas yang masih mengepul menggoreng aneka gorengan. Lima bulan lamanya semenjak ia sudah lulus dari sarjana geografi Universitas Pendidikan Indonesia, Arifin memutuskan untuk kembali ke Garut, kampung halamannya. Arifin harus menolak tawaran bekerja di Kota Bandung demi memilih mengajar di sekolah yang dulu ia belajar hingga bisa sampai menjadi sarjana di salah satu universitas favorit di Jawa Barat.

Pagi itu, Arifin tidak membawa perangkat tempurnya untuk mengajar, di dalam tasnya hanya terselip sepucuk surat dari siswa yang ia temukan di bawah meja kemarin sore. Surat tersebut bertuliskan pertanyaan yang memilukan, “Pak, apa gunanya saya belajar struktur batuan, kalau ayahku meninggal karena longsor di lahan ilegal?” Surat tak bertuan itu, ditulis di selembar kertas yang berbau kapur dan garam, terasa seperti air mata yang mengering.

Pagi itu, Arifin mengajar di kelas XI – 3, yang katanya itu adalah kelas “Lembah Sesar”, julukan yang diberikan oleh guru-guru karena kelas XI – 3 merupakan kelas yang selalu bergejolak, terlalu aktif, sehingga suasana tidak pernah hening. Namun, di kelas ini lah Arifin bertemu dengan Siti, dia adalah siswa yang selalu duduk di pojok belakang dengan seragamnya yang lusuh dan menguning itu. Tatapan Siti seperti lahar dingin yang seakan dunia telah membekukan amarahnya.

Arifin menjelaskan materi jenis-jenis gunung menggunakan proyektor yang menyala terang yang menampilkan gambar-gambar gunung yang ada di dunia.

“Kenapa Gunung Guntur tidak pernah meletus lagi, padahal Gunung Guntur masih aktif ?” Tanya Arifin pagi itu sambil menunjuk foto stratovolcano yang sedang ditampilkan di slide.

“Karena dia lelah, Pak” Sahut Siti yang tiba-tiba, tanpa menoleh sedikitpun “Seperti seorang ibu yang sedang memendam amarah agar anaknya tidak merasa trauma.” Sahutnya lagi.

Seketika kelas menjadi senyap, angin masuk dari jendela yang  berasal dari taman yang rindang, membawa suara gemerisik dedaunan. Arifin hanya mengangguk pelan. Esok harinya, Arifin membawa siswa siswanya ke lereng Gunung Guntur, di antara batu apung dan lapili, ia menceritakan magma yang terpendam, adanya tekanan yang tidak terlihat, dan bagaimana gunung mampu mengajarkan arti kesabaran.

“Retakan yang ada di bumi ini bukanlah sebuah kelemahan” Katanya, sambil menunjuk rekahan yang ada di tanah, “tapi, ini adalah cara bumi untuk bisa bernapas, begitu juga kita.”

Siti yang memunggungi pada saat itu, seperti tidak memperhatikan dan tidak peduli, namun Arifin melihat, ia menyelipkan batu andesit ke saku bajunya.

Pada keesokan harinya, Arifin kembali mengajar di kelas “Lereng Sesar” itu, dengan materi yang berbeda. Kali ini Arifin menjelaskan materi hidrosfer, pelajaran hidrosfer yang mengalir seperti air itu, menghadirkan sebuah pertanyaan pilu, ketika Andri, siswa pecinta bola bertanya pada Arifin, “Jika sungai Cimanuk bisa dikeruk pasirnya sampai habis, lalu kenapa kemiskinan di sini tidak bisa?”.

Namun, saat itu Arifin memilih tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya ia mengajak siswanya untuk pergi ke sungai Cikamiri keesokan harinya. Disana, mereka belajar mengukur sedimentasi dengan menggunakan ember plastik dan tali rafia. Ketika sedang mengukur sedimentasi, kaki Andri terperosok lumpur, hal tersebut membuat Siti dengan spontan dan geram menarik tangannya “Jangan kayak tambang liar yang yang serakah!” hardiknya. 

Malam harinya, Arifin pergi ke warung bakso di dekat sekolah, di dekat warung bakso Arifin melihat Andri menangis sendiri di pinggir trotoar di tengah kegelapan dan hiruk pikuk kota. Arifin menghampirinya “Andri, ada apa?” Andri hanya menangis tersedu sedu, Arifin hanya diam dan memandangi Andri yang sedang menangis. “Ayahku seorang penambang pasir, Pak. Tiga bulan lalu, ia tertimbun pasir saat sedang bekerja, walaupun bapak sudah tertimbun, tapi kami tetap miskin, pak” Kata Andri dengan tersedu-sedu.

Arifin terdiam, dan menghela napas “Kamu tahu kenapa sungai Cimanuk tidak pernah kering?” Tanya Arifin sambil memasukan tangannya kedalam saku celananya, “Karena dia memberi, bukan menyerah.” Andri hanya terdiam dan menatap wajah gurunya di tengah gelapnya malam.

Di gudang tua yang berdebu, Arifin menemukan peta Garut tahun 1930 yang tersimpan. Disitu, ada lembah yang kini menjadi pertambangan dan hutan yang sudah menjadi gundul. Ia menjadikannya proyek kelompok “Buatlah peta harianmu. Dimana tempat paling sakit dan paling indah menurutmu?”

Siti mengumpulkan kertas kosong “tak ada yang layak untuk dipetakan” tulisnya. Tapi Arifin melihat garis-garis tipis di sana seperti sungai bawah tanah yang takut untuk mengalir. Sementara, Andri membuat peta lapangan bola tempat ayahnya dulu bermain. “Di sini” tulisnya, “ayahku masih tersenyum”. 

Kepala sekolah memanggil Arifin “Kurikulum kita bukan aktivis lingkungan, Pak Arifin. Jangan ajarkan anak-anak melawan perusahaan!” Sambil menyodorkan surat protes dari PT. Bumi Mandiri, pemilik tambang pasir, yang terbuka di meja. Malam itu, Arifin duduk di tebing batu. Di bawah lampu truk tambang bergerak seperti kunang-kunang raksasa yang berterbangan. Ia ingat ketika almarhum ibunya yang seorang penjual jamu, tewas karena kanker paru yang diduga akibat debu tambang. “Kau pikir, geografi hanya soal mengalah pada alam?” bisiknya pada angin.

Siti tidak masuk seminggu, saat Arifin menyambangi gubuk yang sudah reyot itu, ia menemukan gadis itu yang sedang menjaga adik-adiknya yang kelaparan. Ibunya yang seorang penjual pisang goreng, menceritakan suaminya yang menjadi korban longsor ilegal dan masih berhutang pada rentenir. “Kau suka menulis?” tanya Arifin pada Siti, melihat coretan dinding, bertuliskan “Gunung bisa tidur, tapi kemiskinan tetap terjaga”. Keesokan harinya, Arifin membawakan Siti buku puisi karya Taufiq Ismail dan kertas sketsa yang bertuliskan “Batu-batuan itu memang bisu, tapi puisi bisa menjadi palu.

Gempa bumi 5,2 SR mengguncang Garut kala itu, SMA Negeri 1 Merdeka jadi tempat pengungsian, di tengah kepanikan, Arifin dan murid-muridnya mengorganisir bantuan. Siti, yang biasanya pendiam, terdengar teriakan instruksi dengan suara yang lantang. Terlihat Andri memikul karung beras bak pahlawan. “Lihat,” bisik Arifin saat mereka sedang beristirahat di bawah tenda, “kalian lebih hebat dari GPS, kalian tahu persis di mana harus mengalir, seperti air.”

Di pelajaran terakhir semester, Arifin membagikan kertas kosong. “Ini ujianmu, coba kamu tuliskan pertanyaan yang tidak bisa dijawab Google.”

Siti menulis : “Bagaimana mengubah amarh menjadi bunga?”

Andri menulis : “Apa warna suara ibu yang sedang menangis?”

Arifin tidak memberikan nilai pada ujian ini. Sebaliknya ia menjawab dengan membawa mereka ke Kawah Darajat. Di antara belerang dan uap panas, ia berkata “Kalian seperti geothermal, energi yang tersembunyi yang bisa menerangi, asalkan mau berproses dalam gelap.”

Dua tahun kemudian, perpustakaan SMA yang masih sepi dan berdebu, Arifin menemukan surat dari Siti yang kini menjadi mahasiswa geologi di ITB, surat itu berisikan “Pak, saya sedang meneliti lahan bekas tambang. Di sini, saya menanam pohon trembesi. Mereka tumbuh perlahan, tapi akarnya menghancurkan racun. Seperti kata Bapak, yang penting bukan seberapa keras kita melawan, tapi seberapa dalam kita meresap.”

Sementara Andri yang kini menjadi pelatih bola di dekat rumahnya, mengirim foto lapangan yang baru dibangun di atas bekas galian pasir. “Di sini, ayahku tersenyum lagi” tulisnya.

Di ruang guru, Arifin menyimpan surat-surat itu di antara batuan beku dan peta butut miliknya. Hari ini, seperti biasa, ia akan mengajar dengan secangkir kopi jahe hangat dan keyakinan penuh bahwa setiap siswa adalah benih yang mungkin tak akan bisa dilihat jadi hutan, tetapi cukup dipercaya bahwa di bawah tanah, akar-akar itu akan terus merambat.Kabut pagi masih menggantung di antara lekuk bukit Kancana ketika Arifin menuruni jalan setapak menuju SMAN 1 Merdeka. Di tangannya, Arifin memegang tas kulit yang sudah usang berisi peta yang sudah lusuh, peta yang berisi informasi tentang batuan. Sambil memegang tas usang itu, Arifin menikmati secangkir kopi jahe yang dijual di warung Bu Imas yang masih mengepul menggoreng aneka gorengan. Lima bulan lamanya semenjak ia sudah lulus dari sarjana geografi Universitas Pendidikan Indonesia, Arifin memutuskan untuk kembali ke Garut, kampung halamannya. Arifin harus menolak tawaran bekerja di Kota Bandung demi memilih mengajar di sekolah yang dulu ia belajar hingga bisa sampai menjadi sarjana di salah satu universitas favorit di Jawa Barat.

Pagi itu, Arifin tidak membawa perangkat tempurnya untuk mengajar, di dalam tasnya hanya terselip sepucuk surat dari siswa yang ia temukan di bawah meja kemarin sore. Surat tersebut bertuliskan pertanyaan yang memilukan, “Pak, apa gunanya saya belajar struktur batuan, kalau ayahku meninggal karena longsor di lahan ilegal?” Surat tak bertuan itu, ditulis di selembar kertas yang berbau kapur dan garam, terasa seperti air mata yang mengering.

Pagi itu, Arifin mengajar di kelas XI – 3, yang katanya itu adalah kelas “Lembah Sesar”, julukan yang diberikan oleh guru-guru karena kelas XI – 3 merupakan kelas yang selalu bergejolak, terlalu aktif, sehingga suasana tidak pernah hening. Namun, di kelas ini lah Arifin bertemu dengan Siti, dia adalah siswa yang selalu duduk di pojok belakang dengan seragamnya yang lusuh dan menguning itu. Tatapan Siti seperti lahar dingin yang seakan dunia telah membekukan amarahnya.

Arifin menjelaskan materi jenis-jenis gunung menggunakan proyektor yang menyala terang yang menampilkan gambar-gambar gunung yang ada di dunia.

“Kenapa Gunung Guntur tidak pernah meletus lagi, padahal Gunung Guntur masih aktif ?” Tanya Arifin pagi itu sambil menunjuk foto stratovolcano yang sedang ditampilkan di slide.

“Karena dia lelah, Pak” Sahut Siti yang tiba-tiba, tanpa menoleh sedikitpun “Seperti seorang ibu yang sedang memendam amarah agar anaknya tidak merasa trauma.” Sahutnya lagi.

Seketika kelas menjadi senyap, angin masuk dari jendela yang  berasal dari taman yang rindang, membawa suara gemerisik dedaunan. Arifin hanya mengangguk pelan. Esok harinya, Arifin membawa siswa siswanya ke lereng Gunung Guntur, di antara batu apung dan lapili, ia menceritakan magma yang terpendam, adanya tekanan yang tidak terlihat, dan bagaimana gunung mampu mengajarkan arti kesabaran.

“Retakan yang ada di bumi ini bukanlah sebuah kelemahan” Katanya, sambil menunjuk rekahan yang ada di tanah, “tapi, ini adalah cara bumi untuk bisa bernapas, begitu juga kita.”

Siti yang memunggungi pada saat itu, seperti tidak memperhatikan dan tidak peduli, namun Arifin melihat, ia menyelipkan batu andesit ke saku bajunya.

Pada keesokan harinya, Arifin kembali mengajar di kelas “Lereng Sesar” itu, dengan materi yang berbeda. Kali ini Arifin menjelaskan materi hidrosfer, pelajaran hidrosfer yang mengalir seperti air itu, menghadirkan sebuah pertanyaan pilu, ketika Andri, siswa pecinta bola bertanya pada Arifin, “Jika sungai Cimanuk bisa dikeruk pasirnya sampai habis, lalu kenapa kemiskinan di sini tidak bisa?”.

Namun, saat itu Arifin memilih tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya ia mengajak siswanya untuk pergi ke sungai Cikamiri keesokan harinya. Disana, mereka belajar mengukur sedimentasi dengan menggunakan ember plastik dan tali rafia. Ketika sedang mengukur sedimentasi, kaki Andri terperosok lumpur, hal tersebut membuat Siti dengan spontan dan geram menarik tangannya “Jangan kayak tambang liar yang yang serakah!” hardiknya. 

Malam harinya, Arifin pergi ke warung bakso di dekat sekolah, di dekat warung bakso Arifin melihat Andri menangis sendiri di pinggir trotoar di tengah kegelapan dan hiruk pikuk kota. Arifin menghampirinya “Andri, ada apa?” Andri hanya menangis tersedu sedu, Arifin hanya diam dan memandangi Andri yang sedang menangis. “Ayahku seorang penambang pasir, Pak. Tiga bulan lalu, ia tertimbun pasir saat sedang bekerja, walaupun bapak sudah tertimbun, tapi kami tetap miskin, pak” Kata Andri dengan tersedu-sedu.

Arifin terdiam, dan menghela napas “Kamu tahu kenapa sungai Cimanuk tidak pernah kering?” Tanya Arifin sambil memasukan tangannya kedalam saku celananya, “Karena dia memberi, bukan menyerah.” Andri hanya terdiam dan menatap wajah gurunya di tengah gelapnya malam.

Di gudang tua yang berdebu, Arifin menemukan peta Garut tahun 1930 yang tersimpan. Disitu, ada lembah yang kini menjadi pertambangan dan hutan yang sudah menjadi gundul. Ia menjadikannya proyek kelompok “Buatlah peta harianmu. Dimana tempat paling sakit dan paling indah menurutmu?”

Siti mengumpulkan kertas kosong “tak ada yang layak untuk dipetakan” tulisnya. Tapi Arifin melihat garis-garis tipis di sana seperti sungai bawah tanah yang takut untuk mengalir. Sementara, Andri membuat peta lapangan bola tempat ayahnya dulu bermain. “Di sini” tulisnya, “ayahku masih tersenyum”. 

Kepala sekolah memanggil Arifin “Kurikulum kita bukan aktivis lingkungan, Pak Arifin. Jangan ajarkan anak-anak melawan perusahaan!” Sambil menyodorkan surat protes dari PT. Bumi Mandiri, pemilik tambang pasir, yang terbuka di meja. Malam itu, Arifin duduk di tebing batu. Di bawah lampu truk tambang bergerak seperti kunang-kunang raksasa yang berterbangan. Ia ingat ketika almarhum ibunya yang seorang penjual jamu, tewas karena kanker paru yang diduga akibat debu tambang. “Kau pikir, geografi hanya soal mengalah pada alam?” bisiknya pada angin.

Siti tidak masuk seminggu, saat Arifin menyambangi gubuk yang sudah reyot itu, ia menemukan gadis itu yang sedang menjaga adik-adiknya yang kelaparan. Ibunya yang seorang penjual pisang goreng, menceritakan suaminya yang menjadi korban longsor ilegal dan masih berhutang pada rentenir. “Kau suka menulis?” tanya Arifin pada Siti, melihat coretan dinding, bertuliskan “Gunung bisa tidur, tapi kemiskinan tetap terjaga”. Keesokan harinya, Arifin membawakan Siti buku puisi karya Taufiq Ismail dan kertas sketsa yang bertuliskan “Batu-batuan itu memang bisu, tapi puisi bisa menjadi palu.

Gempa bumi 5,2 SR mengguncang Garut kala itu, SMA Negeri 1 Merdeka jadi tempat pengungsian, di tengah kepanikan, Arifin dan murid-muridnya mengorganisir bantuan. Siti, yang biasanya pendiam, terdengar teriakan instruksi dengan suara yang lantang. Terlihat Andri memikul karung beras bak pahlawan. “Lihat,” bisik Arifin saat mereka sedang beristirahat di bawah tenda, “kalian lebih hebat dari GPS, kalian tahu persis di mana harus mengalir, seperti air.”

Di pelajaran terakhir semester, Arifin membagikan kertas kosong. “Ini ujianmu, coba kamu tuliskan pertanyaan yang tidak bisa dijawab Google.”

Siti menulis : “Bagaimana mengubah amarh menjadi bunga?”

Andri menulis : “Apa warna suara ibu yang sedang menangis?”

Arifin tidak memberikan nilai pada ujian ini. Sebaliknya ia menjawab dengan membawa mereka ke Kawah Darajat. Di antara belerang dan uap panas, ia berkata “Kalian seperti geothermal, energi yang tersembunyi yang bisa menerangi, asalkan mau berproses dalam gelap.”

Dua tahun kemudian, perpustakaan SMA yang masih sepi dan berdebu, Arifin menemukan surat dari Siti yang kini menjadi mahasiswa geologi di ITB, surat itu berisikan “Pak, saya sedang meneliti lahan bekas tambang. Di sini, saya menanam pohon trembesi. Mereka tumbuh perlahan, tapi akarnya menghancurkan racun. Seperti kata Bapak, yang penting bukan seberapa keras kita melawan, tapi seberapa dalam kita meresap.”

Sementara Andri yang kini menjadi pelatih bola di dekat rumahnya, mengirim foto lapangan yang baru dibangun di atas bekas galian pasir. “Di sini, ayahku tersenyum lagi” tulisnya.

Di ruang guru, Arifin menyimpan surat-surat itu di antara batuan beku dan peta butut miliknya. Hari ini, seperti biasa, ia akan mengajar dengan secangkir kopi jahe hangat dan keyakinan penuh bahwa setiap siswa adalah benih yang mungkin tak akan bisa dilihat jadi hutan, tetapi cukup dipercaya bahwa di bawah tanah, akar-akar itu akan terus merambat.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *