Taufik Hidayat, yang dikenal dengan sejumlah prestasinya, selalu memicu kontroversi di sebalik pencapaiannya. Kontroversi terbaru muncul saat ia berbicara di saluran YouTube Deddy Corbuzier pada pertengahan Mei 2020.
Taufik dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak ingin anaknya mengikuti jejaknya sebagai seorang atlet bulu tangkis. Juara dunia dan olimpiade yang telah menjadi ikon itu mengungkapkan alasan di balik keputusannya untuk tidak menginginkan anaknya terlibat dalam dunia atletik. Baginya, profesi sebagai atlet dianggap sebagai sesuatu yang berisiko.
Dalam pandangannya, banyak orang melihat atlet hanya pada momen puncaknya saat meraih prestasi tinggi, tanpa mempertimbangkan proses panjang yang harus dijalani. Taufik percaya bahwa hanya sebagian kecil dari atlet yang benar-benar sukses dan mencapai kekayaan di tengah kompetisi yang keras, dan bahkan mengatakan bahwa lima dari seratus atlet adalah angka yang positif.
Belum lagi dalam bidang olahraga, terdapat batasan usia untuk mencapai puncak prestasi, biasanya sekitar awal dua puluhan. Seorang atlet akan menghadapi tekanan yang besar jika mereka memiliki nama terkenal dari orang tua yang telah sukses sebagai atlet. Inilah mengapa Taufik memutuskan untuk tidak ingin anaknya mengikuti jejaknya, khususnya dalam olahraga bulu tangkis.
Keputusan Taufik ini tentu bisa dimaklumi. Profesi sebagai atlet, baik dalam bulu tangkis atau olahraga lainnya, umumnya tidak berlangsung lama. Saat usia semakin lanjut, seorang atlet akan pada akhirnya mengambil keputusan untuk pensiun dari kompetisi.
Tidak sedikit atlet Indonesia yang telah mencapai prestasi gemilang dalam olahraga internasional dan telah mengharumkan nama negara, mengalami kesulitan dalam menjalani masa pensiun mereka. Beberapa dari mereka mengalami kesulitan finansial, bahkan ada yang mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan.
Masa pensiun menjadi momok yang mengkhawatirkan bagi banyak atlet. Banyak dari mereka yang berjuang untuk mencari pekerjaan setelah pensiun dari karier atletik mereka. Ini terjadi meskipun mereka telah meraih banyak medali dan trofi selama karier mereka. Sebagian besar atlet harus melalui pelatihan intensif sejak usia muda yang menghabiskan waktu, energi, pikiran, dan biaya.
Saat mencapai puncak prestasi mereka, beberapa atlet mungkin mengalami masa kejayaan, tetapi setelah pensiun, banyak dari mereka berjuang untuk memulai kehidupan baru. Beberapa di antaranya bahkan berakhir dalam situasi keuangan yang sulit.
Misalnya, ada kasus seperti Yuni Astuti, mantan atlet bulu tangkis yang harus pensiun setelah mengalami cedera kaki. Setelah pensiun, dia harus mencari pekerjaan yang beragam, termasuk menjadi pengamen demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu juga dengan Tati Sumirah, pahlawan Piala Uber 1975, yang bekerja sebagai pelatih bulu tangkis dan kemudian di apotek setelah pensiun.
Tidak hanya Yuni Astuti dan Tati Sumirah, masih banyak lagi mantan atlet bulu tangkis Indonesia lainnya yang mungkin menghadapi kesulitan finansial setelah pensiun dan tidak mendapatkan banyak perhatian. Beberapa dari mereka bahkan berharap ada dukungan dari pemerintah untuk membantu memenuhi kebutuhan di masa tua mereka.
Di bidang olahraga Sepak Bola kejadian serupa juga terjadi. Baru-baru ini, Kurnia Meiga menjadi tamu istimewa di podcast “Close The Door” yang dimiliki oleh Deddy Corbuzier. Dalam acara podcast tersebut, Kurnia Meiga berbagi pengalaman tentang gangguan penglihatan yang telah mempengaruhi dirinya selama enam tahun terakhir. Ia bahkan membicarakan masalah biaya pengobatannya yang tidak lagi ditanggung oleh klub.
Sebagai mantan penjaga gawang Arema FC, ia kini harus berjuang sendirian untuk membiayai perawatan medis yang diperlukan, karena tidak lagi menjadi bagian dari tim. Meiga menyadari nasibnya yang ditinggalkan oleh klub, dan ia bersumpah untuk mencegah hal serupa terjadi pada atlet lain di masa mendatang.
Meiga memiliki harapan besar bahwa semua atlet di Indonesia harus memiliki asuransi, dan ia juga menyarankan agar kontrak pemain di klub seharusnya berjangka lebih dari satu musim.
Ketika ditanyakan tentang perlunya kontrak yang berjangka lebih dari satu musim, Meiga memberikan alasan yang masuk akal. Menurutnya, tidak ada yang dapat memprediksi apa yang mungkin terjadi pada atlet di masa depan. Jika atlet memiliki kontrak jangka waktu lebih dari satu musim, maka ketika mengalami cedera, klub akan bertanggung jawab atas semua biaya perawatan.
Jadi, apakah bijak bagi orang tua untuk menyarankan anak mereka untuk tidak menjadi atlet, mengingat semua keterbatasan yang dihadapi oleh atlet setelah pensiun, merupakan keputusan yang sangat pribadi. Jika anak memiliki bakat dan tekad yang kuat untuk menjadi atlet, mungkin tidak ada masalah bagi orang tua untuk mendukungnya.
Selain itu, saat ini atlet Indonesia yang sukses telah mendapatkan bonus dan fasilitas yang lebih menarik. Ini adalah penghargaan yang pantas bagi atlet mengingat kerja keras yang mereka lakukan. Pemerintah juga telah menyatakan bahwa mereka akan memperhatikan atlet yang sudah pensiun melalui Menteri Pemuda dan Olahraga, Zainudin Amali, yang menyatakan bahwa mereka juga penting.
Pernyataan Zainudin Amali ini memberikan harapan bagi mereka yang sedang mengejar karier sebagai atlet. Namun, perlu diingat bahwa kebijakan pemerintah bisa berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, memiliki tekad, kerja keras, dan doa adalah kunci untuk menghadapi masa depan, baik sebagai atlet maupun dalam kehidupan setelah pensiun. Semoga berhasil.