Barak Militer sebagai Kawah Candradimuka Kedisiplinan Siswa Nakal: Menimbang Manfaat dan Dampaknya

Pendahuluan

Fenomena meningkatnya kenakalan remaja di lingkungan sekolah, seperti tawuran, penyalahgunaan narkoba, hingga pelecehan seksual, telah mencemaskan banyak pihak. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada 2023 mencatat 2.355 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, di mana sebagian besar pelaku dan korban adalah siswa. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) juga mencatat peningkatan signifikan kasus kekerasan di lembaga pendidikan: 194 kasus pada 2022, 285 kasus pada 2023, dan melonjak menjadi 573 kasus pada 2024. Jenis kekerasan yang dominan meliputi kekerasan seksual (42%), perundungan (31%), kekerasan fisik (10%), kekerasan psikis (11%), dan kebijakan diskriminatif (6%) (detik.com, 2024; kompas.id, 2024). Dalam situasi demikian, berbagai pendekatan “alternatif” mulai dipertimbangkan, termasuk pengiriman siswa bermasalah ke barak militer untuk pembinaan kedisiplinan.

Namun, apakah model semimiliter ini benar-benar efektif sebagai kawah candradimuka pembentukan karakter, atau justru menanamkan kekerasan struktural yang lebih dalam?

Militerisme dan Kedisiplinan: Apa yang Ditawarkan?

Institusi militer memang identik dengan kedisiplinan, ketegasan, dan loyalitas. Dalam konteks pembinaan siswa, pelatihan ala militer diyakini mampu menanamkan nilai-nilai seperti tanggung jawab, ketertiban, dan ketahanan mental. Program seperti Character Building Camp yang sempat dilaksanakan di beberapa daerah, termasuk oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta pada 2022, menunjukkan adanya perubahan sikap sebagian peserta setelah mengikuti pelatihan tersebut (Disdik DKI Jakarta, 2022).

Lebih lanjut, pendekatan ini juga sejalan dengan hasil studi dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada 2023 yang menyebutkan bahwa pelatihan fisik dan mental berbasis kedisiplinan militer dapat memperkuat pembentukan karakter pelajar, khususnya dalam konteks ketahanan sosial dan ideologi.

Contoh Kebijakan: SMA Taruna dan Program Sekolah Semi-Militer

Beberapa provinsi di Indonesia telah mengembangkan sekolah dengan pendekatan militeristik, seperti SMA Taruna Nusantara di Magelang dan SMAN Taruna Nala di Jawa Timur. Model ini menggabungkan sistem pendidikan formal dengan kedisiplinan militer yang ketat. Laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2023 menunjukkan bahwa alumni sekolah-sekolah tersebut memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam hal kepemimpinan, kedisiplinan, dan prestasi akademik (Kemendikbudristek, 2023).

Namun, keberhasilan ini tidak serta merta dapat direplikasi pada siswa dengan latar belakang masalah perilaku. Menerapkan pendekatan serupa secara luas tanpa mempertimbangkan aspek psikososial siswa justru berisiko menciptakan represi baru yang menghambat pemulihan karakter.

Risiko dan Dampak Negatif: Kekerasan yang Dibungkus Kedisiplinan

Meskipun terlihat efektif dalam jangka pendek, pendekatan barak militer terhadap siswa bermasalah tidak luput dari kritik. Komnas Perlindungan Anak menilai bahwa pengiriman siswa ke pelatihan ala militer rawan menormalisasi kekerasan sebagai bagian dari “pendidikan”. Dalam beberapa kasus, seperti pelatihan siswa di barak militer yang dilakukan oleh Pemkab Pasuruan pada 2023, muncul laporan tentang kekerasan fisik dan tekanan psikologis selama pelatihan (Komnas PA, 2023).

Psikolog perkembangan anak, Anna Surti Ariani, juga mengingatkan bahwa pendekatan kekerasan justru dapat melanggengkan siklus agresivitas dan trauma pada remaja. Alih-alih berubah menjadi pribadi disiplin, siswa bisa saja berkembang menjadi individu penuh dendam dan kehilangan empati (Ariani, 2023).

Menimbang Alternatif: Disiplin tanpa Represi

Model pembinaan alternatif yang menekankan pendekatan restoratif dan konseling berbasis trauma (trauma-informed education) dinilai lebih efektif secara jangka panjang. Negara-negara seperti Finlandia dan Kanada mengedepankan pendidikan karakter melalui integrasi antara pembelajaran sosial-emosional (SEL) dan dukungan psikososial. Pendekatan ini terbukti menurunkan tingkat kekerasan dan meningkatkan keterlibatan siswa dalam belajar (OECD, 2023).

Di Indonesia, program Sekolah Ramah Anak (SRA) yang diinisiasi KPPPA juga telah menunjukkan hasil positif dalam mengurangi kasus perundungan dan meningkatkan kesejahteraan psikologis siswa. Penguatan karakter tidak harus selalu dikaitkan dengan kekerasan atau pemaksaan fisik, melainkan melalui keteladanan, dialog, dan penguatan nilai-nilai sosial.

Kesimpulan: Perlu Keseimbangan antara Tegas dan Manusiawi

Barak militer mungkin menawarkan solusi instan dalam membentuk kedisiplinan siswa, namun efektivitasnya sebagai model pembinaan karakter jangka panjang patut dipertanyakan. Pendidikan sejatinya bukan sekadar soal keteraturan, melainkan tentang menumbuhkan kesadaran dan keinsafan moral dari dalam diri peserta didik. Pendekatan militer dapat menjadi pilihan terakhir, bukan satu-satunya jalan.

Negara tidak boleh abai terhadap dampak psikologis dan hak anak dalam proses pembinaan. Pendidikan yang memanusiakan manusia harus tetap menjadi pedoman utama, bukan semata-mata menjadikan sekolah sebagai ladang rekrutmen kedisiplinan yang represif.

Daftar Pustaka

Ariani, A. S. (2023). Psikologi Remaja: Tantangan dan Pendekatan Kesehatan Mental. Jakarta: Kencana.

BPIP. (2023). Laporan Hasil Kajian Pembentukan Karakter Pelajar melalui Pendekatan Militeristik. Jakarta: BPIP.

Detik.com (27/12/2024). 573 Kasus Kekerasan di Sekolah dan Pesantren di 2024, JPPI: Naik 100% dari 2023

Disdik DKI Jakarta. (2022). Laporan Evaluasi Program Character Building Camp. Jakarta: Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.

Kemendikbudristek. (2023). Kajian Sekolah Semi-Militer dan Karakter Siswa. Jakarta: Kemendikbudristek RI.

KPPPA. (2023). Data Kekerasan terhadap Anak di Lingkungan Pendidikan Tahun 2023. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI.

Komnas Perlindungan Anak. (2023). Laporan Investigasi Program Pembinaan Siswa Bermasalah di Barak Militer Kabupaten Pasuruan. Jakarta: Komnas PA.

Kompas.com (7/5/2025). Siswa Bermasalah Dikirim ke Barak Militer, Komnas HAM Tak Sepakat dengan Menteri Pigai

Kompas.id (28/12/2024). Kasus Kekerasan di Sekolah Meningkat 100 Persen, Pelaku Terbanyak Guru.

OECD. (2023). Education at a Glance 2023: Social and Emotional Learning in Schools. Paris: OECD Publishing.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *