Bermonolog dengan Piala-Piala
Karya: Vania Kharizma Satriawan
Sekian kali kunantikan ekspedisi hadiah kejuaraanku tiba di teras rumah, tetapi tetap saja berujung nihil. Aku mengembuskan napas kesal, selama enam bulan ini akubaru menjuarai satu kejuaraan dan itu pun belum ada kabar pencairan hadiah. Saldo di rekeningku menipis,nyaris habis kujadikan modal untuk lomba berbayar, yang bernasib kesia-siaan belaka.
“Mengapa rautmu kau tekuk begitu?”
Ibu mengejutkanku. Ah, rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya melihat sosok yang acap kali membanggakanku, kini mesti melihat anaknya murung karena belum memberi kabar atas kejuaraan lomba-lombanya.
“Baru sekali aku menang, bu. Namun, hadiahnya tidak kunjung datang. Sepertinya aku kena tipu lomba abal-abal lagi.”
Ibu hanya mampu mengelus pundakku, mentransfer ketabahan seperti yang biasa ibu lakoni.
“Coba lagi saja di lomba lain, ibu tahu kamu anak yang tak mengenal putus asa!”
Kali ini, genangan air mata yang bersusah-payah kutampung di pelupuk mata berderai begitu saja. “Uangku sudah habis, bu, untuk mengikuti lomba-lomba berbayar,” ucapku berisak.
“Loh, kamu itu punya ibu. Pakai uang ibu untuk mendanai lomba-lombamu,” jawab ibu.
“Aku terlalu takut, bu. Jika aku kalah lagi, uang ibu hanya terhambur sia-sia,”tolakku dengan kegamangan. Bagaimana tidak, aku cukup kalut dengan serangkaian kekalahan selama setengah tahun ini. Belum lagi, biaya perkuliahanku yang cukup membeludakyang perlu kubiayai.
Ibu mafhum, anaknya ialahperempuan mandiri. Aku terbilang jarang meminta uang pada beliau semenjakberkuliah, kecuali untuk kebutuhan mendesak di waktu aku tak memiliki cukup uang. Entahlah, aku berkeyakinan bahwa inilah saatnya untuk berhenti menjadi beban orang tua. Aku harus berusaha bekerja untuk membiayai kuliah sendiri, yang juga didukung oleh lomba-lomba dan profesi menjadi penulis lepas di beberapa media. Ibu takpernahmengekangku untuk hidup mandiri,tetapi ibu turut prihatin setiap kali aku memaksakan diri untuk mengupayakan kemandirianku ini.
“Jangan begitu. Kamu tahu, ibu tak pernah mengekangmu untuk mengeksplorasi diri bukan?Kau memilih program studi favoritmu tanpa bantahan orang tuamu, kau meminta untuk bekerja walaupun ibu dan bapak cukup untuk mendanai perkuliahanmu, dan kau selalu membuat bangga keluarga atas jerih-payah prestasimu.Lihat piala-piala di lemari kaca, punya siapa seluruhnya?”
Aku tertegun, betapa dalamnya ibu merinci kebanggaannya terhadapku. Aku pun merunut arah pandang mata ibu menuju lemari kaca yang berisi piala-pialaku.Selepas memandanginya, aku justru berkeluhdalam hati, “Bagaimana bisa aku tak cukup bangga atas pencapaianku dan justru terpaku melihat kegagalanku?”
Aku beranjak, menatap lekat-lekat pialaku yang seperti berdikari menantang hari-hari depan. Kubaca satu-persatu keterangan trofi, “Juara 1 Lomba Menulis Cerita Anak Tingkat Nasional, Juara 1 Lomba Baca dan Cipta Puisi Tingkat Nasional,..”
“Sudah sadarkah kau? Ibu tak meminta saran dan pendapatmu, ibu akan berkeras kepala untuk mendukung putri ibu tercinta agar dapat kembali bersemangat dalam lomba!”
Ibu melenggang masuk ke dalam kamar. Sesaat kemudian, satu notifikasi dalam gawaimengagetkanku, bahwa terdapat transferan masuk dan itu dari ibuku.
***
Satu jam lagi akan diumumkan pemenang lomba yang sedang kuikutidancukup membuatku tak tenang seharian ini. Ini adalah lomba ke berpuluh-kali di tahun ini, dan harapanku tetaplah besar: aku menjuarainya. Jam telah berganti, dan pihak kepanitiaan memberikan pengumuman. Aku sedikit kecewa mengetahui bahwa pengumuman diundur, tapi kurasa itu cara Tuhan untuk mengembalikan ketenanganku. Setidaknya, hari ini aku tidak bersedih dan aku urung berbahagia, dengankeyakinanku yang tetaplah sama, bahwaaku adalah pemenangnya.
Aku menjajal beberapa lomba lainnya. Menulis cerita dan membaca puisi adalah kegemaranku. Dorongan ibu tempo hari lalu sukses menyalakan api semangat dalam diriku. Kini, selepas hiatussatu bulan dari persayembaraan, aku kembali giat berlomba lagi. Tanpa terasa hari-hari berlalu akan kesibukanku, pengumuman kejuaraan lomba yang kuikuti dari hasil didanai ibuku pun akan dibagikan.
Padam.
Api semangat dalam diriku kembali padam.Aku menyesal telah begitu menanti-nantikan pengumuman hari ini, yang pada akhirnya hanya membuahkan kekecewaan dan kesedihan. Namun, di balik kekecewaanku, terdapat sekelumit kecurigaan atas salah satu judul pemenang yang dipajang olehpapan kejuaraan.
“Sepertinya tidak asing, mengapa begitu mirip dengan judul puisiku tahun lalu?”
Emosi, amarah, dan kekecewaan bertumpuk menjadi satu. Seperti seorang yang siap melabrak, aku bergegas menanyai panitia lomba untuk meminta transparansi karya-karya pemenang.Dan lagi-lagi, ibu melihat tampangku.
“Mengapa wajahmu kembali kau lipat begitu?” tanya ibu menghampiriku.
“Agaknya, ada yang curang di perlombaan ini, bu. Lihat, judul karya pemenangnya mirip dengan judul karyaku tahun lalu. Aku ingin melabrak jurinya!” seruku.
“Janganlah. Apa-apa itu diselesaikan dengan kepala dingin. Kau tahu, masak dengan api yang besar akan menghasilkan masakan yang terlihat matang di luar tetapi justru belum matang di dalam. Masak dengan api yang besar pun juga menimbulkan gosong. Apa-apa itu diselesaikan dengan hati yang tenang, dengan api yang kecil, pasti akan memberi hasil yang terbaik.”
Murkaku yang telah naik hingga di punca kepala kian mereda dikendalikan ibu. Aku menurut. Kutanyakan baik-baik kepada panitia penyelenggara perihal transparansi penilaiandan dengan sopan meminta hasil karya pemenang untuk dapat kubandingkan dengan karyaku di tahun lalu.
Senyap.
Belum ada jawaban dan respons.
Aku kembali gusar, tetapi aku bersusah-payah untuk mengontrol suasana hatiku. Aku beranjak dari gawaikusetelah berlama-lama menantikan jawab. Aku menuju ke lemari kaca, rumah bagipiala-pialaku menghuni di dalamnya dengan tenteram. Akumenatap dengan penuh bangga atas rida Allah yang telah begitu baik menganugerahkan semua trofi ini kepadaku.
“Hai, bila aku belum ditakdirkan Allah untuk menang, tak apa, aku sudah sangat bahagia memiliki kalian semua,” ucapku pada piala-pialaku.
“Atau, apakah kalian cemberut? Murung? Apakah kalian ingin memiliki teman baru?Rasanya, akhir-akhir ini begitu berat melahirkan teman baru untuk kalian, doakan ya.”
Monologku terhenti.
Dering notifikasi dari gawai memanggilku untuk meraih dan membacanya. Bibirku menganga, mataku berbinar. Syukurlah!
“Pengumuman!”
“Mohon maaf, terdapat kekeliruan dalam penjurian. Juara yang sebelumnya terbukti melakukan plagiarisme dengan karya pihak lain, sehingga dengan ini ia TERDISKUALIFIKASI. Selamat atas pemenang Lomba Menulis Cerita Tingkat Nasional, Sdr. Vania Kharizmaatas prestasinya sebagai Juara Umum!”
“Ibu! Aku menang!”
“Ibu! Aku menang!” teriakku berulang-ulang kali.
Ibu datang dengan terburu-buru dan senang. Ibu langsung merangkulku.
“Ibu sudah yakin, kan. Putri ibu pasti menang!” sahut ibu girang.
“Lihat piala-pialamu, mereka turut berbahagia mendapat teman baru!” timpal bapak yang spontan tiba setelah melihat putri dan istrinya berpelukan ria.
Sekarang aku paham, kunci membuka tirai masa depan yang berbahagia ialah mengontrol dan mengendalikan diri. Selalu membekas dalam benak bahwa ‘apa-apa itu diselesaikan dengan kepala dingin’. Ya, ibu sangat mengenal anaknya dengan bajik, macam-macam kalimat bijak selalu membekaliku untuk terus melangkah tanpa henti menggapai prestasi dan mimpi-mimpi. Ia yang teguh, ingin anaknya selalu tabah dan tegar menghadapi aneka musim kehidupan. Tumbang-tenggelamku tak ada apa-apanya dengan keriaan yang Tuhan beri atas harapanku.