BERNAMA BELUM TENTU BERHAK

“Selamat datang, murid baru.”

Kalimat itu bergema di seluruh penjuru sekolah, diputar berulang dari pengeras suara di sudut halaman. Namun di ruang panitia SPMB, ucapan itu terasa seperti gema kosong. Bau tinta dan kertas menyatu dengan udara pengap. Di atas meja kerja seorang guru, bertumpuk map-map yang dibawa masuk diam-diam oleh tangan-tangan berseragam dinas.

Pak Bram terduduk dengan pandangan lelah tentang daftar nama yang panjang. Hari ini adalah hari pertama masa pengenalan lingkungan sekolah. Dari pengeras suara, musik menyambut para murid baru yang memasuki halaman sekolah. Namun, bagi Pak Bram, sambutan itu hanya topeng dari luka tahunan yang tak pernah sembuh. Ketidakadilan sistem yang dikemas rapi bernama SPMB (Sistem Penerimaan Murid Baru), pengganti PPDB.

Pintu diketuk cepat, lalu terbuka sebelum ia sempat menjawab. Seorang wanita berseragam coklat dinas pendidikan melangkah masuk sambil membawa kantong plastik hitam yang tampak berat. Wajahnya tampak bersih, namun senyumnya terlalu manis. Senyum yang mengisyaratkan kebiasaan memberi perintah dengan suara lembut. Matanya tajam, seolah terbiasa menilai orang tanpa harus bertanya.

“Pagi, Pak Bram,” katanya sambil tersenyum. “Ini titipan penting. Tujuh puluh map. Mohon diproses, ya!”

Pak Bram menatap plastik itu, lalu menatap wanita itu. Tak ada nama yang disebut, tak ada daftar yang diberikan. Hanya tumpukan map yang terlihat seperti hantu administrasi mengendap masuk ke dalam sistem.

“Bu, sesuai prosedur, pendaftaran sudah ditutup Jumat lalu,” ujar Pak Bram.

“Map-map ini tidak perlu nama. Bapak cukup tahu, mereka sudah dijamin masuk. Tidak usah risau soal alamat atau jarak rumah. Domisili sudah dibantu,” ucapnya pelan sambil mengedipkan mata.

Pak Bram menahan napas. Dalam diam, hatinya digelayuti kebimbangan. Ia tahu, ini bukan kali pertama ia menerima berkas titipan. Beberapa sudah ia setujui meskipun domisili pemiliknya jauh dari area sekolah. Setiap map yang ia terima tanpa pertanyaan, menambah beban di dadanya. Daya tampung sekolah terbatas, sementara desakan dari atas tidak pernah berkurang. Sebagai ketua panitia SPMB, ia merasa seperti penjaga gerbang yang tak lagi punya kuasa atas siapa yang masuk.

Sementara itu, suasana di lapangan sekolah sudah riuh. Murid-murid baru berdiri berbaris dengan seragam merah putih. Di atas podium, seorang kepala sekolah bernama Bu Ningsih memberikan sambutan.

“Selamat datang murid baru,” ucapnya lantang, suaranya terbawa angin dan menyentuh daun-daun yang gugur di halaman.

Pak Bram berdiri di sisi lapangan, diam-diam menyapu pandangannya ke barisan murid-murid baru yang tengah berbaris rapi di bawah terik matahari. Satu per satu wajah mereka ia amati, mencoba mengenali mana yang datang dari lingkungan sekitar, dan mana yang datang dari tempat entah di mana. Ada beberapa yang ia kenal. Anak tukang warung ujung gang, tubuhnya kecil, sorot matanya tajam, dan berdiri paling tegak di barisan. Di sebelahnya, ada anak yatim yang tinggal di lorong sempit belakang sekolah, ibunya membuka jasa laundry rumahan. Ada juga anak yang datang ke sekolah hanya dengan dua buku di tangan karena belum mampu membeli tas baru. Pak Bram tahu, mereka datang bukan karena punya jalur khusus, tapi karena ingin belajar, walau harus terseok dengan segala keterbatasan.

Namun selebihnya? Barisan mulai dipenuhi wajah-wajah asing. Anak-anak berkulit terang, rambut tersisir klimis dengan gel, dan sepatu bersih tanpa noda. Mereka tampak tidak canggung berada di sini, seolah telah dijanjikan tempat bahkan sebelum pintu sekolah terbuka. Ia tak pernah melihat mereka di lingkungan sekitar, tidak di warung dekat masjid, tidak pula di jalan sekitar sekolah. Tapi kini mereka berdiri paling depan, dengan percaya diri yang bukan dibentuk oleh perjuangan, melainkan diwariskan oleh kedudukan.

Pak Bram menarik napasnya dalam-dalam. Ia tahu betul dari mana mereka berasal. Bukan dari kampung, bukan dari sistem yang adil, melainkan dari map-map tanpa nama yang tadi pagi dititipkan ke mejanya. Merekalah isi dari map-map itu.

“Selamat datang,” bisiknya, kali ini seperti ucapan duka, bukan gembira.

Setelah dari lapangan, Pak Bram kembali ke mejanya dan membuka salah satu map. Tidak ada nama di sampulnya. Tidak ada tanda tangan orang tua. Hanya selembar surat domisili yang sah di mata hukum, namun hampa di mata nurani.

“Map ini seperti anak yatim administrasi,” gumamnya pada Bu Retno, guru Bahasa Indonesia, yang duduk di sebelahnya.

“Mereka punya orang tua yang kuat. Hanya tidak ingin namanya terlihat,” balas Bu Retno.

“Mereka tak datang dengan nama. Mereka datang dengan kuasa.”

“Sementara, anak-anak kita yang datang dengan harapan, bisa saja terlempar karena tak punya siapa-siapa.”

Pak Bram menutup map itu dan meletakkannya di tumpukan teratas. Tumpukan yang akan langsung dikirim ke ruang tata usaha tanpa pemeriksaan ulang. Ia tahu aturan tak akan berlaku di situ. Yang ada hanya permintaan atau perintah dari atas.

Ketika Pak Bram berjalan di lobi sekolah dan akan menyerahkan map-map ke bagian tata usaha, langkahnya terhenti oleh sebuah suara.

“Pak Bram?” tanya sebuah suara dengan pelan.

Pak Bram menoleh. Seorang anak yang kurus, rambutnya tipis, matanya menahan kecewa.

“Saya Faisal, Pak. Saya daftar, tapi tidak diterima. Padahal rumah saya dekat, hanya di balik lapangan tempat orang-orang biasa bermain futsal itu,” ujarnya sambil menunjuk arah rumahnya.

Pak Bram mengenalnya. Ia pernah membela berkas anak itu mati-matian saat rapat panitia. Tapi kalah suara. Kini, anak itu berdiri di hadapannya dengan sebuah surat yang berat, lebih berat dari sekadar kertas.

“Saya hanya ingin titip surat ini, Pak.”

Setelah Faisal pergi, Pak Bram membuka surat itu.

“Pak, saya tidak marah. Saya hanya bingung. Apa domisili saya salah? Apa rumah saya terlalu dekat sampai tidak terlihat? Kalau ada yang bisa Bapak bantu, bukan untuk saya lagi, untuk anak-anak lain nanti yang rumahnya dekat, tapi tidak kenal siapa-siapa.”

Pak Bram menahan isak. Surat itu dilipatnya pelan, lalu dimasukkan ke dalam map khusus yang selalu ia simpan di laci meja, tempat semua berkas-berkas yang seharusnya diterima, tapi ditolak.

Ia memberi label baru di map itu: “Yang Bernama Tapi Tidak Dianggap.”

Setiap awal tahun ajaran, sistem selalu kompromi dan mengulang ucapan yang sudah menjadi ironi, “Selamat datang, murid baru.” Tidak ada yang benar-benar belajar. Pemangku kepentingan juga sangat permisif dan belum memberikan teladan. Murid baru yang datang belum tentu yang berhak. Sementara yang berhak, belum tentu mendapat tempat. Sebab dalam sistem yang penuh titipan, suara-suara kecil kerap kali tenggelam di antara berkas-berkas tanpa nama.

Bionarasi
Sahari Nor Wakhid, lahir bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional tahun 1985. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang ini telah menjadi guru di SMP Negeri 5 Sangatta Utara, Kutai Timur. Mulai menekuni dunia kepenulisan sejak tahun 2020. Telah menerbitkan 9 buku solo dan 43 antologi bersama. Buku paling mutakhirnya di tahun 2025 ini adalah Perempuan yang Menuju Dermaga (Novel), Selebrasi (Kumpulan Cerpen), dan Jeremba (Kumpulan Cerpen Remaja). Bisa dikontak melalui Instagram @saharienwe

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *