Bu Alina

Suara gemuruh sungai terdengar seperti ribuan drum yang ditabuh secara bersamaan, arusnya sangat deras menghanyutkan dedaunan dan ranting. Deretan pohon pinang menjulang tinggi ditepian sungai. Terlihat seorang guru perempuan tengah mengajar muridnya dibalik rerumputan. Namanya bu Alina, ia seorang guru yang bertugas di ujung barat Indonesia. Tahun 2011, bu Alina membawa segenggam semangat pergi mengabdikan diri ke pelosok negeri. Ia rela meninggalkan orang tua dan adik-adiknya di Jawa Barat. Bu Alina bertugas di Sekolah Menengah Pertama yang baru saja didirikan dengan jumlah murid tujuh orang. Bu Alina sangat mencintai profesinya seperti sang Ayah, sosok inspirasi menjadi seorang guru.

“Ari tidak masuk sekolah lagi?” Tanya bu Alina dalam hati.

Beberapa hari ini, Ari murid yang paling pintar tidak hadir di sekolah. Bu Alina sangat kahawatir karena tidak biasanya Ari seperti itu. Dengan perasaan cemas bu Alina pergi mengunjungi rumah Ari. Bu Alina melihat Ari tengah terduduk menganyam jala yang sudah robek. Bu Alina disambut baik oleh Ari dan kedua orang tuanya. Namun ada sedikit ketegangan dalam obrolan mereka.

“Mohon maaf bu guru, Ari harus membantu saya mencari ikan. Untuk menambah penghasilan kami.” Kata pak Saman, Ayah Ari.

“Tapi pak, Ari anak yang pandai. Sayang sekali jika harus putus sekolah.” Kata bu Alina.

“Kami mempunyai kebutuhan yang harus kami penuhi.” Tambah pak Saman.

“Pendidikan penting untuk masa depan Ari pak. Dan Ari merupakan wakil lomba sains di tingkat kabupaten.” Jelas bu Alina.

“Jika Ari terus sekolah, siapa yang akan membantu saya? Ibunya repot mengurus adiknya Ari, dan juga harus mengurus ladang orang. Kami ini hanya orang susah bu.” Kata pak Saman ketus. Bu Alina terdiam. Dia menatap wajah Ari penuh rasa sedih.

Malam merambat pelan, menyelimuti rumah-rumah kayu yang hanya diterangi lampu minyak dan cahaya bulan. Jangkrik bersenandung, sesekali diselingi lolongan anjing dari kejauhan. Tidak ada suara televisi ataupun gawai. Kehidupan di Desa Rantau sudah terbiasa tanpa listrik dan sinyal internet. Di ruang tengah rumah dinas, Bu Alina mengajari murid-muridnya. Mengisi waktu luang di malam hari. Bu Alina tersenyum hambar, muridnya berkurang satu. Sepanjang malam bu Alina memikirkan cara agar Ari bisa kembali belajar di sekolah. Ia tertidur dengan perasaan gundah.

Terik matahari menyentuh permukaan sungai, memantulkan cahaya diantara bebatuan. Bu Alina melangkah perlahan, membiarkan air bening menyentuh kakinya yang lelah setelah mengajar seharian. Bu Alina terduduk di batu besar tepi sungai, di bawah rindangnya pohon bambu. Ia mengeluarkan ponselnya. Di tepi sungai inilah tempat ia berkomunikasi dengan keluarganya di kampung halaman. Seakan ada sinyal yang menggantung di pohon bambu.

“Bu Alina.” Sapa seorang ibu. Ari dan ibunya tepat berdiri dibelakang bu Alina.

“Bu Maya, Ari.” Seru Bu Alina tertegun.

“Bu Alina, Ari akan mengikuti perlombaan itu.” Kata bu Maya tersenyum.

“Sungguh? Lalu bagaimana dengan ayahnya Ari, beliau tidak setuju?” Tanya bu Alina heran.

“Saya sudah berbicara dengan ayahnya Ari. Beliau sudah mengizinkan Ari untuk mengikuti perlombaan itu. Tapi masih belum mengizinkan Ari masuk sekolah. Ari membantu saya di ladang, disela-sela istirahat bisa sambil belajar. Bu Alina bisa memberikan buku-buku pelajaran kepada Ari. Ia akan mempelajarinya.” Jelas bu Maya.

“Baik bu.” Kata bu Alina tersenyum bahagia.

“Ari, besok pagi mampirlah ke sekolah. Bu Alina akan memberikan buku-buku pelajaran. Sepulang sekolah bu Alina akan datang ke ladang. Ari bisa menanyakan hal yang belum Ari pahami.” Tambah bu Alina. Ari mengangguk.

Di tengah ladang dedaunan bergemerisik pelan ditiup angin. Ari duduk di atas tikar anyaman membuka buku pelajaran dengan senyum lebar. Suara langkah kaki bu Alina pelan namun pasti, menyentuh tanah ladang yang gembur sehabis hujan semalam. Langkah itu bukan sekedar gerakan, tapi tanda semangat yang terus bergulir. Dengan penuh sabar bu Alina menjelaskan materi-materi pelajaran kepada murid kebanggaannya itu. Ari menyimaknya dengan serius. Terpancar senyum di wajah bu Maya. Ia sangat bahagia melihat putranya bisa belajar kembali.

Sehari sebelum perlombaan, Bu Alina dan Ari harus pergi ke kota tempat penyelenggaraan lomba. Mereka menempuh waktu delapan jam perjalanan. Menggunakan perahu kayu bermesin diesel tanpa atap. Menyusuri air sungai. Hanya itu transportasi umum yang bisa digunakan. Mereka menginap di rumah kepala sekolah. Usaha Ari belajar tidaklah sia-sia. Ia meraih juara satu. Bu Alina tersenyum bangga. Bu Alina dan Ari bergegas kembali ke desa. Di tengah perjalanan tiba-tiba terdengar retakan di lantai perahu, air terus mengalir masuk dari celah kecil. Perahu bocor. Bu Alina dan Ari segera memakai pelampung. Pengemudi perahu mengarahkan mereka terjun ke sungai. Bu Alina terus berenang ke tepi. Ari berenang sambil memegang tropi penghargaannya. Bu Alina berhasil menepi.

“Ari lepaskan tropi itu. Cepatlah berenang ke tepi sungai.” Teriak bu Alina begitu cemas.

Ari tetap memegang tropinya. Sekuat tenaga berenang melawan arus sungai.

“Pakcik… Pakcik.!” Teriak bu Alina memanggil pengemudi perahu.

Namun tidak ada jawaban. Bu Alina semakin panik. Tanpa berpikir panjang, bu Alina terjun ke sungai. Membantu Ari berenang ke tepi. Kondisi Ari sangat lemas, ia tidak sadarkan diri. Bu Alina segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya yang ia bungkus dengan kantong plastik. Ia berpikir untuk menghubungi temannya yang seorang dokter di puskesmas kecamatan. Namun bu Alina terduduk lemas dan menangis tersedu-sedu ketika membaca sebuah pesan.

“Teteh yang sabar ya! Sudah seminggu ayah sakit. Dan hari ini ayah meninggal.”

Bu Alina terus menangis memeluk erat lututnya. Seketika ia terkesiap mendengar suara sepeda motor. Teringat dengan kondisi Ari. Dengan bantuan petani ladang Bu Alina sampai di puskesmas. Ari ditangani dengan baik, ia sudah sadarkan diri. Bu Alina duduk terpaku di deretan kursi penunggu pasien.Air matanya terus mengalir. Ia merasakan sakit yang teramat dalam.

Mentari pagi perlahan muncul menyinari halaman sekolah yang masih berupa tanah bebatuan. Langkah kaki bu Alina pelan dan berat. Setiap langkahnya membawa luka tak kasat mata. Ia masih tak percaya akan kehilangan sosok inspirasinya begitu cepat.

“Bu Alina.” Terdengar suara memecahkan lamunan.

“Ari..!” Seru bu Alina tertegun.

Terlihat Ari bersama orang tuanya di depan pintu kelas. Ari mengenakan seragam sekolah dan membawa tropi penghargaan. Pak Saman tersenyum seraya mengangguk. Tanda setuju anaknya kembali belajar di sekolah. Bu Alina tersenyum lega. Lukanya sedikit terobati. Bu Alina mengerti, inilah takdir Tuhan. Ia harus tetap berdiri kokoh. Menjalankan amanah mendidik anak bangsa seperti sang ayah.

Tagar:

Bagikan postingan

9 Responses

  1. Kisah Bu Alina dan Ari sangat inspiratif karena menunjukkan:

    1. Dedikasi Bu Alina sebagai guru yang peduli dengan murid-muridnya.
    2. Semangat belajar Ari yang tidak menyerah meskipun menghadapi kesulitan.
    3. Pentingnya pendidikan dalam membentuk masa depan anak-anak.
    4. Hubungan guru-murid yang erat dan penuh kasih sayang.

    Kisah ini menunjukkan bahwa dengan dedikasi dan semangat belajar, anak-anak dapat mencapai kesuksesan dan mengubah hidup mereka.

  2. Karya yang bagus dan mengajak pembacanya ikut merasakan suasana dalam cerita…
    Tetap semangat berkarya dan memberi inspirasi bagi pembaca✊😉…

  3. Kisah yang sangat menginspirasi, terimakasih untuk semua guru2 yang tanpa lelah berjuang untuk mencerdaskan anak bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *