Bukan Pemain Figuran

Bukan Pemain Figuran

 

“Bu, masih hujan.  Apa ndak nanti saja baliknya?  Menunggu hujan reda.”

“Enggak bisa, Nduk.  Masih ada yang harus Ibu kerjakan di rumah.”

Aku mengatakannya seraya membayangkan ibuku yang terbaring sakit di dipan, dengan selimut dari kain sprei yang sudah lusuh.

Home visit yang kulakukan usai sekolah tadi, membuatku tidak bisa lekas pulang dan merawat Ibu.  Ningsih perlu dikunjungi, karena sudah dua hari tidak masuk sekolah karena merawat ibunya yang sakit.  Aku wali kelasnya berkewajiban menengok dan memastikan dia tidak tertinggal pelajaran.  Beberapa catatan dari teman sekelas, pun tugas-tugas perlu dikerjakannya secara mandiri.  Aku yakin Ningsih bisa melakukannya, karena dia cerdas.

Ada beberapa buah tangan yang kubawa.  Tak banyak, karena akupun juga tak memiliki banyak uang untuk dibagikan.

“Maaf, Bu.  Jadi merepotkan Ibu Sundari,” suara lemah ibunya Ningsih menimpali dari balik kardus  yang dipasang sebagai sekat ruang kecil, tempat mereka tidur berdua.

“Sama sekali tidak, Bu.”

“Hati-hati, Bu.  Jalannya licin,” ujara Ningsih di depan pintu rumah petak bedeng itu.

Bau tak sedap sampah terkena air hujan, menyeruak diembus angin, menyapa penciumanku.  Aku bersyukur, tak perlu mencium bau sampah seperti ini, walau rumah kami tak jauh berbeda keadaannya.

Segera kukayuh pedal sepeda tua, menembus hujan dengan tas punggung berisi obat dan lauk untuk makan Ibu.  Hujan tak berhenti sedari tadi siang.  Ya Tuhan, kukira selama ini, aku yang paling menderita, ternyata … di bawah kami masih ada yang lebih menderita lagi.

Jalanan becek dan licin yang barusan kutinggalkan. Pukul setengah enam.  Kukayuh pedal sepeda sekuat tenaga di bawah hujan.

***

“Pulang kau, Nduk?” sapa Ibu dari balik kain sprei pembatas kamarnya.

“Iya, Bu.  Maaf, karena pulang telambat.”

Kuceritakan kunjunganku ke rumah bedeng Ningsih.  Taklupa kuutarakan rasa syukur karena takharus mencium bau sampah, walau keadaan rumah kami tak jauh berbeda dengan rumah bedeng Ningsih.

Ibu tersenyum.  Ibu, kapan aku melihatmu tak tersenyum?  Sejak pertama kau membawaku ke rumah ini, tak sekalipun aku melihatmu berang.

Aku diitemukan Ibu di tempat pembuangan sampah yang biasa dikunjunginya.  Entah berapa usiaku saat itu, tetapi aku mengingat semua hal pahit yang harus kulalui di tempat pembuangan sampah. Beliau yang merawat luka di sekujur tubuhku dengan obat-obatan seadanya.

Piye to, Nduk[1]?  Kok bisa sampai luka seperti ini?  Siapa yang melakukannya kepadamu?” tanya beliau saat itu.

Aku hanya bisa diam dan meringis saat tangan kasarnya mengoles lukaku dengan minyak tawon.  Perih sekali rasanya.

“Rumahmu dimana?  Biar saya antar kamu pulang.  Lukamu ini bisa infeksi lho.  Ini sayatan senjata tajam yang sudah karatan.  Mana kotor lagi,” gumam beliau sambal terus memeriksa luka-luka di sekujur tubuhku.

Malam itu, wanita yang sering kulihat sedang merongsok di onggokan sampah itu mendekapku lembut, kala suhu tubuhku naik.  Entah apa yang beliau lakukan, ketika sadar, aku sudah berada di atas pembaringan putih bersih.   Bau tajam obat-obatan membuatku tersadar dengan cepat.

Wanita itu ternyata menggendongku ke puskesmas pembantu di kelurahan.  Di usiaku saat itu, aku mampu mengingat dengan jelas bagaimana wanita itu, merawatku dengan sungguh-sungguh dan penuh kelembutan.  Aku bisa merasakan aliran kasih dalam setiap sentuhan tangan kasarnya pada tubuhku.  Aku jatuh cinta pada wanita itu.

Seumur hidup, belum pernah aku diajak bicara seperti yang wanita itu lakukan.  Aku diperlakukan dengan baik.  Tak ada pukulan.  Tak ada cacian kasar.  Aku menikmati diperlakukan sebagai manusia.

Aku pernah juga “lari” dari wanita itu.  Beberapa hari tinggal dirawat oleh beliau di rumah mungilnya, tak menjadikanku “jinak” seketika.  Aku berontak ketika beliau mengajariku bagaimana bersikap sopan.

Ketika aku sekarat karena kerasnya hidup di jalanan tanpa perlindungan, beliau menghampiriku dalam hujan.  Tak kukira bahwa perjalanan panjang telah dilaluinya hanya untuk menemukan dan membawaku pulang ke rumah mungilnya.  Mencari sosokku di setiap kumpulan anak-anak liar.

Aku menangis tergugu.  Tak sanggup menantang sinaran hangat kasihnya.  Bagai kerbau dicucuk hidungnya, aku balik ke rumah mungil itu.  Belajar dari wanita itu bagaimana hidup sewajarnya manusia harus hidup.   Usai merongsok, beliau akan mengelus-elus kertas putih yang masih bisa kugunakan untuk belajar menulis.  Ada pula buku-buku tipis lusuh yang ditemukannya di tempat beliau merongsok.

“Masih bisa dibaca.  Ada cerita bagus-bagus, Nduk.”

Beberapa bulan tinggal bersamanya, aku dimasukkan sekolah negeri dekat rumah, tempat aku menjadi guru saat ini.  Perjalanan sebagai manusia normal kumulai.  Tertatih-tatih dan penuh air mata.  Tetapi kekuatan beliau menopangku.

Aku menangis di pangkuannya saat pertama kali dimarahi guru karena tak mengerjakan pekerjaan rumah.   Beliau pun menangis karena aku menangis.  Hatiku berdesir karenanya.  Terucap janji dalam hati, tak kan pernah lagi kubuat beliau menangis.  Aku akan berusaha lebih keras lagi.

Pakaianku juga mulai nyaman dan harum.  Tidak gatal lagi.  Pengalaman pertama di kelas satu sekolah dasar, hanya kutempuh tiga bulan.  Mungkin badanku yang tinggi dan raut wajah yang keras menakutkan teman-temanku.  Di kemudian hari baru aku tahu bahwa usiaku adalah usia anak kelas tiga sekolah dasar.  Sembilan tahun.

Seiring dengan perjalanan sekolahku, wanita itu juga berjuang untuk menjadikanku anaknya.  Aku tak mengerti bagaimana beliau berjuang.  Pasti berat.

Hingga suatu sore, beliau membuatkanku kolak singkong.  Panas mengepul dan sangat lezat.

“Nduk, ini ada kolak singkong.  Makanan yang ingin sekali kamu makan, bukan?  Ini hari istimewa buat kita berdua.  Kamu sudah resmi menjadi anak Ibu.  Mulai sekarang panggil saya dengan Ibu ya.  Ibu tidak tahu namamu.  Jadi namamu sekarang adalah Sundari.  Sekarang Sundari menjadi anak Ibu,” demikian penjelasannya.

Seumur hidup, aku belum pernah punya ibu.  Wanita itu menyerahkan hidupnya untuk menjadi ibuku.  Aku menangis, tapi tak tahu alasan apa yang membuatku menangis.  Hanya merasa menjadi manusia seutuhnya.

Aku belajar banyak hal, dan meraih cita-citaku sebagai guru.  Aku ingin seperti Ibu, yang mengajariku banyak ilmu dalam kesederhanaannya.  Aku ingin menjadi guru, yang membuka wawasan berpikir baru bagi anak-anak terpinggirkan.

Aku akan menjadi guru hebat, yang terus belajar sembari mengajar.  Dan di sinilah aku sekarang berdiri, mencoba memberi makna berarti bagi anak-anak muridku.  Membangun kebanggan dan harga diri,  dan itu pula yang kutularkan kepada Ningsih, anak muridku yang terpinggirkan karena kemiskinan.

“Kaulah pemeran utama dalam kehidupanmu, Sih,” bisikku pelan setiap ada kesempatan.

Kubisikkan pula pada anak-anak lainnya, bahwa mereka bukan pemain figuran.  Ningsih dan teman-temannya adalah pemain utama dalam drama hidup mereka masing-masing.

 

[1] Bagaimana ini , Nak?

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *