Bullying Transendental: Ketika Penyimpangan Adab Menjadi Kekerasan yang Dianggap Biasa

Di tengah arus globalisasi dan normalisasi budaya modern, manusia kini kerap dibutakan oleh simbol kebebasan. Apa yang dulu dianggap sebagai pelanggaran adab, kini dirayakan sebagai bagian dari gaya hidup. Makan dan minum sambil berdiri, menggunakan tangan kiri, berbicara sambil mengunyah, bahkan buang air dalam posisi berdiri dianggap sebagai hak pribadi. Namun di balik “hak pribadi” itu, tersimpan kerusakan yang tak hanya menyerang tubuh, tetapi juga menyalahi fitrah, melecehkan nilai, dan bahkan—dalam pengertian yang lebih dalam—menjadi bentuk bullying transendental.

Kita terbiasa mendefinisikan bullying secara sempit: agresi fisik, ejekan verbal, perundungan daring, dan kekerasan psikologis antarindividu. Namun apakah tindakan yang merusak nilai dalam diri sendiri, jika dilakukan terus-menerus, dipamerkan, dan diwariskan melalui budaya, tidak bisa disebut sebagai bentuk kekerasan? Inilah yang perlu dikaji secara serius.

 

Menyimpang dari Fitrah, Menyingkirkan Martabat

Rasulullah saw. menegaskan bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah: bersih, suci, dan lurus. Fitrah inilah yang mengarahkan manusia untuk mencintai kebaikan, menjaga adab, menghormati tubuh, dan menyadari keberadaan Tuhan. Dalam Islam, makan dan minum bukan sekadar aktivitas biologis, tetapi juga ibadah. Ada tuntunan, ada etika, bahkan ada nilai spiritual yang menyertainya—duduk, menggunakan tangan kanan, membaca basmalah, dan bersyukur. Ini bukan formalitas, melainkan bentuk pemuliaan terhadap diri sebagai ciptaan Allah.

Namun kini, semua itu dipandang remeh. Makan sambil berdiri dianggap keren, cepat, efisien. Menggunakan tangan kiri dianggap bebas nilai. Bahkan ada acara yang secara resmi menjadikan makan sambil berdiri sebagai simbol pergaulan elit: standing party. Padahal, Rasulullah saw. melarang makan dan minum sambil berdiri karena ia bertentangan dengan ketenangan, kesopanan, dan kestabilan tubuh.

Ketika manusia mengubah kebiasaan adab menjadi kelaziman buruk, maka ia sesungguhnya sedang menyingkirkan martabatnya sendiri. Ia tidak lagi menjadi manusia utuh, melainkan sekadar makhluk konsumtif yang kehilangan arah.

Dalam kitab fashalatan dalam bab tayamum ditegaskan lebih tajam, bahwa syarat diperbolehkannya tayamum adalah ketiadaan air, dan bila mana ada air untuk bersuci tapi dihadapkan pada hewan yang dimuliakan menurut syariat Islam yang kehausan, maka harus mendahulukan meminumi hewan tersebut. Dan manusia yang telah turun derajat dan martabatnya karena perilaku menyimpang tersebut bukanlah termasuk “hewan yang dimuliakan”.

 

Dari Pembiaran ke Penularan

Rasulullah saw. Bersabda bahwa keburukan akhlak/perilaku, mudah sekali menular. Salah satu bentuk bullying yang paling halus namun berbahaya adalah bullying nilai: yaitu ketika perilaku menyimpang dijadikan hal biasa, disebarkan secara simbolik, lalu ditekan masuk ke dalam benak generasi. Jika ada anak muda yang makan duduk rapi dan menggunakan tangan kanan, lalu ditertawakan karena “kampungan” atau “nggak gaul,” maka itu sudah menjadi bentuk pelecehan. Dan pelecehan ini tak selalu datang dari kata-kata, tapi juga dari simbol-simbol budaya yang diproduksi massal: iklan, film, tren, bahkan kurikulum gaya hidup.

Fenomena ini dikenal dalam psikologi sosial sebagai normalisasi penyimpangan (normalization of deviance). Awalnya, penyimpangan hanya dilakukan oleh segelintir orang. Lama-kelamaan, karena dibiarkan dan tidak dikritisi, ia dianggap wajar. Akhirnya, nilai yang benar justru dianggap aneh, ketinggalan zaman, dan terpinggirkan.

Di sinilah letak bahayanya: kita bukan hanya membiarkan kebiasaan buruk, tetapi juga mewariskannya sebagai standar baru, sehingga generasi mendatang kehilangan kompas adab.

 

Bullying terhadap Diri Sendiri

Dalam konteks spiritualitas Islam, tubuh manusia bukanlah milik bebas, melainkan amanah dari Allah. Ia wajib dijaga, dihormati, dan tidak boleh dirusak. Kencing sambil berdiri dan di sembarang tempat, Makan dengan cara yang tergesa-gesa, tidak penuh kesadaran, apalagi menyimpang dari adab, bukan hanya merusak kesehatan, tapi juga bentuk penghinaan terhadap ciptaan Allah dalam diri kita sendiri.

Ketika seseorang dengan sengaja berperilaku menyimpang dari adab, menolaknya secara terang-terangan, atau bahkan menyebarkannya sebagai gaya hidup, maka dia sedang membully dirinya sendiri. Ia menginjak-injak kehormatannya, baik secara fisik (karena merugikan tubuh), maupun secara batin (karena memadamkan cahaya fitrah).

Dalam sudut pandang inilah, bullying tidak lagi terbatas pada tindakan terhadap orang lain. Menodai nilai dalam diri, melecehkan akhlak, dan memamerkan keburukan sebagai hal biasa adalah bentuk pelecehan terhadap ruhani manusia itu sendiri.

 

Tugas Kita: Melawan dengan Hikmah

Apa yang harus kita lakukan? Mengenal diri mulai dari asal mula manusia diciptakan, bekal hidup yang telah dianugerahkan Allah swt sampai pada tujuan hidup, sepertinya point penting yang perlu dilakukan untuk diri sendiri dan dikenalkan kepada anak mulai dari lingkungan keluarga, sekolah hingga Masyarakat luas. Sehingga proses pengenalan diri tersebut dapat bermuara pada mengenal alam semesta dan tuhannya.

Selanjutnya, bisa dilakukan kepada orang laun dengan menegur tanpa menghina, mengingatkan tanpa mencela, dan membudayakan kembali adab dengan teladan. Ini bukan soal konservatif atau progresif. Ini soal menjaga fitrah manusia agar tetap utuh di tengah arus modernitas yang cenderung membutakan ruhani.

Meluruskan kembali adab adalah bentuk perlindungan paling awal dari kehancuran moral. Ia adalah pagar nilai yang tak boleh dibobol atas nama kebebasan. Sebab ketika tubuh kehilangan kehormatannya, maka ruh pun kehilangan arah.

 

Penutup

Perilaku makan dan minum sambil berdiri, menggunakan tangan kiri, buang air berdiri, dan di sembarang tempat bukanlah sekadar pilihan pribadi. Dalam konteks nilai, ia adalah penyimpangan dari adab, penghinaan terhadap fitrah kemanusiaannya dan dapat menurutkan derajat dan martabatnya sebagai manusia menjadi “hewan”, dan jika dibiarkan, bisa menjadi bentuk bullying budaya dan spiritual.

Sudah saatnya kita berhenti menganggap hal-hal kecil ini sepele. Karena dalam Islam, kesempurnaan akhlak bukan dibangun dari hal-hal besar, tapi dari kesetiaan terhadap adab yang kecil namun bermakna. Jangan sampai kita menjadi pelaku bullying terhadap nilai luhur, bahkan terhadap diri kita sendiri, atas nama gaya hidup modern.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *