Calon Sarjana menjadi Baby Suster Anak Luar Biasa
Karya: Siva Sabila
Anganggoa rereh ririh ngati-ati, den kawangwang barang laku, den waskitha solahing wong. Berlakulah sabar, cermat, dan hati-hati, perhatikan segala tingkah laku, waspadai segala perilaku orang lain.Inilah pedoman hidup ditahun 2023 yang saya petik dalam Serat Wulangreh Tembang Gambuh.
Desember sudah mau berakhir. Januari dan pergantian tahun dari 2023 ke 2024 segera hadir. Cerita demi cerita akan dirangkai. Simpulan dari cerita akan menjadi pembelajaran untuk kedepannya dalam menjalani hidup.
Di tahun 2023 usiaku genap 20 tahun. Dimana teman-teman sebaya sudah menginjak semester lima dan aku masih semester tiga. Teman SMA SMP sudah pada menikah, dan aku? Ya aku masih sendiri bergulat dengan tugas-tugas dari dosen setiap hari. Keberagaman itu tidak menjadikan iri hati. Semua sudah ada bagiannya masing masing. Tidak perlu khawatir. Menurutku tidak ada yang telat dan terlambat bahkan tertinggal. Kamu menjadi yang tertinggal adlah orang yang tidak pernah mencoba dan berusaha.
Oh iya, melihat teman yang ikut organisasi sempat menjadi pertimbanganku untuk ikut juga. Dengan dalih agar CVku ada isinya. Tidak, aku tidak akan ikut jika niatku hanya untuk mengisi CV. Lalu kalau tidak ikut organisasi, CVku bagaimana? Menulis. Ya, jawabannya aku harus mencoba belajar untuk menulis. Aku harus berani untuk mengikuti lomba-lomba dan keluar dari zona nyaman yang pulang kuliah lalu rebahan dikos sambil scroll tik-tok saja. Kekosongan ini aku isi dengan aktivitas yang positif. Selain aku mencoba belajar untuk menulis, aku belajar menjadi Konten Creator. Membuat resep dan masakan untuk anak kos yang terjangkau dan sehat.
Tahun 2023 menjadi tahun yang luar biasa untuk dilalui. Gejolak perekonomian, gejolak perasaan, gejolak pemikiran sangat menjadi pembelajaran. Dua puluh tahun bukan hal yang mudah, dimana usia ini menjadi masa dewasa awal yang harus menyeimbangkan semuanya. Mulai berpikir kritis, bersikap rasional dan lebih mengedepankan logika dari pada perasaan.
Sekarang aku sudah mau mulai menginjak semester empat. Kalau mau kembali kemasa liburan, sekiar masa liburan disemester dua yang menuju semester tiga. Aku bekerja menjadi pembantu. Setelah selesai UAS dan belum pulang kerumah, aku berpikir “apa sebaiknya kerja saja ya”. Bingung tapi mau bekerja apa?
Setengah hari aku mencari informasi pekerjaan dan akhirnya aku mendapatkan informasi. Ya menjadi pembantu dengan ikut makelar. Ibu Sri namanya, dia penjual beras sekaligus makelar yang mencarikan pekerjaan sebagai pembatu kepada orang ayng sedang butuh pekerjaan,anaknya menjadi seorang TNI. Aku menghubungi beliau sorenya. Dimana aku harus mengirimkan foto ktp dan foto pribadi terbaru.
Satu minggu dirumah, beliau menghubungiku lagi. Aku jujur tentang latar belakangku yang menjadi seorang mahasiswa disemester dua menuju semester tiga. Bu maklar tidak masalah dengan hal tersebut. Aku ditanya kapan siap untuk berangkat? Aku menjawab, jika aku akan berangkat senin sore. Akhirnya kami sepakat.
Senin sore aku diantar kakak laki-lakiku kerumah Bu Sri. Sesampainya kami berbincang. Awal mula aku dijanjikan bekerja bersama seseorang yang dia sebut Landa. Namun ditengah perbicangan dia mengatakan hal yang berbeda dari yang kami sepakati. Disitu saya sedikit merasa kecewa, akan tetapi hati kecilku bergumam, tidak ada salahnya untuk dicoba. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mencobanya.
Pukul 18.25 WIB aku dijemput dengan majikan yang sebelumnya sudah ada kesepakatn untuk menggajiku Rp 1.700.000 setiap bulannya. Kami berangkat lalu setengah jam kemudian sampailah dirumah majikanku. Non Tania aku menyebutnya. Non Tania menjemputku dengan suami dan dua anak laki-laki yang aku kira aku akan mengasuh mereka berdua. Ternyata aku salah.
Sampailah aku didepan pintu dan aku melihat anak yang sedang dilantai yang tidak bisa berjalan dan berbicara lalu disampingnya ada kursi roda. Disini aku terkejut dan “kok gini” hanya kau batin saja. Kok nggak seperti perjanjian awal. Disitu aku merasa kecewa dengan Bu Maklar. Rasa kecewa ini mau diapakan lagi. Aku tidak mungkin langsung pulang. Aku tidak mungkin langsung kembali kerumah dengan uang saku Rp 300.000 yang telah diberikan ibu dari hasil mengutang. Tidak mungkin aku pulang. Aku gengsi jika harus langsung pulang.
Aku harus legawa dan mencoba untuk menjalaninya. Setelah bergulat dengan perasaanku sendiri. Menata pakaian dilemari lalu mandi untuk membersihkan diri. Selesailah bebersih diri dan berganti pakain. Disuruhlah aku untuk istirahat. Kukira aku akan tidur dikamar. Ternyata tidak. Aku tidur diruang tamu dengan kasur lantai ditemani pula dengan nyamuk-nyamuk kota. Dipertengahan malam aku merenungkan semua ini dan aku menangis. Namun tidak sampai sesenggukan, hanya meneteskan beberapa air mata. Mencoba untuk tidur namun tidak bisa. Diruang tamu dengan banyak nyamuk, tidak diberi selimut dan dekat dengan jalan membuatku tambah tidak bisa tidur. Suara berisik motor dan nyamuk sangat mengangguku.
Detik jam terdengar jelas karena semua sudah mulai beristirahat dikamar, disepertiga malam akirnya aku memutuskan untuk bangun dan shalat. Mengadukan semuanya kepada sang pencipta. Tidak sadar aduanku membawa air mata saat itu. Dipenghujung doa ada suara orang membuka pintu kamar. Ternyata dia Wiwi anak yang diberi kelebihan dari sang pencipta sebagai anak berkebutuhan khusus. Disitu dia mengampiriku dan aku melepas alat ibadahku. Aku dudukkan dia dikursi roda sambil aku terharu menahan air mata. Ternyata dia peka jika aku ingin menangis.
Ditengah malam itu dia menatapku dan memelukku. Rasanya igin aku tambah menjerit tidak karuan. Tapi dari semua ini aku percaya pasti ada suatu pembelajaran berharga yang dapat aku ambil. Semua aku jalani dengan lapang dada. Setiap pagi memandikan Wiwi dengan menggendongnya, mengantikannya pempers, dan bermain dengannya. Rasa-rasanya emosiku setiap saat ingin meledak karena kesulitan untuk berkomunikasi. Aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Ketika tantrum Wiwi selalu menggigit dirinya sendiri dan memukuli kepalanya. Sewaktu juga dia menggigitku dan meludahiku. Kurasa aku tidak melakukan apa-apa kepadanya. Aku mencoba merawatnya dengan baik dan tidak pernah sekalipun melukainya.
Aku temani dia untuk bermain bola dan menonton televisi. Kemarahan dan tantrumnya Wiwi seketika meledak karena sikap saudara yang kurang suka dan jail kepadanya. Umpatan kata dari saudaranya membuat Wiwi menangis. Bukan saja umpatan, kadang Wiwi juga dipukul. Ada aku disitu. Aku bisa melerai mereka namun aku tidak tahu jika saudaranya akan memukulnya. Stres rasaku karena ributnya mereka.
Seminggu berlalu, dering terlpon dari Hp tidak berani untuk aku angkat karena itu telpon dari Ibu. Rasa-rasanya aku ingin menangis jika ditanya betah atau tidak. Maaf sekali aku harus berbohong jika pekerjaanku enak dan aku betah. Jika aku jujur aku takut orang tua kepikiran dan menyuruhku untuk pulang. Aku tidak boleh lemah dan aku harus kuat. Ini pilahanku yang aku pilih. Aku harus menghadapinya dan menjalaninya dengan lapang dada. Aku juga harus semangat untuk bisa bertahan.
Minggunya aku diajak Non Tania untuk pergi kepasar. Disini Wiwi bersama ART yang satunya. Non bertanya, kenapa aku tidak kuliah saja? Aku bingung menjawabnya. Aku takut jika beliau kecewa karena aku akan bekerja beberapa bulan saja. Aku takut jika aku dianggap main-main dalam menjalankan pekerjaan ini karena aku hanya bekerja kurang lebih dua bulanan saja. Disitu aku terdiam sejenak. Aku bergumam dalam hati. Sebaiknya aku bilang atau bagaimana ya. Sangat bingung aku hanya mengucapkan kata eeeeee mungkin ada 5 menit lalu aku diam.
Dilampu merah kami berhenti. Akhirnya aku memberanika diri untuk jujur tentang semuanya. Kagetnya beliau tidak apa-apa dengan latar belakangku sebagai mahasiswa. Jusrtu beliau bercerita jika Wiwi dirumah hanya satu bulan karena libur sekolah. Lalu aku bertanya “Wiwi sekolah dimana Non?” “Sekolah di Malang, Sekolah Luar Biasa (SLB)”. Disitu aku sangat lega ternyata jujurku tidak semenakutkan yang tadi aku bayangkan. Aku bertanya kembali “ berarti aku bekerja hanya sebulan saja ya Non”. Dijawablah “nggak sebulan kata siapa” “ kamu masih aku butuhkan untuk bantu-bantu dirumah, kalau bisa kamu nggak usah ngekos. Kamu tidur dirumahku saja”. Dari perkataan beliau seperti itu satu sisi aku lega karena sudah jujur dengannya. Akan tetapi aku juga menolak tawaran beliau. Karena tujuanku itu sekolah jadi sarjana. Pekerjaan ini hanya menjadi sampingan bukan pokok. Sekolahku adalah yang nomor satu.
Hari-hari berlalu dan aku mulai menerima ini semua. Dari bangun pagi mengurus Wiwi lalu bersih-bersih rumah dan kemudian jam sepuluhan aku dibawa ketempat loaundry Ama(nenek Wiwi) untuk bantu-bantu sampai jam dua siang. Setiap hari rutinitasku hampir sama dari pagi sampai tidur. Tidak terasa Wiwi akan kembali ke Malang untuk bersekolah lagi. Dihari yang sama akupun pamit untuk pulang. Sebelum pulang, Non berpesan jika nanti Wiwi pulang lagi aku yang disuruh untuk menjaganya kembali. Satu bulan enam hari aku bekerja dan mendapat gaji Rp 2.100.000. Lumayan dibandingkan kalau hanya dirumah saja. Aku harus kembali pulang kerumah karena seminggu lagi aku harus bernagkat untuk berkuliah.
Pulanglah saya dengan naik bus selama dua jam. Dijemptlah aku distasiun tempat berhentinya bus. Dijemput kembali oleh kakak. Sekitar 30 menit dari pemberhentian bus, akhirnya aku sampai dirumah. Aku membawa uang yang telah aku dapatkan. Aku tunjukkan pada Ibu. Sebagian aku berikan dan sebagian aku gunakan untuk membeli sepatu. Karena setiap kuliah aku biasanya memakai sandal tidak sepatu. Sandal yang jempolnya tertutup. Coba bayangkan saja sandalnya seperti apa.
Dari ceritaku ini aku sangat mendapatkan pembelajaran. Aku benar-benar mendapatkan pembelajarn yang sangat berharga. Dimana aku harus menerima kondisi tersebut, bersikap jujur, tidak mudah menyerah dan selalu semangat tentang semua yang aku jalani. Pekerjaan menjadi Baby suster Wiwi yang mengahadapi anak luar biasa karena tuna wicara dan harus berjalan dengan bantuan kursi roda, menjadikan aku untuk terus belajar bagaimana arti sabar yang sesungguhnya. Setiap manusia pasti punya rasa capek dan kesal. Dari Wiwi aku juga belajar rasa bersukur sebagai Makhluk yang diciptakan Tuhan dengan kondisi yang utuh dan tidak kurang satu apapun. Rasa semangat ini semoga dapat menjadi motivasi kalian yang membacnya. Terimakasih Ibu,Ayah, Kakak, Non Tania dan Wiwi yang telah menjadi bagian dari cerita hidup yang aku lalui.