Cerpen “Kisah” – Eka Rizky Fauziah

Namaku Rizkya, saat ini aku sedang menginjak semester 4 di salah satu Universitas yang ada di Bandung. Waktu begitu cepat berlalu, terasa kemarin aku menjadi perempuan penurut untuk mengikuti berbagai syarat masuk Universitas ternama ini.

Gian, Punty, dan Nura. Tiga manusia, tiga perempuan dengan tiga kepribadian yang berbeda bisa menyelamatkanku dari sebuah lingkaran kekecewaan. Betapa banyak orang baik sekelilingku. Namun, hanya dengan hitungan jari yang bisa sefrekuensi denganku. Ya, tiga orang saja yang dapat sepaham denganku. Namun, tak sedikitpun rasa syukur aku hilangkan untuk orang-orang baik diluar sana.

***

Terik matahari membuat dahi semakin menampakkan kerutannya, aku bersama ketiga kawanku berjalan menuju pulang selepas perkuliahan selesai, tiba-tiba melihat selembar pamflet yang sedang dibagikan oleh orang-orang. Tak lama kemudian mereka berjalan ke arahku dan memberikan pamflet itu. Gian bertanya “Apa itu?”. Setelah aku baca ternyata pamflet itu pemberitahuan mengenai acara band atau musik. Aku dan ketiga temanku tidak menyukai acara seperti itu, ketika pamflet itu dibaca dan ekspresi kamipun rupanya biasa saja tak seperti orang lain yang berteriak-teriak layaknya diberi kejutan yang mewah. Kami pun melanjutkan perjalanan untuk pulang.

Tetesan air mulai membasahi, kaca-kaca berembun, pohon yang basah menambah kesejukan pagi ini. Hari ini, aku pergi ke kampus untuk mengunjungi perpustakaan dimana aku akan menjadi manusia kutu buku seharian ini. Buku yang tertata rapi, kursi yang dipenuhi orang-orang berwajah cerdas yang fokus akan buku dan laptop didepannya. Aku yang hanya sesekali datang ke perpustakaan hitungan menit saja rasanya sudah ingin keluar dari ruangan ini. Namun, tugas yang menuntutku berdiam lebih lama disini. Ditengah aku membaca satu persatu buku disana, terdengar keras sekali suara dari luar, sedikit mengganggu konsetrasiku.

Tak lama kemudian, teman kelasku yang bernama Zahra ia berlari ke arahku lalu berbicara “Kya, liat acara itu yuk, temenin aku” ujarnya dengan nafas yang sedikit tidak teratur. Tak sempat aku jawab, ia sudah berbicara kembali “Disana banyak banget orang-orang tampan, tinggi, putih, yuk! Yuk! Yuk!” sambil berbisik dan memegang tanganku agar aku ikut dengannya. Ternyata suara yang keras berasal dari acara tersebut, semakin malas saja pergi kesana.

“Ah! Aku malas, lagian ketertarikan aku ke acara itu kurang banget” jawabku.

Zahra terus menerus memaksaku dan memohon agar aku menemaninya. Akhirnya, setelah berbagai cara yang dilakukan Zahra, aku mengalah dan dengan berat hati menemaninya. Sesampainya ditempat itu, luar biasa banyak sekali orang yang melihat dan teriak-teriak, rasanya gendang telingaku mau pecah. Aku dikelilingi manusia-manusia tak sayang akan suara, tak sayang dengan baterai handphone yang terus saja mengabadikan moment itu. “Rizkya, lihat tampan kan vokalisnya” ujarnya dengan wajah gembira. Lamunanku tersadar oleh teriakan Zahra yang sangat kencang dan memanggil nama laki-laki itu. “Sukma! Sukma! Sukma…..!” sangat mengganggu telingaku. Kaki ku sedikit jinjit untuk melihat wajah penyanyi itu. Ternyata masih tampan Ayahku dibanding dia.

Tiba-tiba Zahra menepuk bahuku dan berbicara “Kya, tidak sia-sia aku kesini. “Aaaaaaaaaaa Sukma” dengan menunjukkan ekspresi yang tidak bisa aku tebak. Aku hanya tersenyum melihat sikap Zahra dengan tingkah lakunya seperti melihat artis papan atas.

Tak lama kemudian acara selesai dan badanku sedikit lelah, akhirnya aku berniat untuk istirahat sejenak di dekat tempat itu. Sebab, pergi kembali ke perpustakaan pun rasanya percuma. Aku beristirahat sambil memainkan handphone bersama Zahra. “Rizkya, aku mau ke dalam ya, rasanya ingin ketemu Sukma” sambil tersenyum dan pergi untuk menemui laki-laki itu.

Pesan grup pun berbunyi, Gian, Punty dan Nura tahu bahwa aku ada di acara itu “Kya! Asli dateng ke acara itu? Udah mulai suka kamu?” mereka sedikit mengejekku, padahal aku tidak berniat sama sekali untuk datang ke acara ini. Ah! Sudahlah biar aku ceritakan besok aja. Akhirnya Zahra kembali dengan menunjukkan rona pipi yang merah dan tersenyum. “Kenapa kamu?” ujarku. Zahra memegang tanganku dan berkata “Kya, kamu ikut juga ya anterin aku masuk”. ujarnya malu-malu.

 Aku kira kembali dengan wajah gembira sudah menemuinya, ternyata hanya memintaku untuk mengantarnya. Ah Zahra menyebalkan sekali! Belum sempat aku jawab, tanganku sudah ditarik untuk masuk ke dalam. Akhirnya aku berjalan dibelakang Zahra. Perempuan yang ceria, terlalu banyak bicara dan terkadang memiliki sifat pemberani. namun, pemberani untuk masalah laki-laki, untuk hal lain? Sama sekali tidak. Ya, itulah Zahra

Dengan keberaniannya, Zahra menghampiri Sukma dan meminta foto bersama. Di sela-sela Zahra berfoto, akhirnya aku menemukan kursi kosong dan aku duduk disana sambil memandangi mereka.

“Ternyata itu yang bernama Sukma, wajahnya tak begitu tampan menurutku. Apa yang disukai dari dia ya? Perasaan wajahnya juga standar, tinggi juga engga”

Dalam hati aku menggerutu. Ditengah lamunanku, Zahra memanggilku “Rizkya, sini foto” ujarnya sambil tersenyum. Aku menolak ajakan Zahra, tiba-tiba Zahra berbicara dengan Sukma seolah-olah aku ingin berfoto dengannya. Laki-laki itu tersenyum kepadaku dan mencoba menghampiriku “Biar aku saja yang menemuimu, kita foto disini ya” ujarnya dengan tersenyum.

Mata sayu yang tak begitu terbuka, lesung pipi yang sedikit terlihat, badan yang tak terlalu tinggi itu bisa membius banyak perempuan. Bermain alat musik, bermain peran, dan banyak kemampuan lain yang ia punya. Zahra dengan tiba-tiba batuk menyadarkanku bahwa aku sudah terlalu lama menatap Sukma. “Aku tinggal kesana ya, Rizkya” ujarnya. Zahra mendekatiku dengan membawa ejekan-ejekannya “Namanya aja udah langsung hafal. Udah mulai kagum belum nih, Rizkya” ujarnya sambil tertawa.

Sore ini, hujan tak begitu nampak tak seperti pagi tadi. Aku bergegas untuk pulang dengan Zahra. Namun, arah rumah kita berbeda dan akhirnya kita berpisah di depan gerbang. Aku berjalan menelusuri jalanan sambil menunggu ojek onlineku datang. Saat diperjalanan, suara motor terdengar dan berhenti disampingku, aku pikir itu ojek online yang tadi aku pesan, ternyata suara motor itu milik Sukma. “Kenapa jalan? Mau aku antar?” ujarnya. “Aku lagi nunggu ojek sebentar lagi sampai” ucapku. Tingkahku semakin kaku jika ada dia, rasanya ingin cepat pulang atau dia pergi dari hadapanku.

Membuka helm dan mematikan mesin motornya menambah kaku badan ini. “Aku temenin sampai ojeknya datang ya” ujarnya sambil tersenyum. Aku seperti patung kala itu, enggan untuk merespons perkataan Sukma. Ia mencoba untuk membuka pembicaraan kembali “Dua minggu lagi acara pementasan akan mulai, aku harap kamu datang ya” ucapnya. Tingkahku semakin kurang nyaman, rasanya cape sekali menggerutu terus menerus jika ada dia. Tak lama kemudian, suara motor terdengar kembali dan akhirnya jemputanku datang. Aku bergegas untuk pulang dan Sukma menahanku “Jangan lupa ya, dua minggu lagi” ujarnya sambil tersenyum. Aku hanya membalas senyumannya tanpa membalas ocehannya itu.

Sesampainya dirumah, aku memulai aktivitasku. Awan semakin gelap yang meminta mata untuk terlelap. Namun, aku menyempatkan waktu untuk berkabar kepada tiga kawanku. Rasanya ingin aku ceritakan semuanya kejadian dihari ini. Gadget semakin canggih, aku pun bisa menceritakan kejadian tadi kepada mereka dan hampir dua jam lebih, aku ceritakan semuanya melalui telepon.  Tak banyak yang mereka katakan, hanya tertawa pada setiap cerita yang aku ceritakan. Menyebalkan! “Kya, stay cool ya, biar nanti terhindar dari kecewa” ujar Gian sambil tertawa. Rasa kantukku sudah mulai muncul, dan aku akhiri obrolannya.

***

Suasana kampus begitu ramai, tepatnya Aula yang dipenuhi mahasiswa Sastra. Dua minggu akan ada acara Festival Bahasa dan Sastra Indonesia dimana semua mahasiswa terlibat, salah satunya Sukma dan Zahra. Ia berperan penting di acara tersebut dengan mempersembahkan sebuah pementasan drama. Aku dan ketiga temanku datang ke kampus untuk mengembalikan buku yang telah ku pinjam dari perpustakaan. Tiba diperpustakaan, semua mahasiswa bergegas ke Aula untuk melihat proses latihan acara Festival. “Kya, ada niat liat kesana?” ujar Gian. Tak sempat aku jawab, Nura sudah mulai berbicara “Liat yuk, penasaran nih”. Aku mengikuti ketiga temanku untuk pergi ke Aula. Terdengar dari kejauhan, suara yang tak asing ku dengar. Laki-laki berpakian rapi dengan suara yang sedikit parau berada diatas panggung memandangiku yang berdiam ditengah mahasiswa yang fokus melihat dirinya. Ia tersenyum ke arahku. Gian, Punty, dan Nura tertawa melihatnya. “Aneh ya dia” celotehan Nura yang membuat tertawa semakin menjadi-jadi. Sudah bukan hal yang biasa lagi bagi Sukma untuk terjun ke dunia peran. Ia sudah beberapa kali terlibat dalam acara festival bersama beberapa perempuan lain, dan tahun ini ia disandingkan dengan Zahra. Zahra pun tak jauh berbeda dengan Sukma, berperan aktif dalam dunia peran. Namun, ia begitu terkagum-kagum dengan Sukma semenjak festival musik beberapa hari lalu. Siapa yang tak menyukai laki-laki seperti Sukma yang aktif, gemar menyanyi, dan lembut terhadap wanita.

Laki-laki yang ku kenal baru-baru ini memang sedikit aneh, ia mencoba mendekatiku dengan cara mendekati teman-temanku, termasuk Zahra. Setiap kali aku bertemu Zahra, ia selalu bercerita tentang Sukma yang ia bangga-banggakan, seakan-akan ia menyukai Sukma.

Nura, Gian, dan Punty pun merasakan hal yang sama, ia merasakan bahwa Zahra memang menyukai Sukma, lelaki yang berusaha mendekatiku. “Kya, jangan terlalu digubris ya laki-laki itu” ucap Gian, perempuan yang memiliki sifat cuek namun perihal laki-laki yang sedikit ragu, ia maju paling depan untuk melindungi sahabatnya. “Sepertinya bukan cuma kamu yang didekati Sukma” ujar Nura. Kami berbincang diperjalanan pulang. Suara motor dengan klakson yang tak ada hentinya berhenti didekatku. “Kya, aku antar ya” ujar Sukma tanpa mematikan mesin motornya. Isyarat mengangkat alis menjadi sebuah andalan, hal itu dilakukan oleh ketiga temanku menandakan bahwa aku sebaiknya aku menolak ajakannya. Tak sempat aku jawab, teriakan dengan memanggil nama Sukma terdengar. “Sukma” semua mata tertuju dengan suara itu. Suara perempuan yang tak asing didengar. “Hai” ucap perempuan yang ternyata suara Zahra. “Kalian kenapa belum pulang?” ujarnya. Suara motor Sukma tiba-tiba dimatikan ketika Zahra tiba. “Kita mau pulang ini” ucap Nura.

Awan sedikit menghitam. Kita bergegas untuk pulang sebelum hujan kembali turun. “Sukma pulang sendiri?” ujar Zahra. Sukma melihat ke arahku, meski helm yang ia gunakan tak dilepas aku sempat melihatnya. “Ya, Zahra sendiri? Bareng saja” ujar Sukma. Semua mata tertuju pada manusia yang mungkin dimabuk asmara. Aku dan ketiga temanku meninggalkan mereka berdua.

Mereka memang seperti pasangan kekasih, setiap harinya selalu menunjukkan kedekatannya. Sukma selalu melihat ke arahku jika ia sedang bersama Zahra. Tak ingin mengganggunya, aku pun langsung memalingkan wajahku.

“Kya” ucap sukma yang berjalan ke arahku. “Kamu jadi lihat acara itu kan?” ucapnya, tak sempat aku jawab Zahra menyusul dan berjalan ke arahku “Kya, wajib lihat ya seru loh” ucap Zahra. Namun, Sukma menjadi laki-laki pendiam kala itu dan meninggalkan aku bersama Zahra. Saat jam kuliah kosong, Sukma memintaku untuk berbincang dengannya.

“Kya, aku punya lagu buat kamu, sengaja aku buatkan tadi malam khusus perempuan cantik di depanku” ujarnya dengan gombalan yang membuatku rasanya biasa saja. Aku tahu, Sukma ini berusaha mendekatiku, namun mendekati perempuan lain juga. Zahra salah satunya. Ia selalu menceritakan hal-hal yang telah dilalui dengan Sukma. Namun, aku tak pernah memberanikan diri untuk bertanya pada laki-laki yang ada di depanku.“Kya, suka lagunya?” ujarnya. Lamunanku tersadar, bahkan aku tak meresapi lagu itu. “Bagus, sengaja buat aku?” ucapku yang sedikit ragu-ragu. Laki-laki dihadapanu ini menganggukkan kepala menandakan ia bersungguh-sungguh. Aku hanya tersenyum tanpa mengeluarkan kata sedikitpun.

Sukma selalu berusaha mendekatiku, setiap hari ia menemuiku, menunggu perkuliahanku selesai, memintaku menemaninya saat proses latihan, mengajakku berkeliling, dan mengantarku pulang. Namun, ada hari dimana aku tak bisa bersamanya. Sukma memintaku untuk pulang lebih awal dan tak usah menemaninya. “Kya, hari ini aku pulang larut dari kampus bahkan bisa saja menginap disini. Aku ga antar kamu tak apa?” ujarnya.

Keesokkan harinya, ketiga temanku bergegas duduk disebelahku dan menceritakan semua yang mereka lihat “Rizkya, waktu itu sempat jalan sama Sukma? Kemana saja?” ucap Punty. Aku memang tak sempat berbagi cerita kepada temanku dan akhirnya aku ceritakan semua. Punty, Gian, dan Nura tercengan mendengar ceritaku. “Kalian kenapa?” ucapku yang melihat tingkah mereka. “Aku bilang apa, laki-laki itu emang ga bener” ucap Gian sambil menggebrak meja. Aku dibuat kebingungan oleh mereka. “Kya, dengerin” ujar Nura. Mereka menceritakan semua kejadiannya yang melihat Sukma bersama Zahra kemarin. Mereka melakukan kegiatan seperti aku melakukannya dengan Sukma. “Aku sudah duga dari awal Ky” ucap Gian. Aku hanya diam, bersikap tenang. Kita memang tak punya ikatan apapun, menahan amarah yang percuma jika ku keluarkan.

***

Tiba saatnya Festival itu tiba, aku sengaja duduk dibarisan kedua paling belakang agar tak terlalu tampak wajah laki-laki dan perempuan yang sedang dimabuk asmara. Satu demi satu acara telah dilaksanakan, mahasiwa-mahasiswa bersuara indah membaca puisi, pun jari-jari lentik saat menari menambah asyik acara tersebut. Tiba kali ini, punca pementasan drama yang diperankan Sukma dan Zahra dimulai. Mereka sangat menghayati peran itu, sepasang kekasih yang sehidup semati. Semua terkagum-kagum melihat mereka. Setelah pementasan selesai, Zahra mengambil mic dari pembawa acara untuk menyampaikan sepatah dua patahnya. “Terima kasih telah menyaksikan kami untuk menujukkan bakat kami didunia peran ini” ucap Zahra. Suara tepuk tangan yang menggema diruangan tersebut, menambah kekaguman semua pada mereka. “Ada satu tampilan lagi dari partner saya Sukma dengan suara merdunya yang akan menemani kalian di acara terakhir ini. Selamat menyaksikan” ujar Zahra.

Laki-laki yang dapat membius para wanita ini sedang menunjukkan keahliannya dalam suara, beberapa lagu ia nyanyikan. Namun, lagu terakhir yang ia bawakan itu tak asing ditelinga. Ditengah nyanyian ia berhenti dan memanggil Zahra untuk menemaninya “Lagu ini aku persembahkan untuk partner perempuanku”. Sukma seperti tak melihatku, bahkan seolah-olah acara itu milik mereka berdua. Lagu yang ia nyanyikan ternyata sama dengan lagu yang ia beri padaku. “Kya, lagunya” ucap Punty. Aku hanya menggangguk dan tersenyum. Ternyata, dugaanku benar. Ia tak hanya memiliki satu wanita, ia sedang mencari kenyamanan yang membuat dia nyaman tanpa mempedulikan seseorang yang ia dekati sejak itu. Setelah ia selesai bernyanyi, ia melihat ke arahku dari atas punggung itu dengan wajah yang sedikit tegang. Aku sengaja berdiam lebih lama di acara itu, sebab pembawa acara akan mengadakan sesi tanya jawab mengenai pementasan drama karena menjadi satu icon dalam acara itu.

Setelah menunggu beberapa menit, sesi tersebut dimulai. Aku yang paling bersemangat mengacungkan tangan untuk memberanikan diri bertanya pada mereka. Aku bertanya seputar lagu yang tadi ia nyanyikan “Semua orang disini kagum melihat kalian berada diatas sana, terutama Sukma begitu baik memerankan perannya dan menujukkan bakat suaranya yang merdu itu. Lantas, alasan kamu membuat lagu yang dipersembahkan untuk partner cantik disebelahmu apa?” ucapku dengan sedikit gemetar. Sukma terlihat gugup, menatapku dengan penuh penyesalan. Lama tak dijawab, seorang pembawa acara memanggil Sukma.”Saya..” ucap Sukma dengan terbata-bata. Aku mencoba memotong pembicaraanya “Sepertinya Sukma gugup, jadi tak usah repot menjawab. Lirik lagunya cantik, secantik partnernya. Sukses ya Sukma, Zahra” ucapku sambil bergegas keluar dari ruangan itu dan disusul oleh ketiga temanku. Zahra yang tak tahu apapun, ia menunjukkan ekspresi gembiranya sedangkan Sukma dengan mata yang sedikit terbuka, pandangan penuh penyesalan masih terlihat jelas sampai aku keluar dari ruangan itu.      

Bagimu, perasaan bukan untuk kepemilikan, aku yang hampir luluh pada setiap kata dan laku, dengan bualan serta harap yang kini kian rapuh. Berlaku suka dengan diiringi duka, berlaku kasih yang tak sampai menjadi kisah.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *