Cerpen Semesta Tak Semestinya – Eka Rizky Fauziah

Jarum jam terdengar lebih kencang menambah kesunyian yang semakin pekat. Aku dan kamu, sepasang manusia yang tak mampu memutar waktu lebih cepat. Menginginkan untuk mengendalikan takdir demi kebahagiaan yang tiada akhir. Meminta semesta berpihak pada apa yang terjadi itu sebab sepihak. Menengadah dan merapalkan doa agar Tuhan kabulkan semua harap yang telah kau tulis di dinding harap agar kita kembali bersatu.

Satu persatu doa dan harap yang kau sebut disetiap doa Tuhan kabulkan. Sayang, harap untuk kita kembali bersama Tuhan melewatinya. Kita enggan menyalahkan Tuhan, hanya saja kita mesti bangun dari mimpi yang telah kita rangkai, menerima pahitnya kenyataan bahwa kau dan aku kini benar-benar selesai.

Tak ada lagi sepasang mata yang  saling tatap menahan kelopak mata untuk tertutup, tak ada lagi canda yang kita cipta berdua untuk hilangkan duka. Kesempatan kedua tak kau gunakan sama sekali, berharap semua kembali baik namun malah berbanding terbalik.

Kamu yang baru terjun dalam dunia kerja, memandang layar laptop setiap harinya mampu melupa rindu sejenak demi tuntutan profesional. Memprioritaskan apa yang pantas kau prioritaskan dan itu bukan aku.

“Firlyza.. Hari ini kerjaanku banyak banget, next time ya ketemunya”.

2 hari lalu bahkan mungkin ingatannya masih hangat, dimana hari ini yang paling ditunggu Muzi. Bercengkrama dengan asyik, mata yang enggan berpaling, mulut yang tak hentinya menghabiskan makanan di atas meja, kamera yang sudah siap untuk abadikan disetiap detiknya berlalu begitu saja.

***

Waktu begitu cepat berlalu, dan kau masih tetap dengan segudang pekerjaan yang enggan aku ganggu.

“Udah 2 pekan kamu sibuk, sekarang ada waktu ga?” aku mencoba mengemis waktu dan kamu masih enggan bertemu. “Kerjaannya gimana? Seru ga? Ujarku mencoba untuk mencairkan suasana. “Seru sih, tapi nanti aku cerita. Bentar ini ada telepon masuk dari kantor. Aku tutup dulu ya nanti lanjut” ujarnya dengan terburu-buru. Begitulah ia dengan kesehariannya, hanya dengan hitungan menit mendengar suaranya, ia tak berniat untuk memberikan kabar ataupun hal-hal yang ditemukan bahkan gerak disetiap jamnya enggan ia bagi. Baginya kabar tak begitu penting untuk sekarang. Sebab, yang paling utama adalah pekerjaan yang mampu membangun kebahagiaan.

Pikiranku memutar pada 2 tahun silam, dimana kamu sempat berbicara bahwa sesibuk apapun, kabar tetap yang utama. Mungkin kamu lupa, kamu pernah dengan sadar mengucap itu dengan pandangan tajam dan bersikeras memintaku untuk mendengarkan. “Za, doakan aku segera mendapat pekerjaan sepertimu ya” ujarnya sambil tersenyum. Kini Tuhan kabulkan doamu, namun dengan situasi berbeda. Aku yang mesti memahami kali ini.

“Za, yang penting aku udah kasih waktu buat kamu meski lewat telepon, ga apa-apa kan? Ucapnya dengan nada yang datar. Kini, aku layaknya hewan peliharaan dilatih untuk menjadi penurut. Belum sempat aku jawab, ia kembali berbicara “Sabar ya, aku kerja pun demi kita” lagi-lagi aku tak mampu marah, ia sedikit menenangkan. Namun, perasaan kalut bagiku tak benar-benar surut.

Kamu dengan segala rutinitasmu, dan aku dengan segala sabar menunggu rutinitasmu. Selucu itu. Beberapa purnama, aku sempat diposisimu. Mungkin Tuhan meminta kita untuk bertukar posisi sekarang. Kamu yang dulu menunggu pekerjaanku selesai sampai larut malam, sekarang  aku yang menunggumu. Namun, bedanya aku masih meluangkan waktu untuk bisa berbagi kisah, sebab aku paham betul waktu tak akan mampu diputar kembali dan bertemu denganmu adalah obat yang paling ampuh bagiku untuk enyahkan rasa lelah.

Aku masih berharap semua mampu diubah, tak ada salahnya memberi kabar agar pikiranku tak melulu ingar bingar. Akhir-akhir ini kita sudah semakin jauh, aku dengar pekerjaanmu tak begitu sulit dan banyak waktu yang bisa digunakan untuk hal lain. Terakhir kita komunikasi, kamu hanya membahas mengenai pekerjaan dan rekan kerjamu yang bernama Putri tanpa menjelaskan lebih detail. Noval, salah satu temanmu yang mungkin kali ini aku sangat membutuhkannya, aku mencari informasi mengenai kamu, pekerjaanmu, dan rekan kerjamu. Bukan tak mempercayai, hanya saja kamu yang memulai untuk aku bisa mencari celah seperti ini.

Esok hari, aku berkesempatan untuk bertemu dengan Noval di sebuah kedai. Tanpa ada basa-basi, tanpa aku mulai lebih dulu, ia sudah memulainya “Pasti tanya soal Muzi kan?” ujarnya dengan mengambil gelas yang berisi minuman pesanannya. Aku hanya menggangguk pelan. “Dipikiranmu tentang Muzi apa?” ia berbalik tanya sebelum aku yang mulai bertanya, sedikit kesal namun aku mencoba untuk menjawabnya “Akhir-akhir ini dia sibuk ya?” ujarku dengan nada penasaran. Noval dengan santainya mengunyah makan tanpa menjawab lebih dulu “Muzi tuh kan karyawan baru, kebetulan kerjanya masih ringan belum sibuk” ujarnya memukul lenganku dengan tangannya. Percakapanku terhenti dan memutar ingatanku dengan ucapan Muzi. Ia berlaku layaknya seseorang yang sibuk dengan banyaknya pekerjaan, mengabaikan orang disekitarnya demi pekerjaan yang membuat dia bahagia.

“Kenapa?” lamunanku tersadarkan oleh Noval yang mencoba memukul lenganku kembali. Noval adalah salah satu rekan kerja Muzi sekaligus teman SMAnya yang senang sekali bercerita. Namun, ia tahu batasan yang harus diceritakan. Ia tahu sikap temannya sedari dulu, sejak aku mengenal Muzi aku menjadi tahu temannya-temannya termasuk Noval. “Val, kenal sama Putri?” ucapku. Ia mengerutkan dahinya sambil menghabiskan makanan di dalam mulut “Tahu, dia itu rekan kerjanya Muzi, satu divisi sih sama dia dan memang atasan  meminta Putri kerja sama bareng Muzi. Muzi ga cerita Za?” aku hanya menggeleng sambil tersenyum. Noval hanya tertawa seolah ia tahu semuanya. “Noval, kasih tahu aku kalau ada apa-apa” ujarku sedikit memelas padanya. Aku mencoba untuk menjelaskan semua pada Noval, ia mendengarkan, menatapku dengan tajam dan menebar senyuman. 

Kamu dimana?

Pesan singkat yang dikirim Muzi, tak sempat aku balas ia menelpon. “Fiza, kamu dimana? Bisa ketemu?”. Melewati berbagai purnama untuk bisa menemui pemilik rindu yang sebenarnya. Kita bertemu di sebuah kedai kopi, dengan canda yang aku rindukan sejak lama. Kau menebar tawa, mencicipi makanan favorit tanpa membahas pekerjaan. Tawa yang kau tebar, tak menutup kemungkinanku untuk mencurigaimu. “Zi, kerjaannya gimna? Kamu sibuk banget ya?” ujarku dengan sedikit penasaran. Ekpresi yang tiba-tiba berubah menandakan ia tak suka jika aku membahas pekerjaan. “Ya, lumayan padat sih. Kenapa tanya pekerjaan aku terus? Ada yang salah?” menyimpan makanannya dan menatapku dengan tajam. Bergegas aku menelan sisa makananku di mulut “Engga, aku pengen tau aja karena tak ada salahnya kan seorang pasangan menanyakan hal ini?” ujarku dengan sedikit cemas. Suasana menjadi hening sejenak, kamu sibuk dengan ponselmu yang tak pernah aku lihat sampai sekarang, dan aku sibuk menunggumu yang tak berkesudahan. Sebab, inilah  sebuah rutinitas baru ku.

“Za, nagapain?” ucap Noval yang tidak sengaja melihatku bersama Muzi. Ia tak sendiri, ternyata membawa seorang perempuan yang tak pernah ia ceritakan. Ekspresi Muzi berbeda ketika melihat Noval dan perempuanya. “Zi, dari tadi disini?” ujarnya. Muzi  tak menjawab, ia hanya menatap ke arah Noval dan perempuannya itu. “Ohiya, Firlyza kenalin Putri rekan kerja di kantor juga Muzi” menatapku dengan memberikan sebuah isyarat bahwa perempuan inilah yang bernama Putri. “Namaku Firlyza bisa panggil aku Firly atau Fiza” ucapku dengan menyodorkan tangan.

“Dia ini pacarnya Muzi, Put” ucap noval yang menegaskan. Wajah Muzi memerah, begitupun dengan Putri. Aku mencoba untuk mengakrabkan diri bersama Putri “Mau gabung aja disini?” dan Putri menggeleng, namun Noval memang sengaja mempertemukan aku dengan Putri, ia bersedia untuk gabung satu meja denganku dan Muzi. Muzi tak berkutik sedikitpun, ia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia terus menatap Putri dengan sesekali menatapku. “Muzi, kenapa? Di kantor akrab banget biasanya sama Putri, sekarang kaku banget” ucap Noval sambil tertawa. Kami pun mencoba untuk mengakrabkan diri.

Semenjak kejadian itu, Muzi kembali seperti orang asing. Ia enggan memberi kabar lebih dulu. Aku mencoba menghubungi, namun sayang ia tak ingin diganggu dengan alasan banyaknya pekerjaan. “Za aku disuruh selesaikan proyek di Bandung jadi belum bisa ngehubungi kamu dulu” ujar Muzi. Saat itu, selesai.. Tak ada lagi kabar, aku dengan kebiasaanku melanjutkan pekerjaanku dengan menulis kisah sambil menunggu kamu hadir di setiap ideku.

Melewati beberapa hari tanpa Muzi rasanya sepi sekali. Namun, sudah menjadi rutinitasku. Rasa sepi semakin menghunjam dan kamu tak kunjung datang untuk sekadar menegur rindu yang aku simpan. Disela-sela aku mengumpulkan rindu, Noval menghubungiku.

Za, hari ini harus ketemu. Ada yang harus diomongin.

Mendadak sekali, ia memintaku untuk menemuinya di kedai tempat biasa aku bertemu. “Muzi bilang mau kemana?” ujar Noval yang bertanya tanpa basa basi. Aku mencoba menjelaskan secara perlahan “Dia bilang ada kerjaan ke Bandung”. Helaan nafas dari Noval menambah kegelisahan semakin tampak. Noval secara perlahan menjelaskan semua agar tak ada lagi kebohongan-kebohongan yang lain “Dia ngambil cuti beberapa hari, dan itu barengan sama Putri. Sorry” ucap Noval memandangku dengan tajam. Ia satu-satunya informan untuk aku seputar Muzi, dan ia baru memberanikan diri untuk menceritakan semuanya yang terjadi antara Muzi dan Putri yang  ternyata mereka tak hanya sekadar rekan kerja. Namun, lebih dari itu. Noval menjelaskan dengan detail yang ia ketahui tentang Muzi dan Putri. Aku yang hanya terdiam, menghela nafas dan sesekali tersenyum kepada Noval.

Semesta sudah menunjukkan semua sejak awal, hanya saja aku tetap tak menggubris. Sebab, harapanku terhadapmu begitu besar setelah ku berikan kesempatan agar kau dapat berubah dan tak lagi berulah. Kali ini, semua selesai. Tak ada lagi kesempatan yang kesekian, sekalipun memohon kembali atas harapan yang telah kita rangkai berkali-kali. Tak perlu memaksa Tuhan agar kita kembali, sebab caramu memperlakukanku adalah cara yang tak disukai Tuhan. Semua yang terjadi tak menutup kemungkinan semua salahku. Jadi, tetaplah dengan kebahagiaan pilihanmu dengan seseorang yang dapat mewujudkan impian-impianmu dan itu bukan aku.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *