Aku belum siap kehilangan ibuku. Rasanya seperti ada bagian dari diriku yang ikut hilang, terseret bersama tubuhnya yang dingin dan tak bernyawa. Setiap detik sejak kematiannya terasa hampa, seolah udara di sekelilingku menolak masuk. Waktu berjalan lambat, menekanku dengan kesunyian yang menyesakkan. Aku mencoba mengingat suaranya, senyum lembutnya, sentuhan tangannya, tapi bayangan itu kian memudar, digantikan oleh rasa takut dan kemarahan yang bercampur. Bagaimana bisa aku menerima kenyataan ini ketika seluruh hidupku terasa runtuh begitu saja?
Pagi ini, matahari menembus jendela rumah yang sudah tua, memantul pada lantai yang retak dan berdebu. Udara hangat membawa aroma padi kering dari sawah belakang, tapi hatiku tetap terasa dingin, kosong, seperti hujan yang tak pernah reda. Kubuka pintu, melihat adik-adikku duduk di beranda dengan wajah muram, menunduk, seolah takut menatapku.
“Kenapa wajahmu seperti itu?” tanya Dina, adik pertamaku, dengan suara gemetar. “Kamu tahu kan, Ibu …” Ia berhenti, menahan tangisnya.
“Aku tahu, Din. Tapi, aku yakin … Ibu tidak mati karena sakit. Ada orang yang melakukan ini padanya. Kutahu, kau tidak ingin percaya, tapi aku bisa merasakannya.”
Sari, adik keduaku, menegakkan tubuhnya, matanya membara. “Kamu bicara apa, Kak? Kau malah membuat semua orang takut! Kau baru beberapa hari di rumah dan langsung menuduh orang-orang!”
“Kau ingin diam saja ketika semua tanda itu ada di depan mata kita!” Aku membalas dengan suara keras, menembus keheningan pagi yang berat. “Lihat wajah Ibu sebelum meninggal! Ada banyak hal yang tak bisa dijelaskan dengan logika!”
Tetangga-tetangga mulai berkumpul, wajah penasaran dan risau menatap dari luar rumah. Pak Arman, yang rumahnya bersebelahan, maju. “Apa yang kau katakan, Nak? Jangan menuduh seenaknya!”
“Pak Arman, saya bukan menuduh tanpa dasar. Saya melihat … energi jahat itu ada. Saya merasakannya sejak berada di rumah. Ibu diperlakukan … dengan niat jahat!”
“Kalau begitu, bawa bukti, jangan cuma omongan!” teriak seorang tetangga lain, Bu Marni. “Orang mati, kita harus tenang, bukan menebar rasa takut!”
“Tenang? Bagaimana bisa tenang ketika yang dicintai pergi dengan cara seperti ini? Saya tinggal jauh di Kalimantan, merantau, dan ketika pulang … hanya menemukan mayat Ibu!” balasku seraya menahan emosi.
“Tapi, kita harus percaya sama yang di atas, Kak! Jangan sampai kita kehilangan diri kita sendiri karena dendam atau amarah!” ucap Dina menangis.
Aku memejamkan mata. Bayangan ibuku muncul di pelupuk dengan senyum lembutnya yang selalu menenangkan. Tapi, kini senyum itu terselip ketakutan, seperti menyembunyikan rahasia. Hatiku remuk.
“Aku tidak bisa hanya berdoa dan diam, Din. Ada yang harus kulakukan! Aku harus tahu siapa yang merenggutnya dari kita.”
Sore mulai menua, sinar matahari meredup, menembus celah atap rumah dengan bayangan panjang. Aku duduk di depan ruang tamu, memandangi kursi kosong ibuku. Dina mendekat, menyandarkan kepala di bahuku.
“Kau takut dengan apa yang kau rasakan sendiri, bukan?” katanya pelan.
Aku tersentak, tapi tidak menjawab. Sari masuk, wajahnya tegang. “Kau malah melibatkan tetangga. Mereka mulai menghindari kita, Kak. Kau pikir dengan berteriak semua akan jadi jelas?”
“Aku tidak ingin kalian takut. Aku hanya … aku ingin keadilan. Aku tidak bisa hidup dengan rasa penasaran ini,” kataku dengan rasa bersalah yang kian menekan.
Malam semakin pekat. Angin malam berdesir melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma hujan jauh dari sawah. Aku mengumpulkan ingatan beberapa hari sebelum ibuku meninggal, menelusuri semua tanda yang kutemukan. Ada benda-benda aneh yang keluar dari tubuhnya, perilaku aneh yang ditunjukkan, dan berat tubuhnya yang tak mampu kuangkat meski tubuhnya semakin kurus. Semua menunjukkan bahwa kematian ibuku bukan kewajaran.
Tiba-tiba, langkah ayahku terdengar di depan rumah. Aku menegang, darahku mendidih, tapi juga ada rasa ingin tahu. Ia masuk dengan wajah tenang, seolah tak ada yang salah.
“Kalian bicara apa di sini?” suara Ayah berat dan datar.
“Ayah yang melakukan ini, bukan? Katakan sekarang!” jawabku dengan amarah membara.
“Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura bodoh! Semua tanda … semua energi itu menunjuk pada Ayah. Aku tahu Ayah ingin menguasai rumah ini. Makanya, Ayah membunuh Ibu!”
Dina menutup mulutnya, menangis. Sari menatap Ayah, tak percaya. Suasana hening, hanya terdengar detak jam di ruang tamu.
Aku menatapnya, jantungku hancur, tapi perlahan sesuatu berubah dalam diriku. Napasku dalam, mencoba menenangkan diri.
“Aku tahu sekarang. Aku memilih … untuk tidak membalas. Ibu ingin kita hidup, bukan hancur oleh dendam,” bisikku pada kedua adikku.
Dina dan Sari menatapku. Mata mereka basah, tapi ada rasa lega. “Kau benar, Kak,” Dina berkata. “Kalau kita ikut dendam, kita sama saja kehilangan Ibu lagi.”
Aku mengangguk, menahan rasa sakit yang masih menyesakkan dada. “Aku akan menjaga kalian. Kita akan bangkit dari luka ini.”
Ayahku hanya bergeming, menundukkan kepala, tapi di wajahnya tidak tampak penyesalan yang kuharap bisa sedikit menenangkan hatiku. Matanya kosong, seolah menatap sesuatu yang jauh di luar rumah ini. Aku sadar bahwa kata-kata atau amarahku tidak akan mampu menembus dinding itu. Aku menelan rasa sakit dan kemarahan yang bergelora, menyadari satu hal yang tak bisa kuubah. Membalas dendam tidak akan mengembalikan Ibu. Semua yang terjadi sudah menjadi bagian dari masa lalu. Aku harus menerima kenyataan, sepahit apa pun rasanya.
Yang bisa kulakukan hanyalah melanjutkan hidup, menjaga adik-adikku, dan merawat rumah kecil ini agar tetap menjadi tempat pulang. Ya, meskipun nantinya akan dimiliki Ayah bersama istri barunya. Aku harus rela melihatnya. Biarlah semua itu, toh adik-adikku sudah mulai bisa mandiri, dan aku pun akan kembali ke Kalimantan. Namun untuk hari ini, aku memilih bertahan di sini. Aku ingin merasakan sisa-sisa kehangatan rumah, mencoba menenangkan hati yang remuk, dan memulai langkah perlahan menuju penyembuhan yang belum tahu kapan akan utuh kembali.
Sore itu, bayangan panjang rumah menyatu dengan senja. Aku berdiri di beranda, menatap sawah yang memerah terkena cahaya matahari yang hampir tenggelam. Rasa sakit tetap ada, tapi kini disertai keputusan yang lebih besar. Bayangan ibuku mungkin masih menari di atap senja, seolah mengawasi kami dari kejauhan.
Terkadang, penyembuhan adalah memilih untuk melepaskan. Aku menutup mata, membiarkan angin sore membawa bisikan lembut ke seluruh tubuhku. Setiap luka, suatu hari, akan menjadi cahaya. Aku percaya, meski cahaya itu muncul dari pilihan yang penuh kesedihan, itu tetap akan menerangi rumah kecil kami, rumah yang pernah penuh tawa Ibu, dan kini menjadi tempat kita belajar bangkit dari kehilangan.