Dari “Oral Literature” ke Kelisanan Sekunder

Dari “Oral Literature” ke Kelisanan Sekunder

Membandingkan tradisi lisan, termasuk genre, gaya, dan pertunjukan lisannya, dengan “oral literature” sama anehnya dengan menganggap kuda sebagai mobil yang tidak memiliki roda. Tentu saja, perbandingan seperti itu bisa dibuat. Bayangkan menulis risalah tentang kuda (untuk audiens yang belum pernah melihat kuda) yang dimulai dengan konsep “mobil”, yang didasarkan pada pengalaman langsung para pembaca. Risalah itu kemudian menggambarkan kuda semata-mata sebagai “mobil tanpa roda” untuk menjelaskan sifat kuda yang sebenarnya pada istilah tersebut. Alih-alih roda, “mobil tanpa roda” ini memiliki kuku besar yang disebut kuku kaki kuda; alih-alih lampu depan atau kaca spion, ia memiliki mata; alih-alih lapisan pernis, ia memiliki bulu; alih-alih bensin sebagai bahan bakar, ia mengonsumsi jerami, dan seterusnya. Pada akhirnya, deskripsi kuda hanyalah penjelasan tentang apa yang bukan kuda. Meskipun deskripsi melalui negasi semacam ini mungkin akurat dan terperinci, pembaca yang terbiasa mengendarai mobil tetapi tidak pernah melihat kuda, dan hanya pernah mendengar istilah “mobil tanpa roda”, pasti akan memiliki pemahaman yang salah mengenai kuda. Situasi yang sama berlaku bagi mereka yang menggunakan istilah “oral literature” atau “sastra lisan”. Mustahil untuk mendeskripsikan suatu fenomena primer dengan memulainya dari fenomena sekunder yang muncul belakangan dan menyisihkan perbedaannya tanpa menimbulkan distorsi yang signifikan dan merusak. Sesungguhnya, dengan pendekatan terbalik ini-mendahulukan mobil sebelum kuda-kita tidak akan pernah bisa memahami perbedaan hakiki di antara keduanya.

Meskipun istilah “preliterate” atau “pra aksara” berguna dan kadang diperlukan, jika digunakan tanpa pertimbangan matang, istilah ini juga menciptakan masalah yang serupa dengan “oral literature”, meskipun dampaknya tidak sekuat itu. “Preliterate” menempatkan kelisanan-sebagai “sistem representasi primer”-sebagai penyimpangan kuno atau anomali dari “sistem representasi sekunder” yang mengikutinya. Mengingat jurang pemisah yang besar antara ucapan dan tulisan, apa yang bisa menjadi alternatif untuk istilah “oral literature” yang kontradiktif dan anakronistis? Mengadaptasi saran Northrop Frye untuk puisi epik dalam The Anatomy of Criticism (1957, hlm. 248-50, 293-303), kita dapat menyebut seni lisan murni sebagai “epos”. Istilah ini memiliki akar Proto-Indo-Eropa yang sama, wekw-, dengan kata Latin vox dan padanan bahasa Inggrisnya, “voice” atau suara. Dengan demikian, pertunjukan lisan akan dipahami sebagai “penyuaraan” (voicings), yang memang demikian adanya.

Namun, makna yang lebih umum dari “epos”, yaitu puisi kepahlawanan (lisan) (lihat Bynum, 1967), agak mengganggu makna generik yang diberikan yang merujuk pada semua kreasi lisan. Istilah “voicing” tampaknya memiliki terlalu banyak asosiasi yang saling bersaing, meskipun jika ada yang menganggap istilah itu cukup layak, saya pasti akan mendukung penggunaannya. Namun, kita tetap tidak memiliki istilah yang lebih generik untuk mencakup baik sastra tulisan maupun seni lisan murni. Dalam hal ini, saya akan melanjutkan praktik umum di kalangan akademisi, yaitu, jika perlu, terpaksa menggunakan istilah panjang yang dapat menjelaskan dirinya sendiri-“bentuk-bentuk seni lisan murni”, “bentuk-bentuk seni verbal” (yang mencakup lisan, tulisan, dan segala sesuatu di antaranya), dan frasa serupa. Untungnya, saat ini istilah “oral literature” mulai kehilangan popularitasnya, tetapi perjuangan untuk menghapusnya sepenuhnya mungkin tidak akan pernah dimenangkan secara tuntas.

Di sisi lain, penyelaman ke dunia kelisanan dan keaksaraan menunjukkan sebuah evolusi komunikasi yang mengguncang dunia. Dunia komunikasi kita terus berputar, dari tradisi lisan kuno hingga era digital yang mengasyikkan. Tradisi lisan terus berkembang dan hidup di zaman yang berubah-ubah. Dimulai dari kelisanan pertama (kelisanan primer), yang kemudian dilanjutkan dengan masa keberaksaraan. Bangsa yang memiliki tradisi tulis pada masa ini mulai mendokumentasikan lisan: menuliskannya untuk dilisankan kembali, diperdagangkan karena historisitas isi, fungsi, dan maknanya, serta didokumentasikan sebagai warisan keluarga. Titik balik penting penemuan mesin cetak (Gutenberg, 1468) membuka jalan bagi pencetakan banyak tradisi lisan, diikuti oleh penemuan radio (Gugliemo Marconi, 1898) dan televisi (John Logie Baird, 1925), yang menjadi media komunikasi baru yang revolusioner. Perubahan drastis ini disebut secondary orality atau kelisanan kedua. Konsep vital ini dikemukakan oleh P. J. Walter Ong (1982), lahir sebagai fenomena era paska-keaksaraan. Pada awalnya, kelisanan sekunder sangat bergantung pada budaya membaca dan dunia menulis (Banda, 2016:11). Ledakan teknologi: selanjutnya, kelisanan sekunder meledak dalam budaya teknologi baru yang ditopang oleh radio, televisi, telepon, dan perangkat elektronik lainnya, yang semuanya tetap bergantung pada kelisanan, keberaksaraan, bicara, menulis, dan mencetak (Toronto School Communication).

Revolusi siber dan desa global menandai masa depan komunikasi. Hubungan antara tradisi lisan dan budaya baca-tulis semakin diperkuatoleh kemajuan teknologi dan media komunikasi. Penyampaian warisan lisan, misalnya cerita rakyat, yang sebelumnya hanya mungkin dalam situasi tatap muka langsung, di ruang dan waktu yang terbatas, kini telah mengalami transformasi. Komunikasi lisan dapat berlangsung tanpa kehadiran fisik (melalui radio), atau ketika pembicara dan pendengar berada di lokasi berbeda, di mana pendengar dapat melihat pembicara melalui layar, namun tetap bukan dalam konteks interaksi langsung (melalui televisi). Dialog interaktif secara lisan melalui media radio dan televisi menjadi bagian integral dari perubahan lanskap komunikasi ini.

Teknologi komunikasi melaju kencang dengan revolusi siber! Contoh fenomenal termasuk WhatsApp, Instagram, Facebook, TikTok, dan lain-lain. Kelisanan primer memiliki potensi luar biasa untuk bergerak bersama mengarungi dunia media sosial (medsos) dalam desa global yang nyata (Banda, 2016:10). Adaptasi cepat: evolusi kesadaran berhadapan langsung dengan revolusi siber di era global. Warga dunia tersedot ke dalam proses ini, menjadi exposed secara cepat, bebas, dan massal sejalan dengan meluapnya kelisanan sekunder (Banda, 2016:11).

Di tengah modernisasi ini, kita tetap menyelami kekayaan warisan budaya Indonesia. Tradisi lisan kita adalah harta karun nasional, meliputi spektrum kehidupan yang luas: seni pertunjukan, ritual keagamaan dan upacara adat, sejarah dan hukum adat, kearifan serta pengetahuan tradisional, dan sistem kognitif lainnya; bahkan mencakup hubungan manusia dengan lingkungannya—baik maritim, pertanian, maupun hutan (Pedoman Kajian Tradisi Lisan, 2010).

Namun, pewarisan tradisi lisan kini menghadapi tantangan zaman. Tradisi lisan berada dalam dinamika perubahan teknologi media dan komunikasi yang pesat. Akibatnya, pewarisan tradisi lisan harus menyesuaikan kelenturan dan fleksibilitasnya dalam dinamika tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu faktor utama dalam dinamika perubahan ini adalah aspek ekonomi, sebuah modal krusial yang perlu kita perhatikan dan bahas secara mendalam. Identitas kuat dalam kebiasaan turun-temurun menjadi kunci agar tradisi ini tetap hidup. Tradisi lisan merupakan suatu habitus (kebiasaan) atau “tradisi” yang diwariskan turun-temurun, dan keberlangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh identitas masyarakat pemiliknya. Ambil contoh tradisi lisan Mappalili di kalangan petani Bugis/Makassar; Sebagai contoh di daerah Bugis atau Makassar, kita dapat melihat tradisi Mappalili. Tradisi ini adalah upacara adat turun sawah atau pra-tanam yang masih dilestarikan secara turun-temurun oleh masyarakat petani.

Oleh : Andi Nayla Sahrani Patoppoi, Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar

 

 

 

 

 

Tagar:

Bagikan postingan

Postingan terkait:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *