Telah kutuliskan seribu huruf di papan yang lapuk,
di setiap garis spidol, tertinggal harap dan doa,
anak-anakku, kalian bukan sekadar angka dan tugas,
kalian adalah benih bangsa, yang kutimang dalam luka dan cinta.
Setiap pagi kulihat mata kalian seperti jendela,
masih basah oleh mimpi, rapuh oleh dunia,
dan aku, guru tua dengan ransel kesabaran,
menyulam adab dalam jeda, membisikkan makna pada jeda diam.
Kupilih untuk tidak sekadar mengajarkan ejaan,
tapi menanam malu saat dusta menggoda lidah,
menyirami empati saat amarah mulai mekar,
karena kelak, kalian akan tumbuh—lebih manusia dari siapa pun juga.
Aku bukan siapa-siapa, hanya pelayan waktu,
namun jiwaku remuk tiap kalian tersesat oleh zaman,
tiap tangan kecil kalian menolak jabat kasih,
aku menangis dalam diam, tak seorang pun tahu, bahkan langit pun kelu.
Tahun demi tahun kuajarkan cinta yang tak tercetak di rapor,
dan bila kelak kalian lupa wajahku yang renta,
doaku masih menggantung di langit pagi,
agar kalian tumbuh bukan sekadar pintar—tapi benar dan bijaksana.
Inilah warisanku: bukan medali, bukan gelar,
tapi jejak hati pada tiap langkah kecil kalian,
karena dalam dada ini, guru adalah ibu dan ayah sekaligus,
yang rela dilupakan, asal kalian menjadi cahaya dalam gelap.