Derana sang Ananda – Cerpen Rikky Esa Putra

puisi mencintai diri

Derana sang Ananda
Karya: Rikky Esa Putra

“Cepat! tolong panggilkan dokter!” ujar seorang laki-laki dewasa yang suaranya terdengar asing di telingaku. Kepalaku sakit dan badanku tak bisa digerakkan. Aku hanya bisa terbaring di atas brankar dengan tubuh yang kaku. Aku tak bisa membuka mata, sekeliling tampak sangat gelap. Namun, anehnya aku tetap bisa mendengar dengan jelas.

Apakah ini akhir dari kisah hidupku?

Aku bermonolog dalam hati, berpikir seakan-akan ini adalah akhir dari segalanya. Tuhan, tolong jangan ambil ruhku terlebih dahulu, karena aku masih memiliki seorang adik. Ia masih mempunyai mimpi yang belum bisa ia gapai. Aku juga memiliki seorang ibu yang ingin melihat anak-anaknya sukses sebelum ia meninggal. Tapi, jikalau memang sudah takdirnya, aku berharap bisa bertemu ayah di sana.

Suara tirai tertutup terdengar di telingaku. “Kita harus menghentikan pendarahannya terlebih dahulu!” tutur seseorang dengan suara yang seperti tertahan oleh sebuah masker. Pikiranku mulai membuyar. Aku berusaha membuka mataku, namun tak bisa. Saat ini, di dalam pikiranku mulai terbayang wajah-wajah yang selalu menemani kehidupanku sehari-hari. Senyum tulus dari seorang ibu yang kulitnya mulai mengeriput, tawa ceria dari seorang adik ketika kami sedang bercanda bersama, dan yang paling aku ingat adalah ekspresi marah dari seorang ayah ketika aku berbuat salah.
Aku merasa ada sebuah alat yang ditempelkan ke sebelah kiri dadaku. Setelah alat itu ditempel, terdengar suara yang mengikuti alunan detak jantungku. “Gawat, detak jantungnya melemah,” kata seseorang dari sebelah kanan telingaku. Merasa memang ini akhir dari cerita hidupku, aku pasrah menerima takdir. Samar-samar aku mendengar suara seseorang memanggil, “Fahri! ke sini, nak!” panggil seseorang yang suaranya terdengar tidak asing di telingaku, tapi aku lupa di mana pernah mendengarnya.

Aku menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari sumber suara tersebut. Namun, yang terlihat hanyalah ruangan gelap yang tak ada siapapun di sana selain aku. Aneh, tadi aku tak bisa membuka mata. Tapi, sekarang aku bisa membuka mata dengan sempurna. Tubuhku melayang, aku berusaha mencari pijakkan, namun tidak ada sama sekali lantai yang bisa dipijak di sini.

“Fahri! ke sini, nak!” panggilan itu terdengar lagi. Sepertinya suaranya berasal dari belakang, batinku menerka. Aku memutar tubuhku ke belakang, tampak di ujung ruangan yang gelap ada sebuah cahaya berwarna putih. Lekas aku terbang menuju ke arah sumber cahaya tersebut.

Seiring dengan aku yang sedang terbang menuju ke arah sumber cahaya, suara panggilan itu terdengar semakin jelas. Semakin dekat dengan sumber cahaya, semakin jelas pula suara tersebut. Tinggal beberapa meter lagi aku sampai di sana, Tiba-tiba sekeliling ruangan yang tadi gelap lama-kelamaan berubah menjadi putih seperti sumber cahaya.

Aku berhasil memasuki sumber cahaya. Di sini sangatlah terang, berbeda sekali dengan ruangan yang tadi. Sekeliling ruangan ini berwarna putih. Tiba-tiba, tubuhku serasa tertarik oleh gravitasi ke arah bawah. Karena kaget, aku tak bisa mengatur nafasku. Jantungku seakan-akan seperti tertarik, dan Nafasku seperti terasa sangat berat.

Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. Mendapati diriku yang berada di atas kasur, aku mencoba menalaah sekitar dengan seksama. Bukankah ini adalah kamarku? plafon berwarna putih, dinding berwarna coklat, lemari dengan bahan kayu jati, meja belajar berwarna hitam yang lengkap dengan kursi berjalannya. Sebentar, bukankah tadi di sekelilingku banyak orang-orang? Tapi, mengapa sekarang hanya ada aku seorang?

“Fahri! ke sini, nak!” kali ini suara itu terdengar jelas arahnya. Tampaknya berasal dari lantai bawah. Aku segera menyingkirkan selimut yang menindih setengah tubuhku, lalu segera beranjak dari kasur. Aneh, tadi tubuhku terasa kaku, sekarang aku sudah bisa berjalan sempurna. Segera aku membuka pintu kamar, lalu menuruni tangga. Terlihat di ruang keluarga ada ayah, ibu, dan juga adikku yang sedang tertawa menonton televisi.

Mataku terbelalak ketika melihat ayah yang masih dalam kondisi sehat sedang duduk di samping ibu. “Eh, si ‘kebo’ udah bangun,” ungkap Nadia yang sedang merebahkan dirinya di atas sofa. Ia adalah adik yang selalu membuatku kesal. “Enak gak tidurnya, bang?” tanya ibuku. Aku sama sekali tidak menggubris mereka. Pandanganku masih terfokus pada ayah yang sedang memegang remote. Aku melangkahkan kaki ke depan, mencoba mengikis jarak dengan mereka.

“Ayah?” panggilku dengan nada heran. “iya? Kenapa, bang?” tanya ayahku sambil mengernyit. “Lu kenapa sih, bang?” tanya adikku. Aku segera berlari dan langsung memeluk ayah. “Eh… abang! pelan-pelan meluknya. Nanti ayahnya kesakitan,” kata ibuku. Aku tak bisa menahan rasa sedih sekaligus gembira di dalam pelukan ayahku. Air mataku mulai mengalir dan membasahi baju ayah.

Ayah langsung membalas pelukanku dan berkata, “tidak apa-apa, luapkan saja semuanya, nak,” kata ayah. Aku langsung menangis sejadi-jadinya setelah mendengar perkataan ayah. “Lu kenapa, sih sebenernya bang?” tanya adikku sekali lagi. Aku mulai meregangkan pelukanku dengan ayah. Isak tangisku lama-kelamaan mulai berhenti.

Aku mulai melepaskan pelukanku dengan ayah, “ayah, kenapa ayah pergi duluan, sih? kan Masih banyak hal yang pengen aku omongin!” ujarku dengan nada kesal. “Kamu ngomong apa, sih, nak? jelas-jelas ayah ada di depan kamu,” kata ibu. “Biarin, biar dia ngomong dulu aja, bu,” kata ayah kepada ibu.

“Bang,” panggil ayah kepadaku. “Semua itu sudah takdir. Kita gak bisa melawan kehendak tuhan,” kata ayah sembari memegang pundakku dengan kedua tangannya. “Sekarang ayah hanya bisa memberi nasihat,” kata ayah. Ia menatapku dengan tatapan yang sangat dalam.

“Dalam hidup, pasti kita akan melewati banyak rintangan. Apapun rintangannya, tetaplah melangkah ke depan dan jangan menyerah. Contohnya tadi, kamu pasrah ingin cepat-cepat ketemu ayah, kan?” tanya ayah kepadaku. Aku tak menjawab, hanya memberi respons dengan anggukan. “Nah, kamu jangan pasrah gitu. Harusnya kamu tanamkan dalam mindset, bahwasanya saya akan melewati rintangan ini,” kata ayah menyemangatiku.

“Kamu masih ingat? nasihat yang ayah selalu ajarkan kepada kamu?” tanya ayah. Aku mengangguk, “Selalu beribadah, sabar, berbuat baik, dan mematuhi perintah orang tua?” terka diriku. “Hampir, namun ada bagian akhir yang sedikit terlupa. Coba tebak!?” suruh ayah. Aku mengerutkan dahi dan menengok ke kiri bawah, “Belajar dengan giat?” kataku menebak. “Bukan,” kata ayah. Aku kembali berpikir, mencoba mengingat nasihat yang ayah pernah ajarkan kepadaku.

“Nyerah?” tanya ayah. “Nyerah, deh,” jawabku. “Jawabannya adalah…” ayah menjeda perkataannya, “jangan lupa untuk selalu bersyukur,” kata Ayah. Aku langsung ingat dan merespons, “ohh… iya, bersyukur. Aku lupa.” Ia melanjutkan kembali kata-katanya, “terkadang, kita lupa untuk bersyukur, bahkan untuk diri kita sendiri.”

“Di luar sana, masih banyak orang-orang yang lebih kekurangan daripada kita. Seperti: Penyandang disabilitas yang masih bisa bekerja di kantor, pemulung yang masih bisa ceria bersama keluarganya di pinggir jalan, pengamen yang masih bisa tertawa bersama temannya ketika bernyanyi. Bahkan dengan segala kekurangan yang mereka punya, mereka masih bisa menikmati kehidupan,” kata ayah. Kata-katanya terasa sangat dalam. Aku merasa sangat tersentuh ketika ia berbicara seperti tadi.

“Kurang lebih itu saja yang bisa ayah sampaikan padamu, ri. Sekarang waktunya kamu kembali.” kata ayah kepadaku. Apa aku tidak salah dengar? Kembali? memangnya ini di mana? “Aku tidak mau kembali, yah. Ini adalah dunia yang aku harapkan bersama ayah, ibu dan, Nadia!” tuturku pada ayah sambil memeluknya sekali lagi. “Sadarlah Fahri,” lirih ayahku. Ia melepaskan pelukanku dengan kedua tangannya, “coba kamu lihat ke kanan dan kiri. Ibu dan Nadia sudah tidak ada di sini,” kata ayah. Dengan cepat, aku segera menengok ke arah yang ayah beri tahu. Ternyata benar, mereka sudah menghilang.

“Kembalilah, nak. Ibu dan Nadia sudah menunggumu di sana,” kata ayah. Dengan wajah yang masih memelas, aku bangkit dari posisi duduk. Ketika aku berdiri sempurna, ayah masih melempar senyum tulusnya kepadaku. “Jangan lupa sampaikan salam ayah kepada mereka, ya,” kata ayah. Aku menjawab, “iya, yah. Akan aku sampaikan kepada mereka.”

Aku membalikkan badan, lalu melangkahkan kaki ke depan. Setelah sampai di anak tangga pertama, aku menghentikan langkah kakiku. Sempat terlintas di dalam pikiranku, bagaimana caraku kembali? Dengan cepat aku kembali memutar tubuhku, lalu berjalan kembali ke arah ayah. Namun, sesampainya di sana, ternyata ayah sudah tidak ada. Aku kembali melangkahkan kakiku untuk mencari ayah ke berbagai ruangan di rumah. “Ayah! ayah di mana?!” ujarku sampai membuat suara yang bergema.

Tiba-tiba tubuhku terangkat ke atas, melayang layaknya hantu yang sedang terbang. Tubuhku tiba-tiba seperti tertarik oleh gravitasi ke arah kamar. Ketika sampai di dalam kamar, tiba-tiba gravitasi itu menarik diriku ke atas dengan cepat. Membuat kepalaku membentur langit-langit kamar. Sontak aku merasa langsung tak sadarkan diri. Mataku masih sedikit terbuka, namun aku tak bisa menggerakan tubuhku. Aku rasa aku sedang melayang dengan posisi tidur.

Tiba-tiba gravitasi itu kembali menarik diriku dengan sangat cepat ke bawah. Kali ini tubuhku terbawa dari langit-langit kamar menuju ranjang kasur milikku. “Hah?” aku langsung terbangun dalam posisi duduk di atas brankar. Ibu dan Nadia yang berada di sebelahku langsung memelukku, “akhirnya, nak. Kamu sadar,” kata ibu sambil menangis di dalam pelukan yang ia berikan. “Lu tadi nangis sambil ngegerakin alis, bang,” kata Nadia.

Aku tak merespons ucapan mereka, diriku masih merasa tidak percaya dengan apa yang telah terjadi tadi. Semuanya terasa sangat nyata, namun sepertinya semua itu hanyalah mimpi. Melihat diriku yang menatap kosong ke arah depan, sontak ibu menepuk bahuku dan langsung bertanya, “kamu kenapa bengong, nak?” tanyanya. Refleks aku kaget dan terlepas dari tatapan kosongku, “tadi aku mimpi ketemu ayah, bu,” ungkapku pada ibu. Nadia yang mendengar itu langsung menganga dengan telapak tangan yang menutupi mulutnya. “Hah? Terus, gimana? Ayah ngomong apa aja?” tanya ibu kepadaku. “Coba ceritain, bang!” seru adikku dengan wajah penasaran.

“Jadi, begini…” Fahri mulai menceritakan semua yang ia alami. Mulai dari berada di ruangan yang gelap, kemudian menemukan sebuah cahaya. Lalu, tiba-tiba ia berada di rumahnya. Kemudian, menemukan ayah, ibu, dan adiknya di ruang keluarga. Semua ia ceritakan kepada ibu dan adiknya, bahkan sampai nasihat dan salam yang ayah titipkan kepadanya, ia sampaikan ke mereka berdua. “Yang paling penting kata ayah, “jangan lupa untuk selalu bersyukur” katanya begitu,”

“Ayah kangen sama kita kayaknya, bu,” kata Nadia kepada ibu. “Iya. Mungkin gara-gara kita gak jenguk dia di makam kemarin,” balas ibuku kepada Nadia. “Keren ya ayah, bu. Udah gak ada, tapi tetap bisa nolongin aku,” kataku kepada ibu. Ibu yang mendengar itu langsung tersentuh hatinya. Tiba-tiba, tangan ibu bergerak ke arah rambutku, “yang penting kamu bisa selamat, nak.” Lirih ibu sambil mengelus kepalaku.

“Sekarang kita makan siang dulu, ya. Ibu masak makanan kesukaan kalian berdua,” kata ibu sembari menunjuk sebuah tempat makan yang tersusun seperti gedung yang memiliki tiga lantai. “Sebentar, ibu ambilkan,” kata ibuku. “Gak usah, bu. Biar Nadia aja yang ngambil,” kata Nadia. “ohh… baiklah,” jawab ibuku. Dengan cepat adikku mengambil tempat makan yang berada di atas meja, kemudian memberikannya kepada ibu. Ibu segera mengubah susunan tempat makan itu menjadi sejajar, Lalu membukanya satu-persatu. Salah satu kotak makan sudah terisi nasi serta lauk-pauk kesukaanku. Yaitu, kentang Mustofa lengkap dengan perkedel dan sambal hijau. Tak lupa ibu mengeluarkan sendok makan dari bahan logam, lalu menaruhnya satu-persatu ke dalam tempat makan.

“Yang ada sambal hijau dan kentangnya buat Fahri,” kata ibuku sembari memberikan tempat makan kepadaku. “Yang ada ayam bakarnya punya Nadia,” kali ini milik Nadia yang ibu berikan. “Terakhir, yang ada telur baladonya punya ibu.” Seandainya ayah ada di sini, pasti ibu akan membuat telur dadar untuknya. Karena, itu adalah makanan favoritnya.

Sambil menikmati makanan, ibu menceritakan masing-masing masa kecil kami. Katanya, aku ketika kecil sangat gemas sekali dengan kucing. Bahkan, kucing milik tetangga kabur ketika ingin dielus olehku. Karena, aku sering mengelusnya dengan terlalu kasar dan juga sering menarik ekornya. Sedangkan, adikku ketika kecil sangat suka dengan hamster. Waktu itu kami sempat memelihara beberapa hamster, namun mereka mati satu-persatu. Ada yang mati karena masuk selokan kamar mandi dan ada yang mati karena terlalu banyak makan dan minum.

Kami bercerita sambil tertawa bersama-sama. Sudah lama kami tidak merasakan kehangatan ini. Kami sering bertemu ketika di rumah, namun jarang sekali mengobrol satu sama lain semenjak ayah pergi. Kata ayah memang benar, yang paling penting itu adalah rasa syukur. Apa yang kita miliki belum tentu dimiliki orang lain, begitupula apa yang dimiliki orang lain belum tentu dimiliki oleh kita.

“Kok kamu bengong, ri? Ada apa?” tanya Ibu kepadaku. Aku langsung kembali sadar, “gak papa kok, bu. Seneng aja kita bisa ngobrol-ngobrol lagi,” lirihku kepada ibu. Ibu dan Nadia membalas perkataanku dengan senyuman tulus, menandakan mereka juga merasakan hal yang sama. “Ibu juga seneng kok, ri. Bisa ngobrol sama kalian lagi,” ungkap ibu. “Nadia juga seneng, bu,” kata adikku. Kehangatan pun berlanjut sampai kami menghabiskan makanan.

Terima kasih Tuhan, engkau telah mengajarkan pelajaran yang sangat berharga kepadaku. Untuk ayah, terima kasih sudah menjadi tulang punggung keluarga yang bertanggung jawab. Meskipun ayah tidak bisa melihat diriku saat wisuda kemarin, aku tau pasti ayah bangga melihatku dari atas sana. Untuk ibu, terima kasih telah melahirkanku ke dunia ini. Engkau adalah manusia yang paling kuat setelah ayah. Untuk Nadia, adikku tersayang, Terima kasih telah menjadi adik yang sangat pengertian. Ketika ibu tidak ada di rumah, kamulah yang paling rajin mengerjakan pekerjaan rumah. Dan yang paling penting dari semuanya adalah terima kasih kepada diriku sendiri. Terima kasih karena sudah berjuang dan bertahan selama ini.

Dua puluh lima tahun berlalu…

Aku sedang berdiri menatap ke arah luar melalui kaca jendela gedung kantorku. Terlihat gedung-gedung dan suasana jalan raya yang ramai lancar. “Pak, sudah waktunya kita berangkat,” kata pak Naufal. Ia adalah asisten pribadiku dan juga orang yang paling kupercayai untuk menghadiri rapat, atau pun pertemuan penting apabila aku tidak dapat hadir.

Di usia yang hampir mencapai kepala lima ini, aku telah berhasil mewujudkan mimpiku untuk menjadi direktur utama di sebuah perusahaan milik negara. Begitupula dengan adikku, ia berhasil menjadi direktur keuangan di sebuah perusahaan multinasional. Aku juga sudah memiliki istri yang cantik dan penyayang seperti ibu. Kami telah dikaruniai oleh Tuhan 3 orang anak. Meskipun ibu sekarang berjalan menggunakan tongkat, namun ia masih bisa tersenyum melihat anak-anaknya bahagia dan sukses.

Entah bagaimana hari esok yang akan aku jalani, aku berharap untuk selalu bahagia dan bersyukur seperti saat ini. Aku tutup cerita ini dengan sebuah kata-kata mutiara,
“Awal yang buruk belum tentu berakhir dengan baik, dan awal yang baik belum tentu berakhir dengan buruk,”

Tagar:

Bagikan postingan

32 Responses

  1. Cerita ini membuat saya tersentuh dan teringat sosok ayah. Cerita ini juga membuat saya mengingat kembali nasihat-nasihat yang dahulu beliau berikan kepada saya ketika kecil dulu. Nasihat-nasihat di cerita ini juga memberikan saya semangat untuk melanjutkan kembali pendidikan ditengah kebingungan saya. saya seharusnya bersyukur dengan keadaan saya sekarang dan pantang menyerah serta terus bekerja keras agar bisa meraih mimpi saya dimasa depan.

  2. Dari sang ayah “Dalam hidup, pasti kita akan melewati banyak rintangan. Apapun rintangannya, tetaplah melangkah ke depan dan jangan menyerah.”
    Dan dari tokoh utama
    “Awal yang buruk belum tentu berakhir dengan baik, dan awal yang baik belum tentu berakhir dengan buruk,”
    2 kutipan pesan penyemangat yang di beri di dalam cerita yang bisa di bilang termasuk kedalam cerita sedih bagus bgt, gua suka cerita yang begini, karena ada penyeimbang suasana hati, jadi kita gak harus berlarut di suasana sedih terus setelah membacanya

    Semangat untuk penulis dalam membuat cerita² berikutnya!

  3. cerita ini benar benar menyentuh hati saya, membuat saya mengingat sosok ayah yang selalu bekerja keras untuk keluarga tetapi saya selalu merasa kurang atas kerja kerasnya, setelah membaca cerita ini membuat saya menjadi lebih bersyukur 🙁

  4. Bagus ceritanya, semoga kita bisa bersyukur kepada yg diatas dan bersyukur pada orang-orang sekitar kita khususnya keluarga 👍

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *