DI ANTARA DOA DAN SABUN CUCI

Nama lengkapnya Eliana Wardana. Sejak kecil, ia terbiasa bangun sebelum azan subuh menggema, membantu ibunya merebus air dan menyapu halaman rumah yang sederhana di pinggiran Cianjur. Ayahnya, Kyai Abdul Karim, adalah ulama kampung yang dihormati. Meski rumah mereka selalu penuh dengan santri yang datang mengaji, tak ada kemewahan di dalamnya. Hidup mereka amat sederhana. Kyai Karim bekerja serabutan—memanen padi, menggembala kambing orang, atau memperbaiki rumah tetangga—untuk menyambung hidup keluarga.

Sejak kecil Eliana terbiasa dengan makanan sederhana dengan hanya sesendok nasi dan satu potong tempe atau sepotong ikan asin sebagai lauk di piring makannya. Apabila tak ada uang sama sekali untuk membeli tempe atau ikan asin, ayahnya biasanya mengambil mentimun dari kebun kecil belakang rumahnya lalu diberi bumbu garam dan kencur sebagai lauknya. Bahkan seringkali hanya ditaburi bawang goreng yang digarami di atas nasi hangatnya. Namun, Eliana tak pernah mengeluh. Ia selalu bersyukur dengan rezeki yang ia dapatkan.

Sebagai anak sulung dari lima bersaudara, Eliana tumbuh dalam suasana yang religius namun penuh keterbatasan. Ia belajar mengaji sejak usia lima tahun, dan hafal juz ‘amma sebelum menginjak SMP. Tapi di balik kerudung polos dan baju seragam yang mulai pudar warnanya, Eliana menyimpan mimpi besar yang sering dianggap terlalu tinggi oleh keluarganya: menjadi seorang guru negeri.

Namun, kenyataan tidak memihak pada impian.

Setelah lulus dari SMP dengan nilai terbaik, ayahnya memanggil Eliana ke ruang tamu kecil mereka, yang hanya diisi tikar pandan dan sebuah kipas angin tua.

“Lia, Ayah sudah bicara sama Pak Ujang, katanya ada lowongan ke luar negeri. Kamu bisa jadi TKW di Malaysia. Lumayan, bisa bantu biaya sekolah adik-adikmu.”

Eliana diam. Jantungnya berdegup tak menentu. Ia tahu, itu bukan karena Ayah tak sayang. Tapi kemiskinan telah menekan keluarganya sedemikian rupa hingga mimpi harus dikorbankan demi perut yang kenyang.

“Ayah… kalau Lia boleh minta, beri waktu tiga tahun saja. Lia ingin sekolah di madrasah aliyah, tinggal di pesantren. Kalau selama itu Lia belum bisa bantu, Lia akan berangkat ke luar negeri. Lia janji.”

Wajah Kyai Karim mengeras. Tapi di balik sorot matanya yang tajam, ada kegamangan. Ia menatap Eliana lama, lalu menghela napas dan mengangguk pelan.

 

Pesantren dan Pakaian Kotor

Eliana pun melanjutkan sekolah ke madrasah aliyah, dan tinggal di sebuah pesantren sederhana di pinggiran kota. Biaya hidup yang minim memaksanya untuk berpikir keras. Uang saku yang dikirim dari rumah hanya cukup untuk makan seadanya. Tak ada pilihan lain selain mencari cara agar bisa bertahan.

Dengan keberanian yang besar, Eliana menawarkan diri kepada para santri kaya di asrama:

“Kalau kalian butuh yang bantuin cuci baju, aku bisa.”

Dan begitulah. Setiap malam, Eliana duduk di lantai kamar mandi, dikelilingi ember-ember berisi pakaian kotor. Tangan mungilnya terus mengucek, bahkan saat kulit tangannya mulai mengelupas karena deterjen murah. Ia dibayar lima ribu rupiah untuk satu ember. Uang itu ia simpan rapat-rapat, cukup untuk membeli buku tulis, sabun, dan sesekali, sekotak mi instan.

Meskipun bekerja sambil sekolah, prestasi Eliana tak pernah merosot. Ia tetap juara kelas, aktif di organisasi madrasah, dan menjadi contoh bagi adik kelasnya. Ustazah di pesantren menyebutnya “bidadari sabar”, karena tak pernah mengeluh meski hidupnya berat.

 

 

Langkah Kecil ke Sukabumi

Setelah lulus aliyah dengan nilai yang gemilang, Eliana memberanikan diri mendaftar ke perguruan tinggi di Sukabumi. Ia mengambil jurusan D2 PGMI (Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah). Biaya masuknya murah dan masa studi singkat—dua hal yang sesuai dengan kemampuannya.

Ia tinggal di pesantren kecil milik salah satu ustazah alumni kampungnya. Pesantrennya sederhana—satu kamar untuk tiga santri, makan seadanya, dan harus bergiliran mencuci pakaian di sumur belakang. Tapi Eliana sudah terbiasa hidup demikian.

Untuk bertahan, ia mengajar di RA (Raudhatul Athfal) di pagi hari, lalu kuliah siang sampai sore. Honor mengajarnya tak sampai 300 ribu per bulan. Tapi dari sanalah ia membeli kebutuhan harian, ongkos ke kampus, dan sesekali membeli jajan untuk adik-adiknya yang menunggu kiriman dari Kakak mereka.

“Lia, uangmu cukup?” tanya sahabatnya suatu hari saat melihatnya hanya makan nasi dengan garam.

“Cukup. Allah Maha Kaya,” jawabnya sambil tersenyum.

 

23 Tahun dan Nama di Pengumuman

Dua tahun berlalu. Eliana lulus dengan predikat sangat memuaskan. Di usianya yang ke-23, ia langsung mendaftar CPNS, formasi guru MI. Ia belajar keras, membawa bekal doa dan air mata. Ia tak punya bimbingan belajar, hanya buku-buku bekas dan keyakinan.

Hari pengumuman tiba. Di warnet kecil dekat pesantren, ia mengetikkan nomor pesertanya sambil memegang tasbih kecil yang sudah lusuh.

Nama itu muncul. Nomor urut pertama.

Eliana menutup mulutnya, menahan tangis yang mendesak keluar. Ia bersujud di lantai warnet yang kotor, sambil berbisik,

“Terima kasih, Ya Rabb…”

 

Pulang dengan Seragam Cokelat

Dengan seragam PNS cokelat muda yang baru dijahit, Eliana pulang ke rumah. Saat langkahnya menginjak halaman rumah, ibunya keluar duluan, diikuti Kyai Karim. Lelaki itu menatap putrinya dalam diam.

“Ayah… Lia bukan TKW. Lia sekarang guru negeri, di usia 23 tahun. Seperti cita-cita Lia dulu.”

Kyai Karim tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap langit. Air mata jatuh dari ujung matanya yang sudah mulai keriput.

“Ayah salah menilai langitmu, Lia… ternyata lebih tinggi dari yang Ayah sangka.”

Kini Eliana mengajar di sebuah MI negeri. Ia masih sederhana, masih rajin berpuasa Senin-Kamis, dan setiap gajian pertama, sebagian uangnya langsung dikirim ke rumah. Adik-adiknya kini bisa sekolah dengan lebih tenang.

Dan setiap malam, sebelum tidur, Eliana masih memandangi langit dari balik jendela. Langit yang sama seperti dulu—tempat ia titipkan semua doa, harapan, dan keyakinan.

Langit yang akhirnya ia raih, setelah melewati begitu banyak sabun cuci dan air mata.

Tagar:

Bagikan postingan

4 Responses

  1. Masya Allah kisah inspiratif 😍 semoga jadi inspirasi untuk menjadi pendidik yang selalu berjuang walau digempur ujian ✨️

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *