Gaza,
kutulis surat ini dengan tinta luka
pada malam yang kehilangan bintang
di mana azan memanggil dari reruntuhan
dan bayi-bayi menangis dalam diam yang panjang.
Kupeluk debu di matamu
yang tak sempat menua bersama tanah
sementara senja hanya tahu satu warna:
darah.
Kau masih berdiri
dengan tubuh kecil melawan tank baja
di tanganmu bukan senjata,
melainkan doa yang tak pernah putus dilafazkan ibu.
Aku melihatmu dari negeri yang bebas
makan kenyang, tidur tenang,
sedang kau, belajar mengeja hidup
di antara suara dentuman dan sirine malam.
Palestina,
namamu serupa bait Al-Qur’an
yang kami hafal tapi belum kami perjuangkan
dengan sungguh.
Adakah yang lebih tabah dari hatimu,
yang retak tapi tak rebah,
yang kehilangan tapi tak kehilangan iman
meski dunia pura-pura buta?
Surat ini bukan sekadar cinta
ia pengakuan bahwa kami telah lalai,
dan kau anak kecil di Gaza
telah menjadi guru kemanusiaan sejati.
Maka izinkan langit menjadi saksi,
bahwa dalam setiap sujud,
ada namamu kami titipkan
di antara air mata dan harapan yang tak henti tumbuh.
Jakarta, 22 Mei 2025