1/
Di ujung kelas yang belum sempat disapa matahari,
sang guru menata aksara di papan tulis—
dengan kapur yang retak
seperti sejarah yang ia rawat
dalam nadi yang tak pernah menagih upah
ia bukan hanya pengucap rumus atau perapal definisi,
tapi ia penjaga mimpi,
penenun logika,
penyulam etika
ia tahu: pendidikan bukan sekadar angka,
tapi tentang manusia yang belajar menjadi manusia.
Kadang sang murid lebih hafal wajah pesohor layar dan suara gema pemuja digital,
dibanding menyebut nama sang guru,
namun sang guru tetap hadir
membawa matahari dalam ilmu,
menanamkan benih logika di tanah yang mulai gersang.
Meski suara sang guru kadang diremehkan,
ketika sang murid menganggapnya tak paham tren
padahal, di balik seragam batiknya
terpahat ribuan malam
begadang
demi memahami sang murid
lebih dari yang murid ketahui.
2/
Wahai murid,
Guru adalah perahu dalam badai zaman,
mengajari kalian agar tidak karam
oleh ombak instan dan gemerlap semu,
dengan sarung, kebaya, dan peluh di dahinya,
ia ajarkan Pancasila bukan sekadar hafalan,
tapi napas dalam tindakan
ia sisipkan filosofi Ki Hajar dalam setiap senyumannya,
menjahit peribahasa dalam langgam gamelan,
menorehkan tembang dalam pelajaran,
agar kalian paham: bangsa besar tak dibentuk oleh jawaban cepat,
tapi perjalanan menembus hutan sunyi,
mencari jati,
bukan ijazah.
Wahai murid,
Guru tak meminta kalian untuk sujud atau menyanjung,
cukup kalian santun,
fasih membaca dunia dengan jernih,
dan menyebut namanya dalam setiap doa
saat kalian akhirnya menjadi cahaya
menerangi jalan di negeri ini.
Magelang, 18 April 2025