Di ujung Senja Dunia Menggigil

Di ujung senja yang memerah,
bumi mengaduh dalam luka.
Anak kehilangan ibu, ibu kehilangan negara
dan kita, kehilangan rasa.

Di Gaza, bocah menggenggam boneka tak utuh,
berbisik pada angin:
“Aku hanya ingin malam tanpa dentuman.”
Tapi dunia diam, lebih peduli pada sorak trending topic.

Di Sudan, ibu-ibu menggendong harapan dalam kain lusuh di punggungnya,
menyusuri gurun panas dan lapar yang mengiris seperti pisau tak kasatmata,
sementara seorang perawat di tenda pengungsian menjahit luka-luka tak bernama,
tanpa sorotan kamera, tanpa disapa sejarah,
namun tangannya mengajarkan arti cinta yang tak bersyarat

Di meja-meja diplomasi yang dingin dan mewah,
kata-kata bergaung seperti gema kosong tanpa denyut nurani,
resolusi-resolusi tersusun rapi tanpa pernah menyentuh tubuh-tubuh yang tertimbun reruntuhan tanpa sempat diberi nisan,
dan doa pun tertinggal di halaman-halaman yang tak terbaca.

Namun cinta hadir di Aleppo
anak kecil berbagi seteguk air
dengan anjing kehausan,
di pelukan ibu yang memeluk siapa pun yang tersisa.

Ketika agama dibenturkan dan suku diseret sebagai alasan perang,
ketika wajah-wajah dijadikan peluru dalam propaganda tak bertuan,
kita lupa, bahwa darah tak pernah bertanya tentang asal-usul, yang tumpah tetap merah
dan setiap luka, tetap menyisakan perih yang sama dalam dada manusia.

Namun masih ada mata yang berani menatap reruntuhan tanpa berpaling,
masih ada tangan yang bersedia menggenggam serpih harapan,
dan masih ada hati yang menolak menjadi batu di tengah dunia
yang mulai membusuk oleh racun kepentingan dan diam yang disengaja.

Cinta adalah perlawanan terakhir,
bukan hanya lewat puisi,
tapi lewat hati yang berani menangis dan tetap menggenggam
meski tanpa nama, tanpa kamera

Kotamobagu 29 mei 2025

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *