Cerita untuk Pak Hamka
Sebagai seorang yatim yang ditinggal oleh ayah sejak masih berada dalam kandungan ibu, aku sering membayangkan bagaimana rasanya memiliki seorang ayah. Dan setiap kali aku membayangkan hal itu, satu-satunya sosok yang selalu muncul dalam benakku adalah Pak Hamka. Bukan, ia bukan ayahku, tetapi ia adalah guruku sewaktu masa Sekolah Menengah Pertama dahulu.
Aku pertama kali bertemu dengan Pak Hamka pada Juli 2007. Kala itu, aku yang berusia tiga belas tahun adalah seorang siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Tanjung Priok—sebuah kawasan pelabuhan di ujung utara Jakarta yang terkenal dengan kehidupannya yang keras. Kawasan yang ketika siang hari terik panasnya bercampur dengan debu di jalan-jalan, berkelindan dengan deru suara truk-truk kontainer yang melintas untuk masuk dan keluar area pelabuhan. Di sanalah sekolahku berada, tempat di mana kali pertama aku bertemu dengan Pak Hamka.
Aku tentu masih mengingatnya dengan jelas. Waktu itu adalah pertemuan pertama pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas tujuh. Di depan kelas, Pak Hamka mengucapkan kalimat ini kepada kami.
“Albert Einstein pernah berkata. Logika, hanya mampu membawa kita beranjak dari titik A sampai ke titik B…” Ia lantas diam beberapa jenak. Pandangan matanya menyapu seluruh wajah siswa yang nampak menanti kelanjutan dari kalimat itu. Lalu Pak Hamka pun melanjutkannya. “… tetapi imajinasi, akan mampu membawa kita pergi ke mana saja.”
Mendengar kalimat Pak Hamka itu, aku merasa seperti ada sesuatu yang tiba-tiba membuncah dalam dadaku.
“Adakah di sini yang tahu, cara apa yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan imajinasi itu?” Pak Hamka kembali melanjutkan dengan melontarkan sebuah pertanyaan.
“Jalan-jalan, Pak!” seseorang di antara kami menjawab sambil terkekeh—yang kemudian diikuti oleh sorakan dan tawa dari beberapa siswa lain.
Sementara Pak Hamka tersenyum saja. Ia mendengarkan jawaban dan sorakan para siswa tadi dengan penuh antusias. “Terima kasih, Faris, sudah berani berpendapat. Jawaban yang bagus, tapi ada jawaban lain yang lebih tepat.” Pak Hamka kembali diam beberapa jenak.
“Jawaban yang lebih tepat adalah membaca. Ya, membaca buku. Karena membaca adalah jalan untuk menuju kebebasan.”
Dalam mengucapkan kalimat-kalimatnya itu, Pak Hamka menyampaikannya dengan tenang, bukan dengan nada yang berapi-api. Namun entah mengapa seperti ada suatu daya kekuatan tersendiri dalam caranya berujar. Setelah aku mulai dewasa dan sedikit memahami ilmu retorika, aku sempat berpikir bahwa daya kekuatan itu berasal dari perpaduan penggunaan intonasi, artikulasi, dan tempo yang sempurna. Namun ternyata aku salah. Setelah berkali-kali aku renungkan kembali, aku meyakini, kalau daya kekuatan yang muncul dalam setiap kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Pak Hamka itu berasal dari passion dan ketulusannya dalam mengajar. Aku meyakini itu.
***
Di rumah, aku tinggal bersama Ibu dan seorang kakak perempuan yang berusia tujuh tahun lebih tua dari usiaku. Ibu tidak pernah ingin menikah lagi. Ia terlampau mencintai Ayah dan selalu berdoa agar kelak di surga Tuhan akan mempertemukannya dengan Ayah kembali.
Begitulah kehidupanku. Kini, setelah dewasa, aku sering berpikir, barangkali karena tidak adanya sosok seorang ayah dalam hidupku, aku tumbuh menjadi seorang anak yang pemurung dan kurang percaya diri. Aku seperti tidak memiliki seseorang yang dapat kujadikan sebagai role model dalam hidupku.
Di sekolah, pada masa-masa awal kelas tujuh, mulai ada suara-suara yang mengusikku. Itu adalah ejekan dari beberapa teman laki-laki sekelasku. Mereka kerap mengejekku dengan sebutan “anak yatim”. Lantas oleh sebab perawakanku yang kurus, sehari-hari mereka memanggilku dengan panggilan “si Cacing.”
Situasi ini membuatku kian merasa inferior dan terasing. Aku nyaris tidak memiliki motivasi apapun di sekolah. Namun, ada satu hal yang selalu mampu membuatku merasa menantikannya. Itu adalah pelajaran Bahasa Indonesia Pak Hamka!
Pak Hamka selalu memiliki cara yang berbeda dalam menyampaikan materi pembelajaran. Ada kalanya ia bercerita menggunakan boneka tangan ketika pembelajaran cerita fabel. Pernah pula ia mengajak kami berjalan mengitari perkampungan sekitar sekolah untuk melakukan pengamatan dalam pembelajaran teks deskripsi. Namun yang paling berkesan adalah saat pembelajaran teks berita, ia mengajak kami ke perkebunan kangkung dan bayam dekat rel kereta yang menghubungkan Stasiun Tanjung Priok dengan Stasiun Ancol Selatan. Waktu itu, kami ditugaskan untuk mewawancarai seorang petani di sana yang sampai sekarang aku masih mengingat namanya dengan baik: Pak Dasim.
***
Waktu itu, saat jam istirahat, aku tengah berjalan di lorong kelas menuju kantin ketika tidak sengaja bertemu dengan Pak Hamka. Lantas ia bertanya kepadaku apakah aku bisa mengobrol dengannya sebentar.
“Iya bisa, Pak,” jawabku dengan takzim.
“Saya ada rencana mau membentuk Klub Baca. Semacam kelompok untuk para siswa yang punya minat terhadap kegiatan membaca buku gitu. Dimas mau ikut, enggak?”
Jujur, kala itu aku ragu dengan tawaran Pak Hamka. Aku katakan kepadanya kalau aku kurang paham tentang buku, sebab memang sebenarnya aku tidak akrab dengan kegiatan membaca buku selain buku pelajaran sekolah. Akan tetapi, Pak Hamka meyakinkanku. Ia berkata kalau ia telah membaca tugas cerita pendek karyaku dan menurutnya itu adalah sebuah cerita yang menarik. Menurutnya, itu adalah salah satu indikator kalau aku cocok bergabung dengan Klub Baca. Walaupun belum sepenuhnya yakin, akhirnya aku menyanggupi tawaran Pak Hamka.
***
Di Klub Baca, Pak Hamka mengenalkan kami dengan berbagai buku. Mulai dari novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, kumpulan cerpen A.A. Navis, hingga novel-novel karya penulis luar seperti Petualangan Tom Sawyer karya Mark Twain. Seiring berjalannya waktu, aku bermetamorfosa menjadi seorang anak laki-laki yang mencintai buku. Bukan itu saja, di Klub Baca aku pun mulai belajar menulis karya fiksi seperti cerpen dan puisi.
Perlahan aku mulai menemukan kepercayaan dalam diriku. Aku merasa beruntung bisa bertemu dengan Pak Hamka. Bagiku, ia bukan sekadar guru. Ia adalah seseorang yang dikirim oleh Tuhan untuk menyelamatkan hidupku. Sosok yang melengkapi sebuah lubang besar dalam hidupku. Ia pula sosok yang menginspirasiku sehingga saat ini aku pun mengikuti jejaknya menjadi seorang guru. Ya, seperti Pak Hamka, kini aku bekerja sebagai seorang guru Bahasa Indonesia. Pak Hamka, doaku selalu menyertaimu.
Alfatihah.
***
Ketika Pak Hamka berpulang pada Juni 2020, situasi di Jakarta begitu mencekam. Wabah Covid-19 tengah merebak pada puncaknya. Wabah itu pula yang menjadi jalan bagi Pak Hamka berpulang menuju rahmat Tuhan. Kini, meskipun Pak Hamka telah tiada, bagiku ia selalu hidup dalam jiwaku. Semua yang telah ia ajarkan akan selalu tertanam dalam diriku.
Pak Hamka, kau adalah guru terhebat dalam hidupku.
11-05-2025