Filosofi Warna – Cerpen Ela Mantina, S.Pd.

puisi guru

Filosofi Warna
Karya: Ela Mantina, S.Pd.


Panas terik mulai menjarah ruang kelas, wajah-wajah nampak mengumbar lelah dan jenuh. Haus lapar berteriak dari perut-perut yang sedari pagi tak diberi gizi. Suasana semakin kacau ketika ada yang menyenderkan kepala hingga tertidur di sudut ruang paling belakang, banyak dari mereka acuh dan memilih untuk duduk di teras kelas sambil menggibahkan sesuatu. Untunglah sedikit dari mereka masih sadar dan menjaga kewarasan, membuat seorang guru masih memiliki harapan untuk mengajar.

Hari ini adalah hari pertama Ainun mengajar di salah satu SMA yang berada di pinggiran kota setelah ia dipindah tugaskan karena lulus sebagai ASN, ia tampak gugup berjalan menuju kelas yang katanya banyak guru yang mengeluh mengajar di kelas tersebut. Tampak anak-anak yang tadi duduk di teras melihat kedatangan Ainun lantas berdiri dan masuk ke kelas. Dengan penuh semangat dan senyum menyimpul sempurna, ia mulai menyapa anak-anak di depan pintu.

“Selamat siang anak-anak,” ucapnya.

Salamnya tak terlalu digubris, namun ada beberapa yang menjawab. Ia mulai merasakan bahwa semangat belajar dalam kelas itu sangatlah rendah. Ia pelan-pelan menuju ke meja dan meletakan semua alat-alat mengajarnya. Dengan tenang ia mulai mendekati murid-muridnya hingga deretan meja paling belakang. Betapa terkejutnya ia melihat beberapa murid tertidur pulas di belakang, satu per satu dari mereka ia bangunkan dan dengan tegas meminta mereka untuk mencuci muka, lantas semuanya keluar dan pergi ke kamar mandi. Setelah itu ia melanjutkan pembelajaran di kelas, ia memulai memeperkenalkan dirinya dan mengabsen seluruh siswa sebagai tanda perkenalan.

“Anak-anak, perkenalkan nama bu guru Ainun Lestari. Kalian bisa panggil bu guru dengan sebutan Bu Ainun. Bu guru akan mengajar kalian mata pelajaran seni budaya. Salam kenal untuk semuanya, semoga ke depannya kita bisa saling mengenal dan menjalin hubungan dengan baik.”

“Salam kenal juga bu guru.” Beberapa siswa menjawab

Satu jam pelajaran berlalu, ia mulai gelisah dengan salah satu anak yang sejak tadi hilang dari pandangannya untuk pergi mencuci muka, sedangkan yang lain telah kembali. Ia ingat sekali bahwa yang keluar ada 6 orang, namun yang kembali hanya 5 orang. Sesekali ia memantau sepanjang lorong depan kelas sambil bertanya kepada murid yang lain. Dua jam pelajaran berlalu, tak ada tanda-tanda. Ia pun keluar kelas sambil memikirkan anak tersebut yang tak kunjung kembali.

Satu minggu kemudian, ia kembali mengajar di kelas tersebut. Ia tak lupa membawa media yang telah ia siapkan untuk pembelajaran. Seperti biasa ia mulai mengabsen satu per satu muridnya, hingga ia terhenti pada sebuah nama.

“Yoga Maulana,” ucap Ainun sambil memandang kursi kosong paling belakang

“Tidak masuk bu guru.” Jawab salah satu anak

“Ada yang tahu Yoga kenapa tidak masuk hari ini?”

Anak-anak itu hanya mengangkat bahu sambil menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan bahwa mereka tak tahu keberadaan Yoga. Hari ini Ainun tak menemukan kembali anak yang minggu lalu bolos dalam pejarannya, meskipun begitu ia tetap melanjutkan pembelajaran. Seperti biasa semua muridnya tak terlalu memperhatikannya. Ia masih mencoba sabar untuk menjelaskan tentang seni lukis. Semakin lama suasana kelas semakin gaduh, tak ada yang peduli dengan dasar seni rupa, tak ada yang tertarik dengan medianya, tak ada yang mau mendengarkannya. Sampai akhirnya ia menghentikan penjelasannya sambil melihat satu per satu wajah murid yang mulai protes karena lelah belajar dan mulai mengantuk karena cauaca yang semakin panas. Ia sedang menyimak kondisi kelas yang menurutnya memang tak akan menarik jika ia tak mengenal karakter anak muridnya.

Hingga dua jam berlalu, ia keluar dari kelas. Kegelisahannya memuncak, ia tak pernah menemukan kondisi sekolah dan kelas seperti ini, karena memang sebelumnya ia mengajar di sekolah unggul dengan siswa yang tak susah diatur. Sekarang ia harus menghadapi situasi yang sangat jauh dari pengalaman sebelumnya. Ia mulai ragu mampu bertahan di sekolah ini dalam waktu yang lama. Seolah tak ingin terbelenggu atas keraguan terhadap dirinya sendiri, ia mencoba untuk mencari informasi kepada guru-guru yang lain. Ia mendekati salah satu guru yang sedari tadi ia lihat sedang duduk dengan seorang siswa yang terlihat diintrogasi. Setelah siswa itu pergi, kini ia semakin mendekat dan menyapa guru tersebut.

“Pak mohon maaf mengganggu.” Sambi tersenyum Ainun menyapa

“Tidak apa Bu, saya juga kebetulan lagi istirahat, belum ada jam ngajar.” Jawab Pak Murdi

“Begini pak, maaf sebelumnya jika ini akan menyinggung Bapak sebagai guru senior di tempat ini, maaf atas kelancangan saya, tapi ada beberapa hal yang sangat ingin saya tanyakan.”

“Aaaaaaahhhhh Ibu jangan mengatakan saya guru senior, nanti terlihat tua.” Jawab Pak Murdi sambil tertawa kecil

“Pak, saya telah mengajar selama dua minggu di sekolah ini, tapi saya merasa bahwa setiap kali saya masuk ke kelas, semua anak-anak tak memiliki semangat belajar. Saya telah menyediakan media, tapi tetap saja tak terlalu menarik perhatian mereka. Apakah Bapak punya solusi, sepertinya memang saya yang kurang berpengalaman. Terlebih saya sebagai guru baru yang belum mengenal mereka. Satu lagi pak salah satu siswa atas nama Yoga Maulana hingga saat ini tak masuk sekolah setelah dua minggu lalu saya tegur karena tidur di kelas. Apakah tidak ada tindakan dari sekolah pak untuk mengatasi ini semua?” ucap Ainun

Pak Murdi menghela nafas, seolah keluhan Ainun terlalu sering ia dengar dari semua guru. Ia diam sejenak sambil melihat tumpukan kertas yang ada di atas mejanya. Ia menyodorkan tumpukan kertas itu kepada Ainun. Ia meminta Ainun untuk membaca kertas-kertas itu saat pulang nanti. Pak Murdi tidak bicara banyak, hanya ia menyarankan Ainun untuk membaca kertas-kertas itu untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya.

Senja mulai menggantukan diri pada malam, Ainun pulang ke kontrakannya setelah mencari makan di luar. Karena jarak rumah orang tuanya ke sekolah sangat jauh, ia memilih untuk tinggal di salah satu rumah yang ia sewa dengan jarak cukup dekat dari sekolah dan pastinya telah ada restu dari orang tuannya. Ia mempersiapkan seragam, tas dan perlengkapan untuk bekerja besok pagi. Saat mengambil tas, ia mengingat kertas-kertas yang diberikan oleh Pak Murdi. Ia mengelurkan tumpukan kertas itu dan membacanya satu per satu. Mata Ainun mulai berkaca-kaca setelah membaca beberapa kertas yang ternyata isinya adalah cerita dari semua murid yang ia sebut sebagai murid-murid yang tak menghargai guru. Ia terus mengambil kertas-kertas itu dan larut membacanya, hingga ia mengambil satu kertas dengan tulisan yang terlihat lebih seni dari kertas-kertas lain. Ia memulai membaca kertas itu, semakin sesak dadanya, semakin deras air matanya, ia merasa telah menjadi guru yang sangat jahat dan bodoh. Ia melihat identitas dari kertas itu, bertengger sebuah nama Yoga Maulana.

Pada minggu berikutnya, Ainun masuk ke kelas tersebut dengan sangat semangat, kini ia memahami betapa sulitnya anak-anak tersebut untuk belajar karena pengaruh linkungan dan memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Banyak dari mereka adalah anak dari keluarga menengah ke bawah, bahkan untuk makan serba berkecukupan. Tak jarang dari mereka selain bersekolah harus membantu orang tuanya untuk bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan cara memulung. Itulan yang dapat ia simpulkan dari semua kertas-kertas yang ia baca semalam. Dari sekian anak, Yoga adalah salah satu anak yang memiliki mimpi. Seharusnya sejak awal ia tahu bahwa anak-anak yang ia temukan ini adalah mutiara di balik karang yang sangat indah dan berharga, namun menahan sakit demi kebahagiaan orang-orang di sekitarnya. Sesampai di kelas, ia menatap satu per satu muridnya, ia memulai pembelajaran dengan menampilkan sebuah foto anak kecil yang tersenyum membawa sekarung botol-botol plastik bekas, dengan foto tersebut ia mulai menceritakan sebuah kisah seorang anak nelangsa yang berjuang mewujudkan mimpinya. Kelas sangat hening terpukau dengan foto yang menggantung pada layar proyektor depan kelas. Pertama kalinya Ainun melihat anak-anak tersebut duduk tenang dan menyimak semua yang ia katakan, seolah mereka sangat tertarik dengan apa yang diceritakan, karena cerita tersebut sangat dekat dengan kehidupan mereka. Kini keberadaan semua muridnya di kelas menjadi hal penting baginya khususnya Yoga. Kini ia tahu bahwa semua muridnya memendam semua mimpi yang sangat sulit untuk digapai karena kondisi, namun ia sangat yakin bahwa semua muridnya mampu mewujudkan semua mimpinya.

Sepulang sekolah ia mencari keberadaan Yoga yang tak pernah masuk sekolah selama 3 minggu. Ia bertanya keberadaan muridnya itu kepada teman-temannya dan Pak Murdi, sekaligus meminta izin kepada Pak Murdi selaku guru BK, karena keinginannya untuk mencari Yoga sangat gigih, maka Pak Murdi pun menyetujuinya. Setelah mendapatkan alamatnya, ia lantas pergi ke rumah Yoga dan tak lupa membawa bingkisan yang telah ia siapkan untuk Yoga. Hingga akhirnya ia melewati sebuah jembatan kecil yang di bawahnya terlihat sungai dengan air yang cukup keruh, dari kejauhan terlihat pula wajah penuh semangat dari anak-anak yang sedari tadi naik dan melompat dari bahu sungai bak Spiderman. Ia tersenyum melihat penampakan tersebut sambil melanjutkan perjalanan, kini ia telah memasuki wilayah dengan padat penduduk, ia harus berjalan kaki karena kendaraan tak bisa masuk melalui gang-gang yang sangat sempit. Hingga sampailah ia pada sebuah gubuk kecil, ia temukan dua anak kecil yang sedang membersihkan botol kaca di depan rumah yang terbuat dari bedek dengan pintu terbuat dari triplek yang terlihat usang, halaman rumahnya dipenuhi oleh tumpukan sampah plastik dan kardus-kardus bekas. Tak ada barang yang spesial, semuanya begitu sederhana, namun bagi mereka itu adalah surga. Ia mendekati dua bocah tersebut yang ternyata adalah adik-adiknya Yoga, Ia bertanya keberadaan Yoga, namun anak-anak tersebut langsung berlari dan masuk ke dalam rumah. Ainun yang kebingungan, masih berdiri di depan gubuk itu sambil melihat sekelilingnya. Tak lama kemudian salah satu anak tersebut keluar dan mempersilahkannya untuk masuk. Dalam gubuk itu terlihat wanita paruh baya sedang terbaring di atas sebuah kasur tipis dengan seisi rumah yang lumayan berantakan. Wanita itu berusaha bangun dibantu oleh kedua anak tadi, ia mempersilahkan Ainun duduk.

“Mohon maaf Ibu ini siapa, tadi anak-anak mengatakan Ibu mencari Yoga. Kalau boleh tahu ada ya Bu?” Tanya ibunya Yoga

“Perkenalkan Bu, saya Ainun, gurunya Yoga. Saya kesini berniat mencari Yoga, karena sudah 3 minggu Yoga Tidak masuk. Kalau boleh tahu Yoga dimana Bu?”

Dengan berkaca-kaca ibunya menjawab, “Maafkan saya Bu, karena kondisi saya seperti ini harus membuat Yoga ikut dengan pamannya pergi bekerja ke luar kota untuk jadi kuli bangunan dan meninggalkan sekolahnya. Setelah bapaknya meninggal dan saya sakit beberapa bulan ini, ia yang menggantikan saya untuk bekerja untuk membiayai hidup kami, terlebih lagi salah satu adiknya kini sudah masuk di sekolah dasar. Saya sudah tidak bisa berjalan semenjak ditabrak lari oleh salah satu mobil ugal-ugalan malam itu dan lucunya hingga saat ini mobil yang menabrak saya itu tak berhasil ditemukan oleh polisi. Malam itu saya hendak pulang sambil mendorong gerobak sampah, entah darimana datangnya sebuah mobil dengan kecepatan yang sangat kencang menabrak saya dari belakang, hingga mengakibatkan saya seperti ini saat ini. Keadaan saya semakin parah karena tak ditangani dengan baik dan berobat seadanya karena terkendala biaya. Ketahuilah Bu, tak ada niat saya untuk membiarkan Yoga bekerja banting tulang, ia masih sangat belia untuk mengorbankan waktu mudanya untuk bekerja keras, tapi saya pun tak bisa menyalahkan takdir. Ia adalah anak yang rajin dan baik, bahkan sebelum saya sakit ia selalu membantu saya untuk bekerja hingga malam, tapi Insyallah 10 hari lagi ia pulang Bu. Nanti saya sampaikan ke Yoga kalau Ibu telah berkunjung kesini,” ucap Ibunya sambil mengusap air mata

Ainun tak bisa berkata banyak, ia merasa datang di saat yang tak tepat. Kesedihan dan luka mendalam sangat nampak dari mata wanita paruh baya itu. Ia mendekati wanita itu dan memeluknya hendak mengucapkan simpati dan empatinya. Saat mereka tenggelam dalam kesedihan, tak sengaja pandangan Ainun mengarah pada sebuah lukisan yang unik dengan seni yang sangat tinggi menempel pada dinding bambu tersebut, ia terpukau dengan lukisan itu.

“Itu lukisan yang dibuat oleh Yoga. Ia bercita-cita menjadi arsitek. Alasannya ia sangat ingin membangun rumah yang bagus dan indah untuk kami, tapi nasibnya malah jadi kuli bangun sekarang,” ucap ibunya dengan lirih

Mendengar perkataan ibunya Yoga, Ainun lantas menegluarkan ponselnya dan meminta izin memotret gambar tersebut. Tak lama kemudian ia pun berpamitan untuk pulang.

Satu minggu berlalu, seperti biasa tiap sekolah akan melaksanakan upacara bendera. Nampak dari jauh Yoga berdiri di deretan ke tiga dari depan. Pada saat upacara berlangsung, namanya tiba-tiba dipanggil untuk maju ke depan. Betapa terkejutnya ia, karena ia tahu akan dihukum dan diberikan sanksi karena tak pernah sekolah, namun yang ia tak sangka adalah ia diberikan hukuman pada saat upacara dan dilihat oleh semua warga sekolah. Dengan ragu ia mulai berjalan ke tengah lapangan sambil menunduk, sesekali di dorong oleh temannya, bahkan ada yang meneriakinya. Kepala sekolah lantas berbicara setelah Yoga berdiri di tengah lapangan, ia menyampaikan bahwa ia sangat berterima kasih kepada Yoga telah membawa nama baik sekolah di luar sana dalam kompetisi melukis. Ia telah menjuarai sebuah perlombaan seni lukis tingkat Nasional. Mendengar hal tersebut, gemuruh tepuk tangan mulai terdengar, nampak wajah bangga dari semua guru yang dari tadi berjejer rapi. Yoga masih bingung dengan apa yang terjadi, matanya mencari ke barisan para guru. Ia tak melihat sosok yang ia cari, karena ia tahu pasti ada kaitannya semua ini dengan guru tersebut. Tiba-tiba Bu Ainun datang dari belakangnya dan membawa sebuah piala besar dan piagam dengan bingkai berwarna hitam untuk menyerahkan hadiah tersebut. Yoga tak bisa berkata apa-apa hanya bisa menatap wajah penuh senyum sejak tadi, ia menatap Bu Ainun seakan ingin bertanya apa sebenarnya yang terjadi.

Setelah upacara selesai, ia mencari Bu Ainun dan kebetulan pada saat itu kepala sekolah memanggilnya ke ruangan. Ia dan Bu Ainun menghadap ke kepala sekolah, sekali lagi kepala sekolah mengucapkan selamat dan terima kasih pada Yoga karena telah mengharumkan nama baik sekolah. Tak lama kemudian kepala sekolah mengeluarkan sebuah amplop berwarna cokelat, terlihat pada ampolp itu bertengger identitas dari pengirim yaitu dari salah satu universitas yang sangat ia familiar baginya. Kepala sekolah memintanya untuk membuka ampolp tersebut dan setelah membuka amplop, nampak tangannya gemetar, matanya mulai berkaca-kaca dan tangispun pecah. Ia bersujud syukur dan menggapai kaki Bu Ainun dan memeluk kaki tersebut sambil menunduk dan menangis. Bu Ainun yang sedari tadi juga ikut menangis memegang pundaknya dan menyuruhnya untuk bangun.

Lukisan yang menempel pada dinding bambu rumahnya kini membawanya pada mimpi yang selama ini ia inginkan. Bu Ainun memotret lukisan tersebut dan mengirimnya ke sebuah kompetisi tingkat Nasional dengan hadiah beasiswa. Mimpinya menjadi seorang arsitek akan dimulai. Ia masih belum menyangka Bu Ainun telah menjadi jembatan untuknya menggapai apa yang ia inginkan. Setelah keluar dari ruang kepala sekolah ia dan Bu Ainun duduk di ruang guru.

“Sekali lagi terima kasi bu guru, atas bantuan bu guru saya telah memiliki jembatan untuk mencapai mimpi saya. Hanya saja saya masih belum yakin dengan apa yang akan saya lakukan ke depan, mengingat saya harus membiayai ibu dan adik-adik saya,” ucap Yoga

“Kamu bisa bekerja paruh waktu jika kamu mau, bu guru sangat yakin kamu bisa. Kamu sudah terbiasa untuk bekerja keras, maka kali ini buktikan bahwa mampu melewati semuanya dengan baik. Kamu adalah anak yang sangat berkompeten, kamu akan memiliki peluang jika kamu mau belajar.” Bu Ainun meyakinkan Yoga

“Bu maaf jika hari pertama ibu mengajar saya bolos, karena saat itu saya sudah janji dengan Bos sampah untuk membawa barang-barang ke lokasi pengolahan. Jika tidak segera saya bawa, maka saya dan keluarga saya akan kelaparan. Selain itu uang itu saya gunakan untuk membelikan Ibu obat, karena sudah lama Ibu menahan sakit tak pernah minum obat.”

Bu Ainun tersenyum lebar sambil mengeluarkan sebuah tas kartun dengan corak batik dan memberikannya pada Yoga. Tas itu berisi sekotak pensil warna dan alat lukis lainnya. Bu Ainun membeli hadiah itu pada saat berkunjung ke rumahnya saat itu, namun karena Yoga tak ada, maka hadiah itu ia bawa kembali, karena ingin memebrikan secara langsung.

“Semoga apa yang bu guru berikan ini bermanfaat untuk kamu ke depan. Bu guru tahu kamu senang melukis atau menggambar ketika membaca kertas-kertas mimpi milik semua murid yang diberikan oleh Pak Murdi saat itu. Bu guru sangat berharap setelah ini, kamu bisa mendayungkan mimpi-mimpimu sehingga hidupmu lebih baik dan lebih berwarna seperti pensil-pensil warna yang ada di kotak itu. Jangan pernah patah semangat, meskipun berat pasti semuanya bisa terlewati dan jangan pernah bolos lagi atau tidur di kelas ya saat kulia nanti” Bu Ainun menyemangati Yoga

Mendengar hal itu Yoga mengangguk sambil tersenyum dan bersalaman ke Bu Ainun. Ia lalu pergi dan berpamitan ke Bu Ainun membawa tas batik tersebut. Bu Ainun sangat senang meihat salah satu muridnya mendapatkan peluang untuk mengejar mimpinya. Kini ia sadar bahwa kabahagiaan seorang guru sesungguhnya saat mengantarkan mrid-muridnya mencapai cita-citanya. Murid itu ibarat pensil warna yang memberikan berbagai macam perasaan dalam hidup seorang guru, begitu sebaliknya pensil warna itu tak akan berfungsi jika tak diasah dan ditajamkan oleh seorang guru.

Tagar:

Bagikan postingan

9 Responses

  1. Luar biasa bunda..
    “Filosofi Warna” ini mengajarkan tentang betapa pentingnya memahami dan peduli terhadap kondisi hidup anak-anak di sekitar kita. Cerita ini mengingatkan kita bahwa setiap individu memiliki latar belakang dan tantangan tersendiri. Melalui kepedulian dan pengertian, guru dapat menjadi jembatan untuk membantu mereka mencapai potensi terbaiknya. Ketekunan, semangat, dan keyakinan dalam meraih mimpi, bahkan di tengah kondisi sulit sekalipun menjadi point penting yang dapat saya tangkap dalam cerpen ini. 1x langi makasi bunda… keren👍👍

  2. Cerpen yang disampaikan luar biasa punya makna tersendiri untuk kita yang membaca, semoga semakin banyak karya yang diciptakan oleh bu Ela & menjadi inspirasi bagi kita semua

  3. Terimakasih sudah berbagi karya bu Guru. Luar biasa tema yg diambil sesuai dengan keadaan di lingkungan kerja kita.

  4. Menang selalu keren tulisan” Kak Nela dengan gaya bahasanya yg khas. Sukses dan selalu menginspirasi ya kakak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *