GENTA

Genta merupakan siswa kelas 11.F.10 yang cukup dikenal para guru, namun bukan karena prestasinya, melainkan karena kelakuannya yang kerap menimbulkan masalah. Setiap pagi ia datang ke sekolah dengan mata merah dan wajah yang tampak letih. Hal ini bukan disebabkan oleh penyakit, melainkan karena kebiasaannya begadang hingga larut malam bermain game dan menonton video melalui ponselnya.

Dampaknya, Genta hampir selalu datang terlambat ke sekolah. Ia memasuki kelas dengan langkah lesu, sering tanpa menyapa, dan langsung duduk tanpa meminta izin. Ia juga sering menjadi sumber kekacauan di kelas — mulai dari mengganggu teman yang sedang belajar, melemparkan kertas, hingga sengaja membuat suara-suara aneh ketika guru sedang mengajar.

Selama pelajaran berlangsung, Genta jarang memperhatikan. Ia lebih sering menunduk, asyik dengan gadgetnya secara diam-diam di bawah meja. Bila ditegur guru, ia hanya menanggapinya sekadarnya tanpa ada keinginan untuk berubah, bahkan terkadang membalas dengan sikap tidak sopan. Tidak jarang, saat pelajaran dimulai, ia memilih bersembunyi di toilet agar terhindar dari kegiatan belajar.

Waktu sholat pun sering diabaikannya. Saat siswa lain menuju mushola, Genta malah tetap duduk, enggan bergerak. Baru setelah diperingatkan atau diminta oleh guru, ia akan berangkat dengan malas, itu pun seringkali hanya untuk duduk tanpa benar-benar mengikuti ibadah.

Meskipun berbagai pihak, mulai dari guru hingga wali kelas, telah berulang kali menasihatinya, Genta masih belum menunjukkan perubahan. Bahkan dia sering sembunyi ditoilet lalu tidur, untuk tidak mengikuti sholat di masjid berjamaah.

Di kelas XI.F.10, Genta selalu tercatat dalam daftar kelompok Kegiatan P5. Setiap kali tugas kelompok dibagikan, ia buru-buru bergabung dengan teman-temannya. Namun, bukan untuk berdiskusi atau menyiapkan materi, melainkan hanya berkata, “Titip nama ya, aku bantu nanti-nanti.” Dan seperti biasanya, “nanti” itu tak pernah datang.

Saat giliran presentasi tiba, kelompoknya tampil di depan kelas dengan beragam perasaan—ada yang gugup, ada yang semangat. Namun, satu hal yang selalu sama: Genta duduk diam di bangku, tampak tidak terlibat dalam tim. “Maaf, Genta tidak bisa hadir didepan,” sering diucapkan oleh teman-temannya. Padahal, ia ada di kelas, hanya duduk dengan ponsel di tangannya.

Seiring waktu, teman-temannya mulai merasa tidak puas. “Genta, kita semua kerja keras. Masa kamu cuma nitip nama terus?” tanya Lita suatu hari. Genta hanya tersenyum, tanpa memberikan jawaban.

Suatu hari, guru P5, Bu Reni, memberi tugas individu—presentasi proyek pribadi. “Kali ini tidak ada kelompok. Semua harus tampil,” katanya tegas.

Genta panik. Ia terbiasa menyembunyikan diri di balik nama. Malam itu, untuk pertama kalinya, ia mulai membaca, menulis, dan berlatih berbicara di depan kaca. Presentasinya tidak sempurna—suara gemetar dan slide yang berantakan. Namun, Bu Reni tersenyum.

Disisi lain, sisuatu pagi yang cerah, Genta datang terlambat ke kelas. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.30, sementara pelajaran dimulai pada pukul 07.00. Dengan santai, ia memasuki ruang guru untuk meminta izin, dan di sana ia bertemu dengan Pak Ahmad, guru Bimbingan Konseling (BK).

Pak Ahmad, seorang guru yang tubuhnya kecil dan kurus serta penampilannya tidak mencolok, terkenal dengan kebijaksanaan dan kesabarannya dalam menghadapi permasalahan siswa. Namun, kedatangan Genta ke ruang guru kali ini berbeda dari biasanya.

Tanpa rasa bersalah, Genta langsung mendekati Pak Ahmad dan bukannya meminta maaf atas keterlambatannya, ia malah mulai membantah dengan suara keras.

“Kenapa saya harus datang tepat waktu? Bukankah saya bisa belajar sendiri? Mengapa saya harus selalu mengikuti aturan?” kata Genta dengan nada menantang.

Pak Ahmad, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai masalah murid, tetap berusaha tenang. Ia mengingatkan Genta bahwa keterlambatan dapat mengganggu proses belajar, dan bahwa setiap aturan dibuat demi kebaikan bersama.

Namun, Genta tidak menerima penjelasan itu. Ia malah menantang Pak Ahmad, “Jika Pak Ahmad merasa saya salah, kenapa tidak kita selesaikan dengan cara yang lebih jelas? Saya tantang Pak Ahmad untuk duel!”

Teman-teman Genta yang mendengar perkataannya terdiam, banyak yang merasa heran dengan keberanian Genta untuk menantang seorang guru. Mereka tahu bahwa Pak Ahmad bukan hanya lebih tua, tetapi juga lebih bijaksana. Genta yang merasa dirinya lebih muda dan lebih kuat merasa bisa mengalahkan Pak Ahmad dalam segala hal, termasuk fisik.

Meski tubuhnya kecil dan kurus, Pak Ahmad tidak terprovokasi oleh tantangan tersebut. Dengan senyum tenang, ia berkata, “Genta, duel bukanlah cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Tetapi jika kamu ingin bertanding, mari kita bertanding di arena yang lebih bermakna—yaitu belajar dan menjadi pribadi yang lebih baik.”

Singkat cerita, genta mulai sadar, lalu muncullah sisi baik Genta, pada suatu pagi hari “Selamat pagi, Bu Rini! Hari ini kita jualan apa aja?” sapa Genta dengan semangat sambil menggulung lengan bajunya.

“Pagi juga, Genta. Hari ini ada lontong sayur, aneka gorengan, dan teh manis. Tolong bantu bungkus gorengannya ya,” jawab Ibu Rini sambil tersenyum ramah.

Tanpa ragu, Genta langsung bekerja. Ia membungkus gorengan, menata minuman, dan saat waktu istirahat tiba, ia juga membantu menghitung uang kembalian sambil melayani pembeli yang memadati kantin. Teman-temannya sering melihat Genta dengan sigap bergerak ke sana kemari melayani pelanggan.

“Genta, kamu nggak capek?” tanya Dimas, salah satu teman sekelasnya.

“Capek sih, tapi aku senang bisa bantu Bu Rini. Aku juga jadi belajar banyak, seperti mengelola uang dan melayani orang,” jawab Genta sambil tersenyum.

Kerajinan dan ketulusan Genta tak luput dari perhatian para guru. Di akhir semester, kepala sekolah memberikan penghargaan kepadanya sebagai Siswa Teraneh namun memiliki Kepedulian Sosial.

Meski merasa senang dan bangga, Genta tetap bersikap rendah hati. “Saya hanya ingin menolong. Kata Ibu, memberi itu lebih mulia daripada menerima,” ucapnya saat menerima penghargaan.

Sejak saat itu, Genta menjadi teladan bagi banyak teman-temannya di sekolah — menunjukkan bahwa kebaikan, sekecil apa pun, sangatlah berarti.

 

Tagar:

Bagikan postingan

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *