Guru bagi Pemuda untuk Wujudkan Peradaban Gemilang
Karya: Nor Rahma Sukowati
The most pathetic person in the world is someone who has sight but has no vision – Hellen Keller
Kutipan Hellen, menjadi kutipan motivasi dalam mengawali perjuanganku menjadi seorang edukator.
Di era kecanggihan teknologi dan super modern sekarang, menjadi hal yang mudah seharusnya untuk melanjutkan perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam membangun peradaban melalui dunia pendidikan. Ekspektasiku di awal begitu.
“Selamat, anda telah diterima di lembaga kami. Semoga dengan bertambahnya jumlah sdm, dapat mewujudkan visi misi lembaga kami dalam mendidik generasi”. Pesan singkat dari Bu HRD tentu menjadi penyemangat diri. Aku sangat berambisi untuk segera bertemu dengan anak didikku yang akan kuajak berliterasi, membuat karya dan mewujudkan peradaban. Tugas pertama yang harus kulakukan., tentu membersamai mereka. “Ah, itu pasti mudah.”, pikirku begitu.
“Apa, kita harus membaca buku setiap hari? Kan capek Bu!”
“Kenapa sih Bu, kita tidak boleh curang? Kemarin dia curang juga.”
“Kenapa sih Bu, kita perlu berdiskusi? Aku bisa mengerjakannya sendiri.”
Begitulah ragam pertanyaan yang terlontar dari anak didikku. Seakan – akan hal tersebut harus selalu dipertanyakan setiap saat dan bukan sebuah aktivitas yang penting.
Apa mereka tidak pernah mendengar bahwa meningkatkan skill literasi itu penting? Apa mereka tak pernah melihat bagaimana dampak hidup yang curang? Apa mereka tak pernah merasa, bahwa manusia adalah makhluk individu dan sosial? Inilah ragam bantahanku yang kusampaikan pada mereka. Sampai akhirnya hal ini menjadi bumerang bagiku. Secara tidak sadar, aku menjadi orang yang eksklusif di hadapan mereka. Aku jauh dari anak didikku.
“Ah, Bu guru ini tidak seru. Kaku sekali!” Pernyataan ini menjadi kalimat pamungkas yang membuatku tak seperti guru teladan mereka. Kondisi yang tercipta saat belajar mengajar, hanya bagaikan formalitas belaka. Langkah yang kupikir mudah, sekarang menjadi hal yang susah. Apa menjadi guru bukan jalanku? Segera kutepis pikiran seperti ini. “Wajar awalan susah, hanya perlu kencangkan adaptasi saja”, kataku sebagai motivasi diri.
Kemudahan ini nyatanya memang sangat susah diraih. Mungkin benar adanya pepatah bahwa semakin “bertambahnya kecanggihan maka bertambah pula suatu ujian”. Belum selesai fenomena jauhnya diriku dari anak didikku, masalahku semakin bertambah.
“Bu, bagaimana ya dengan keadaan Fulanah? Apa sudah tidak coba – coba bunuh diri lagi?”,“Bu, bagaimana dengan keadaan si Fulan? Apakah masih kecanduan menonton video menyimpang?
Pertanyaan seperti ini nyatanya bukanlah hal yang langka. Ada banyak ragam pertanyaan serupa yang cukup menyayat hati. Sebagai edukator yang baru menapakkan kaki, tentu saja hal ini sungguh sangat di luar ekspektasi. Aku merasa, kepercayaan diriku semakin merosot. Apa aku benar – benar bisa menjadi seorang guru yang berbobot?
Setelah berfikir panjang dan berdikusi bersama rekan, memang bukan hanya satu atau dua lembaga saja yang sedang tibak baik – baik saja. Hampir sebagian besar dunia pendidikan hari ini kian meradang. “Kalau aku mundur, lantas siapa yang akan memperjuangkan dunia pendidikan hari ini? Dibiarkan begitu saja? jelas hancur lah!”, kataku dalam hati.
“Satu dari sekian permasalahan pendidikan hari ini ya karena banyaknya oknum yang hanya menjadikan pendidikan sebagai upaya untuk mencari uang saja. Bukan dengan ikhlas memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lihat saja, video yang bebas berseliweran hari ini banyak yang tidak pantas, bahkan menjadikan degradasi moral semakin meningkat. Belum lagi adab dalam keilmuan yang sudah banyak ditanggalkan. Belajar pun juga hanya untuk meningkatkan akademik semata. Maka, kelak nanti kalian menjadi guru, jangan menjadi bagian dari oknum ini. Jadilah barisan oposisi,” begitulah salah satu kutipan dari dosen yang masih kuingat sampai hari ini.
Percaya atau tidak, memang ketidakidealan dunia pendidikan hari ini, tentu tak luput dari hegemoni para pencari keuntungan alias kapitalis-materialistik. Ya, para kapitalis yang menyusup dalam dunia pendidikan dan bertujuan menjadikannya sebagai komoditas belaka. Dimana sebagian oknum getol mendongkrak nilai semata bahkan manipulasi data tanpa berfikir bagaimana kemajuan dari perkembangan karakter setiap anak didiknya. Berkompetisi menunjukkan citra sekolah yang baik dan anti dari aktivitas yang bertentangan, namun lupa bahwa ada seluruh anak didik yang perlu difilosofikan bagaimana menjadi pribadi yang berkarakter menjaga kebenaran.
Kalaulah banyak anak didik yang terjebak dalam hegemoni tersebut, tentu hal ini sangat bertentangan dengan cita – cita bangsa untuk pendidikan. Padahal, sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD’45, salah satu pilar tujuan utama yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal ini tentu bermakna bahwa kecerdasan bukanlah sekedar dari intelektualitas namun perlu disinergikan dengan spiritualitas sehingga terwujudlah karakter mulia dalam diri.
Namun hari ini, yang terjadi sebaliknya. Banyak fenomena kehancuran anak didik yang menyayat hati. Baik dari pergaulan bebas, narkoba, tawuran, bullying bahkan hilangnya sopan santun cukup menjadi bukti, bahwa generasi peradaban hari ini sedang tidak baik – baik saja. Kalau nyatanya output pendidikan berlanjut seperti ini, lantas bagaimana di masa depan mereka mengendalikan negeri? Cukup ngeri sekali!
Maka dari itu, menjadi guru dari dari era terdahulu sampai sekarang tugas utamanya tetap sama dan tak kan pernah berubah. Yakni bertujuan untuk membangun peradaban melalui dunia pendidikan.
Tugas ini tentu tidaklah mudah, bukan hanya diri sendiri atau teman satu lembaga saja, namun perlu bersinergi dengan seluruh guru yang mengabdi pada bangsa. Menjadi sosok teladan dan dicintai oleh segenap anak didik yang ada. Mau tidak mau, diri harus mampu memahami situasi dan kondisi hari ini, agar dapat menciptakan kedekatan dan kehangatan bersama para generasi. Menjadi sosok pemuda agen perubahan sekaligus guru peradaban.
Walaupun banyak tantangan dan ujian, mewujudkan peradaban mulia bukanlah hal yang mustahil. Keberhasilan bukan dilihat dari seberapa cepat tujuan itu didapatkan, namun seberapa konsisten diri menempa perjuangan.
Setiap harinya, kucoba diriku untuk selalu termotivasi dan optimis bahwa aku adalah kelompok barisan oposisi yang siap melawan ketidakadilan dalam dunia pendidikan. Mulai dari hal yang terkecil yakni dengan memasuki dunia mereka tanpa ikut terarus didalamnya.
“Ibu juga suka eksplorasi tentang Korea. Tapi ingat, ada beberapa hal yang perlu kita batasi dan teladani. Tidak semua perilaku yang kita idolakan, bisa kita tiru. Memakai baju minim, tentu bukan sebuah pakaian yang menunjukkan jati diri bangsa bukan? Utamanya hal itu juga bertentangan dengan peran kita sebagai seorang hamba terlepas apapun kepercayaan kita. Nah, pasti kita akan dimintai pertanggungjawaban. Makanya, yuk belajar untuk bisa menyaring segala informasi yang kita peroleh. Tentu penyaringnya harus jelas. Yakni dengan mensinergikan logika serta keimanan dalam diri,” kataku pada anak didik agar mereka bisa memahami bahwa setiap perbuatan ada konsekuensinya.
“Bu, fulanah alhamdulillah sudah berhasil menerima kenyataan hidup, sekarang ceria seperti sedia kala.” atau “Bu, alhamdulillah fulan sudah berhasil produktif dan banyak membuat karya.” Dua pernyataan diatas menjadi pewarna kebahagiaanku hari ini sebagai buah dari konsistensi. Kesusahan yang dulu kurasakan sebagai guru, nyatanya sebab aku merasa bahwa mereka adalah manusia yang sama pemikirannnya. Sehingga kalau aku berkata “A” maka mereka juga harus mengikutinya. Kalau aku merasa itu salah, maka mereka harus menyetujuinya. Padahal, para anak didikku tercinta adalah kumpulan manusia dengan beragam pemikiran dan latar belakang yang berbeda. Dimana setiap pemikiran dan latar belakang tersebut akan mempengaruhi tingkah laku dan aktivitas mereka sehari – hari. Maka dari itu, butuh antara guru dan anak didik untuk bisa menyelaraskan satu pemikiran dan satu konsep kehidupan. Sehingga apapun jalan keluar yang dijadikan solusi, muaranya tetap sama.
Yakni menggunakan satu konsep pemikiran yang benar dan tidak menyimpang dari keimanan.
Sekarang aku memahami, bahwa tugasku di sekolah bukan sekedar mentransfer informasi dan menyelesaikan administrasi. Tapi lebih dari itu, membimbing serta membersamai mereka dalam menyerap ilmu pengetahuan dan meningkatkan karakter kebaikan untuk diterapkan dalam kehidupan.
Kebahagiaan sebagai seorang guru, akan semakin bertambah bila melihat para anak didik dapat menyelesaikan masalah. Meski itu hal yang sangat sederhana di mata orang dewasa. Terus menjadi guru peradaban tanpa terbebani administrasi adalah kunci, untuk mewujudkan sosok yang mawas diri. Awalan memang susah, namun siapa yang bisa menyangka ternyata menjadi guru peradaban bisa meningkatkan semangat bahagia?