Harga Sebuah Pengabdian

Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar bangun, Pak Rahman sudah berdiri di depan rumahnya. Sepatu lusuhnya dilapisi debu jalanan dan tas selempang berisi kapur serta lembaran soal tergantung di bahu kirinya. Dari rumah sederhana di pinggir desa, ia menempuh jarak lima kilometer berjalan kaki menuju SD Negeri 3 Karangsari, sekolah tempatnya mengajar sejak delapan tahun lalu sebagai guru honorer.

“Bapak, bawa bekalnya,” kata Siti, istrinya, menyerahkan bungkus daun pisang berisi nasi jagung dan tempe goreng.

“Terima kasih, Bu,” jawab Pak Rahman dengan senyum yang tetap hangat meski hatinya lelah oleh kehidupan.

Gajinya hanya 400 ribu rupiah sebulan. Bahkan saat hujan deras atau terik menyengat, langkahnya tak pernah surut. Baginya, mendidik adalah panggilan hati, bukan urusan uang. Namun, pengabdian tak selalu dihargai. Di ruang guru, Pak Rahman kerap merasa asing. Beberapa rekan kerjanya yang sudah berstatus ASN P3K bersikap dingin padanya.

“Pak Rahman, nanti jangan ambil jam tambahan, ya. Itu jatahnya guru tetap,” kata Bu Lilis suatu pagi dengan nada sinis, sembari menyeruput kopi.

“Saya hanya menggantikan Pak Tono yang sakit. Tak ada niat mengambil bagian siapa pun,” jawab Pak Rahman tenang.

Meskipun nadanya selalu rendah, hatinya sesak. Ia bukan tidak ingin dihargai, tapi ia justru tahu posisinya. Guru honorer, dengan gaji 400 ribu rupiah sebulan, seolah bukan bagian dari sistem. Dalam rapat-rapat penting, pendapatnya tak pernah diminta. Bahkan ketika mengusulkan program perpustakaan keliling, ide itu seolah ditolak mentah-mentah.

“Pak Rahman, kita perlu program yang realistis. Jangan terlalu mimpi,” ucap Pak Sumarno, kepala sekolah, saat rapat bulan lalu.

Yang lebih menyakitkan datang dari sebagian murid. Beberapa menganggapnya guru “cadangan”. Mereka ribut saat ia mengajar, atau terang-terangan berkata,

“Ah, Pak Rahman kan hanya guru honorer. Tidak bisa marah juga.”

Pernah suatu hari, saat sedang menulis di papan tulis, ia mendengar suara cekikikan dari belakang kelas.

“Lihat tuh sepatunya sobek, pantas saja digaji murah,” bisik seorang murid laki-laki sembari tertawa dengan temannya.

Pak Rahman diam. Ia tak membalas dengan amarah. Ia hanya menoleh perlahan dan berkata,

“Nak, suatu saat kalian akan tahu bahwa menghargai orang lain jauh lebih penting daripada menilai dari penampilan.”

Malam-malamnya pun sepi dan penuh kekhawatiran. Ia dan istrinya terpaksa berhemat, menunda membayar iuran listrik, bahkan sempat berpikir untuk berhenti mengajar.

“Pak, kalau memang tidak kuat, Bapak bisa coba pekerjaan lain. Kita bisa jualan kecil-kecilan,” ujar Siti suatu malam.

“Tapi Bu, siapa yang akan mengajar anak-anak itu kalau semua guru menyerah?” jawab Pak Rahman pelan.

“Kalau saya menyerah, siapa yang akan bertahan untuk mereka?”

Suatu hari, SD Negeri 3 Karangsari mengadakan lomba cerdas cermat tingkat kabupaten. Pak Rahman diam-diam melatih tiga siswa kelas enam yang sering dianggap kurang berprestasi. Siswa tersebu, yaitu Rudi, Siska, dan Iqbal. Ia meluangkan waktu sepulang sekolah, mengajari mereka soal demi soal, tanpa pamrih.

“Kalian itu punya potensi. Kalian hanya butuh waktu dan bimbingan,” katanya saat mengajari mereka di ruang perpustakaan.

“Tapi, Pak, saya sering diejek teman karena bodoh,” kata Rudi pelan.

“Bodoh bukan karena tak bisa, tapi karena belum mencoba sebaik mungkin,” jawab Pak Rahman sembari tersenyum.

Minggu lomba pun tiba. Tak disangka, tim dari SD Negeri 3 Karangsari berhasil masuk final dan bahkan keluar sebagai juara dua. Semua mata terbelalak. Kepala sekolah sampai terdiam ketika nama sekolah mereka disebut.

“Siapa pembimbing anak-anak ini?” Tanya juri.

Rudi menjawab lantang,

“Pak Rahman, Pak!”

Sorak tepuk tangan pun memenuhi ruangan. Untuk pertama kalinya, Pak Rahman merasa diakui bukan karena status, tapi karena kerja keras dan hasil nyata.

Setelah perlombaan cerdas cermat di tingkat kabupaten, perubahan mulai terasa. Saat nama SD Negeri 3 Karangsari diumumkan sebagai juara dua dan disebut bahwa pembimbingnya adalah Pak Rahman, ruangan auditorium itu hening sejenak, lalu bergemuruh. Pak Sumarno yang awalnya ragu, kini berdiri dan menyalami Pak Rahman di depan banyak orang.

“Saya minta maaf, Pak Rahman. Saya tidak pernah menyangka hasil didikan Bapak akan sejauh ini,” ucapnya dengan mata yang sedikit berkaca.

“Tidak apa-apa, Pak. Saya hanya melakukan yang saya bisa,” jawab Pak Rahman singkat, tetap dengan senyum sederhana.

Sejak hari itu, guru-guru lain mulai berubah. Bu Lilis yang dulu sering bersikap sinis, kini mulai bersikap ramah.

“Pak Rahman, kalau punya ide untuk kegiatan siswa, silakan disampaikan. Saya ingin bantu,” katanya suatu pagi.

Di kelas, anak-anak juga mulai menghormatinya. Rudi dan teman-temannya yang dulu pendiam kini lebih percaya diri. Mereka bahkan pernah membuat surat kecil yang diselipkan di meja Pak Rahman.

“Terima kasih, Pak. Karena Bapak, saya percaya saya bisa.” Rudi, Siska, dan Iqbal.

Pak Rahman membacanya malam itu dengan mata berkaca. Surat itu dilipat rapi dan disimpan dalam Al-Qur’an di lemari kayunya. Tidak pernah ia bayangkan bahwa pengakuan bisa datang dari hati anak-anak, yang dulu pun sempat meremehkannya.

Ia mulai dipercaya membimbing kegiatan tambahan. Bahkan diminta mengisi pelatihan guru untuk wilayah kecamatan. Nama dan prestasinya sampai ke Dinas Pendidikan. Lalu, sebuah surat berkop resmi datang. Pak Rahman resmi diangkat sebagai guru ASN P3K, berdasarkan pengabdian, prestasi, dan rekomendasi sekolah.

Namun yang lebih membahagiakan bukanlah status atau gaji yang naik, melainkan perubahan cara pandang orang-orang di sekitarnya. Bahwa seorang guru honorer bukan sekedar pengisi kekosongan, melainkan penentu masa depan.

Beberapa bulan kemudian, sebuah surat dari Dinas Pendidikan datang. Pak Rahman resmi diangkat sebagai guru ASN P3K. bukan karena belas kasihan, melainkan karena rekomendasi langsung dari kepala sekolah dan pengakuan atas prestasinya.

Malam itu, Pak Rahman duduk di beranda rumah, memandangi langit penuh bintang. Siti menyuguhkan teh hangat dan mereka berbincang pelan.

“Lelahmu selama ini rak sia-sia, Pak,” kata Siti lembut.

Pak Rahman mengangguk.

“Pengakuan itu bukan dari status, Bu, tapi dari hati anak-anak yang kita sentuh.”

Esok harinya, langkah Pak Rahman tetap menyusuri jalan lima kilometer yang sama. Bedanya, kini ia melangkah dengan kepala lebih tegak, namun hati tetap rendah.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *