Home Visit – Cerpen Iit Purnama Asri

puisi guru

Home Visit
Karya: Iit Purnama Asri


Kutunggu perempuan berkerudung merah muda keluar dari bilik. Tangan kananku memegang kunci motor, saat dia berjalan menuju tempat parkir.

“Ayo,” kataku sambil menaiki motor.

Kupacu sepeda bermesin itu keluar dari gerbang sekolah dengan menjaga keseimbangan. Karena temanku berbadan tambun, aku jadi meleyot saat memboncengnya.

Kami berencana untuk mengunjungi siswaku yang sudah hampir satu minggu tidak bersekolah. Tanpa keterangan apapun yang menyertainya. Sebagai wali kelas 9, aku ingin memastikan bahwa muridku ini melanjutkan studinya sampai dia lulus SMP. Bersama dengan guru BK, aku berangkat menuju rumahnya.

Seperti kebanyakan muridku yang lain, aku menyangka muridku yang sering tidak masuk sekolah ini adalah anak kurang mampu. Rata-rata murid yang bersekolah di SMP kami memang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Tingkat ekonomi orang tua mereka kebanyakan dari keluarga miskin. Banyak murid di sekolah kami yang mendapatkan PIP.

“Belok kiri, Bu,” kata Bu Ira, guru BK, menghancurkan lamunanku.

Aku menyalakan sein motor ke kiri sebelum berbelok. Mataku terbalalak melihat rumah-rumah megah di sepanjang jalan masuk perumahan.

“Rumahnya perumahan, Bu?”

“Eh, nggak, belok kanan.” Bu Ira menyanggah.

Ada gang sempit di sebelah kanan pintu masuk perumahan. Gang itu kira-kira hanya cukup dilewati satu motor. Saat motorku berpapasan dengan motor lain yang akan keluar gang, kuundurkan motorku. Kupersilahkan pemotor lain keluar lebih dahulu.

“Bu Ira, rumahnya mana?” Kepalaku melongok kanan kiri.

Di dalam gang masuk kampung terdapat rumah-rumah petak berjejer. Rumahnya kecil, hanya muat untuk satu kamar saja. Sesekali kakiku dikabruk ayam karena hampir menabrak mereka. Jalan gang ini lebih sempit daripada gang-gang rumah muridku yang lain.

“Itu, Bu.”

Telunjuk Bu Ira terangkat di rumah depan sebelah kanan. Aku mengerem motorku lalu mendorong standar. Aku melepas helm, begitu pula dengan Bu Ira. Memandang bagian depan rumahnya membuat hatiku teriris. Kayu plafon rumah muridku itu hampir ambruk. Kayunya ada yang mencuat keluar dan cat putihnya memudar.

“Ya Allah, kok begini kondisi rumahnya, ya, Bu Ira?” kataku sedih.

“Iya, Bu, anak ini termasuk penerima PIP karena tidak mampu.”

Aku berjalan menuju pintu depan rumahnya. Kuketuk pintu rumahnya sambil mengucap salam, namun tidak ada yang menjawab. Kuketuk sekali lagi, lalu seorang wanita berumur 40-an dengan memakai daster dan rambut terikat membuka pintu.

Setelah kujelaskan maksud kedatangan kami, perempuan itu pun menyilahkan kami masuk.

Perempuan berumur 40-an, memakai daster, dan berambut terikat itu adalah bibi muridku. Muridku tidak memiliki ayah, sehingga ibunya bekerja sebagai pengelem sandal di home industry berjarak sekitar 6 km dari rumahnya.

“Sebentar Ibu, saya panggilkan Ridho dahulu. Setiap sore Ridho mengamen untuk membantu ibunya. Pulangnya selalu malam-malam,” kata bibi Ridho, seraya masuk ke lorong yang tertutup kelambu.

Ketika menunggu Ridho datang, kedua mataku menjamah di ruang tamu berukuran 3 meter x 3 meter yang dibangun rendah. Pintu kayunya reyot dan termakan rayap. Di sebelah kanan pintu ruang tamu terdapat kaca jendela yang tidak utuh. Empat bilah kaca jendelanya tidak terpasang. Pintu tidak terpasang kunci, hanya gerendel yang menyertai.

Kuangkat tubuhku saat sofa yang kududuki semakin tenggelam akibat tidak terpasang per. Bu Ira menyentuh pahaku, sambil bergumam, “Kasihan, Bu, rumahnya mau roboh.”

Aku mengangguk setuju. Tidak lama kemudian, Ridho keluar dari lorong berkelambu dengan menggunakan kaos oblong warna putih dan celana pendek cokelat. Rambutnya acak-acakkan dan matanya masih merah. Terlihat sekali Ridho baru bangun tidur.

Ridho mencium tanganku lalu mencium tangan Bu Ira. Dia duduk di depanku sambil menundukkan kepala. Entah karena malu atau apa, Ridho tidak berani melihat kami.

“Ridho, maksud kedatangan Bu Asri dan Bu Ira ke rumahmu untuk mengetahui alasanmu sering tidak masuk sekolah tanpa keterangan,” kataku menatap Ridho lekat. “Kamu sudah tidak masuk 6 hari dari Senin sampai Sabtu. Senin ini juga kamu tidak masuk. Kamu tidak memberikan surat. Kamu tahu, kan, kalau sudah kelas 9, seharusnya masuk terus.”

Ridho memainkan tangannya. Dia terlihat berpikir dan serba salah. Bu Ira menyerahkan daftar kehadiran kepada Ridho.

“Ini daftar kehadiranmu selama satu minggu. Kamu tidak hadir sama sekali.” Diserahkannya daftar absensi itu pada Ridho. Kemudian, Ridho menyambut. Diperiksanya daftar absensi di tangannya. “Kamu ingin lulus atau tidak?”

Bibi Ridho menggigit bibir. Gurat di sudut matanya terlihat jika dia mengkhawatirkan Ridho. Dia tidak ingin Ridho dikeluarkan dari sekolah.

“Maaf, Bu Asri dan Bu Ira,” kata Ridho, serak. Tanpa memandang ke arah kami. “Saya masih ingin sekolah, Bu, tapi saya sering bangun siang. Setiap sore saya mengamen, lalu malamnya baru pulang. Jadi, saya sering tidur larut malam.”

Hatiku teriris. Ada kesal di dalam hatiku saat mengetahui salah satu muridku bekerja keras untuk membantu kebutuhan keluarganya. Muridku, Ridho, yang sering bolos sekolah ini ternyata memiliki beban hidup di pundaknya. Di usia 15 tahun, dia harus mengamen untuk mendapatkan uang

“Ridho, Ibu tahu kamu memiliki niat baik. Namun, sekolah tetap sekolah, Nak. Kamu harus ke sekolah untuk memperoleh ilmu dan bergaul dengan teman-temanmu. Kamu harus semangat. Tidak masalah jika kamu membantu ibumu. Tapi, kamu tetap sekolah. Ingat Ridho, sekolah tidak menjadikanmu kaya, tapi sekolah membantumu meraih cita-cita. Kamu bisa membantu orang tuamu dengan prestasimu. Paham, Ridho?”

Ridho mengangguk, masih dengan kepala tertunduk. “Iya, Bu Asri, maafkan saya.”

Aku meneguk ludah. Bu Ira ganti berbicara.

“Ridho, mulai besok, Bu Ira dan Bu Asri ingin melihatmu sekolah lagi. Ibu tidak ingin kamu bolos sekolah. Apakah Ridho sanggup?”

“Ayo, Ridho, tinggal sedikit lagi kamu lulus SMP,” timpalku.

Ridho beranjak dari tempat duduknya kemudian mencium tanganku.

“Maafkan saya, Bu Asri.”

Kuelus rambutnya. Aku tidak ingin apa-apa selain Ridho bisa sekolah kembali. Ridho memang murid yang sering bolos ke sekolah, tapi dia bukan murid yang nakal. Selama di sekolah, Ridho selalu sopan dan santun kepada guru. Dia sangat tawadhu’ kepada guru. Hanya saja keadaan memaksa Ridho untuk membantu ibunya mencari nafkah, sehingga dia sering bangun kesiangan.

Ridho menghampiri Bu Ira, kemudian mencium tangannya. Tak lupa, Ridho meminta maaf kepada Bu Ira atas perilakunya.

Sebelum pulang, kami berpamitan kepada Bibi Ridho. Bibi Ridho meminta maaf atas sikap ponakannya yang sering bolos sekolah. Kami meminta bantuan Bibi Ridho agar memantau perkembangan Ridho setiap harinya saat ibu Ridho bekerja

Aku dan Bu Ira kembali ke sekolah. Kami tidak bisa lama-lama home visit karena harus mengajar di sekolah. Sekilas kulihat Bu Ira melalui spion.

“Bu Ira… setiap kali berkunjung ke rumah anak-anak untuk home visit, aku selalu bersyukur kepada Allah. Ternyata banyak wali murid yang keadaannya memprihatinkan. Seringkali aku malu karena banyak mengeluh. Profesi guru ini membuatku tahu keadaan sekitar. Banyak dari mereka yang perlu dibantu.

“Iya, Bu Asri, murid-murid kita memang kebanyakan hidupnya menengah ke bawah. Kita memang harus bersyukur.”

“Benar, Bu Ira. Benar sekali,” kataku sendu.

*

Keesokan harinya, Ridho menepati janji. Dia masuk sekolah. Baju seragamnya kucel, seperti yang dipakai sehari-hari di sekolah.

“Bagaimana kabarmu, Ridho?” tanyaku pada Ridho saat kupanggil ke kantor.
“Baik, Bu,” katanya malu-malu.

“Sekolah terus, ya.”

“Baik, Ibu.” Ridho mencium tanganku.

Malamnya, aku berkunjung ke rumah Ridho dengan suamiku. Aku membawa sembako untuk mereka. Ridho sedang keluar mengamen. Hanya ibu Ridho yang ada di rumah. Aku meminta bantuan ibu Ridho agar anaknya tidak mengamen sampai larut malam karena Ridho masih di bawah umur. Aku khawatir ada yang berniat jahat pada Ridho.

Setelah kusampaikan harapanku untuk ibu Ridho, aku berpamitan. Di perjalanan aku berpikir. Sebagai wali kelas, aku hanya bisa melakukan pendampingan untuk muridku. Sebagai manusia, tentu aku memiliki kekurangan. Namun, aku ingin melakukan yang terbaik. Harapanku adalah ibu Ridho bisa menepati janjinya agar Ridho tidak pulang larut malam saat mengamen dan bisa sekolah setiap hari.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *