“Kita apa, sih? Teman, tapi kok lebih dari teman? Pacar, tapi kok nggak pernah bilang jadian?”
Begitulah kalimat yang mungkin sering terdengar dari seseorang yang sedang terjebak dalam hubungan HTS (Hubungan Tanpa Status). Fenomena ini seolah menjadi bagian dari dinamika kehidupan anak muda masa kini, yang lebih memilih “mengalir saja” dibanding memberi kepastian.
Budaya digital dan komunikasi daring ikut memperkuat istilah HTS. Percakapan lewat pesan singkat, panggilan video, atau emoji hati yang dikirim tiap malam menumbuhkan rasa memiliki tanpa ada kata “resmi”. Tak jarang, hubungan ini berjalan lama, bahkan terasa seperti hubungan pasangan sungguhan hanya tanpa pengakuan.
Dalam kajian linguistik, HTS termasuk bentuk akronim, yaitu gabungan huruf awal dari beberapa kata: Hubungan Tanpa Status. Bentuk akronim seperti ini banyak muncul seiring berkembangnya budaya populer. Contoh lainnya: PHP (Pemberi Harapan Palsu), BAPER (Bawa Perasaan), dan GALAU (Gelisah Tak Menentu). Akronim-akronim tersebut menjadi cermin cara berpikir dan berkomunikasi masyarakat era digital tugcepat, ringkas, dan penuh makna.
Menariknya, fenomena HTS tidak sekadar persoalan cinta. Ia menggambarkan perubahan nilai sosial dalam berinteraksi. Dulu, hubungan diikat oleh norma dan status yang jelas. Kini, generasi muda lebih longgar dalam mendefinisikan relasi. Ungkapan “yang penting nyaman” sering dijadikan alasan untuk menghindari komitmen.
Namun, di balik kata yang tampak sederhana, HTS menyimpan dilema emosional. Banyak yang berakhir dengan rasa kecewa karena harapan yang tak sejalan. Di sinilah bahasa berperan: akronim seperti HTS menjadi simbol ironi antara kedekatan dan ketidakpastian.
Bahasa selalu bergerak bersama budaya. Selama masyarakat masih berinteraksi dengan cara yang cair dan fleksibel, istilah seperti HTS akan terus hidup, menyesuaikan zaman. Mungkin nanti akan muncul istilah baru yang lebih “kekinian”, tapi maknanya tetap sama: hubungan yang tak kunjung punya kepastian.







