Jejak Cinta di Lereng Pinus
Isma Nuryani, S.Pd.
Pagi itu, hawa dingin masih menusuk hingga ke tulang. Kabut tebal menggantung rendah menyelimuti dusun Damai, seolah enggan beranjak meski waktu telah menunjuk pukul 06.30. Sisa hujan semalam membuat suasana semakin menggigil, dan matahari pun belum jua memperlihatkan sinarnya. Di antara heningnya hutan pinus yang memayungi jalan setapak, tampak seorang wanita sedang menuntun sepeda motornya. Keringat membasahi wajahnya, sementara sandal jepit yang dipakai sudah belepotan lumpur. Baju batik yang dikenakan dengan name tag “Widiastuti, S.Pd.” tampak basah kuyup, seperti habis disiram air. Sesekali ia berhenti, mengusap kening dan menarik napas panjang sebelum kembali berjalan menapaki jalan sepi yang terjal dan berlumpur.
“Bu Guru!” sapa dua pemuda yang melintas sambil berboncengan membawa cangkul.
“Oh iya, Mang…” jawab Bu Widi dengan senyum ramah.
“Mogok ya, Bu?” tanya salah satu dari mereka yang mengemudi motor.
“Enggak, Mang. Tadi di bawah agak licin, hampir kepleset. Jadi saya tuntun saja motornya,” jelas Bu Widi sambil menunjuk jalan curam yang baru saja ia lewati.
“Iya Bu, di situ memang licin. Di atas ada longsoran kecil. Kami juga mau ke atas bantu bersihkan,” ujar pemuda berbaju kuning yang duduk di belakang.
“Wah, saya bisa lewat nggak nanti, Mang?” tanya Bu Widi, khawatir.
“Nanti kami bantu, Bu. Mending ikut kami saja. Motornya nanti saya bawa.” Ujar pengemudi motor.
“Terimakasih, Mang” Jawab Bu Widi menyerahakan kunci motornya, dan bersiap membonceng pemuda baju kuning.
Bu Widi pun melanjutkan perjalanan bersama mereka. Pemuda Dusun Damai sudah terbiasa dengan jalan terjal, berliku dan berlumpur. Sehingga Bu Widi pun percaya dengan dua pemuda tersebut. Warga Dusun Damai terkenal sangat ramah, selama sepuluh tahun Bu Widi mengabdi sebagai guru, selalu mendapat perlakuan spesial dan sangat dihormati oleh warga sekitar. Jalanan masih digenangi aliran lumpur, batu-batu berserakan, dan medan terus menanjak berkelok.
Sesuai kabar, di atas tanjakan, jalanan memang tertutup longsor. Tanah merah bercampur batu besar menumpuk memotong jalan setapak. Aliran air kecil masih merembes dari tebing, membuat lumpur makin licin dan lengket. Suara cangkul bertemu tanah terdengar ritmis, sesekali diiringi teriakan aba-aba dari warga yang sedang bekerja keras. Ada yang menggali, ada yang menyeret batu ke pinggir jalan, ada pula yang memotong dahan-dahan pohon yang tumbang terbawa longsoran.
Saat Bu Widi sampai di lokasi, seorang bapak dengan topi jerami menoleh dan tersenyum lebar.
“Lho, Bu Widi! Nekat juga sampe sini. Tadi sempat dengar ibu jalan kaki dari bawah,” sapa Pak Arman, ketua RT yang juga ikut bekerja.
“Saya memang nekat, Pak. Tapi ndak bisa tinggalin anak-anak nunggu di sekolah tanpa guru,” jawab Bu Widi sambil tersenyum meski peluh masih membasahi wajahnya.
“Luar biasa Ibu ini,” timpal seorang pemuda sambil memanggul batu besar ke pinggir.
“Nanti gimana, Bu? Motor bisa lewat tapi pelan. Kami baru bisa buka satu jalur kecil dulu. Tapi agak licin,” kata Pak Arman sambil menunjuk celah sempit di sisi kanan longsoran.
“Kalau begitu, saya jalan kaki saja sampai seberang. Nggak apa-apa, Pak. Asal motornya bisa dibantu didorong.”
“Nanti motornya saya tuntun, Bu. Biar ibu jalan di pinggir batu itu, tapi hati-hati ya. Licin, jangan sampai kepleset,” ujar salah satu warga muda yang tadi mengantar Bu Widi.
Bu Widi mengangguk. Ia mengangkat bawah rok batiknya sedikit agar tak terseret lumpur, lalu mulai melangkah perlahan menyusuri pinggiran longsoran. Tangan-tangan warga membantu menopang dan menuntunnya satu per satu.
“Bu, pegang tangan saya aja, ini batu di sini lumayan kokoh,” kata pemuda lain sambil berdiri di jalur yang sudah dibersihkan.
Akhirnya, setelah melewati celah sempit, Bu Widi berhasil sampai di seberang jalan. Motornya berhasil dituntun oleh warga muda yang sigap. Tepuk tangan kecil dan sorakan ringan terdengar dari warga.
“Alhamdulillah! Bu Guru lolos rintangan!” canda Pak Arman sambil tertawa.
Bu Widi pun tertawa kecil. “Terima kasih ya, Bapak – Bapak semua. Tanpa kalian, saya nggak akan sampai sekolah hari ini.”
Bu Widi merasa cinta yang ia berikan untuk anak-anak di lereng gunung ini tak bertepuk sebelah tangan. Gotong royong warga bukan hanya bukti solidaritas, tapi juga bukti bahwa perjuangannya tak pernah sendiri. Sekitar pukul 07.15, setelah melewati medan berat, Bu Widi akhirnya tiba di halaman sekolah sederhana di lereng gunung. Bangunannya dari kayu, catnya mulai mengelupas, namun tetap berdiri kokoh dengan tulisan “SD Negeri Damai” di atas pintu depan.
Tiba-tiba terdengar teriakan kecil dari kejauhan.
“Bu Guru Widi!” seru Ani, siswi kelas dua, sambil berlari ke arah gerbang.
Anak-anak lainnya ikut menyambut. Wajah mereka ceria, mata mereka berbinar. Mereka berebut mencium tangan Bu Widi. Meski baru saja berjuang melalui jalanan sulit, kehangatan sambutan murid-murid itu membuat letih Bu Widi seperti menguap.
“Bu, tadi di bawah ada longsor. Ibu lewat nggak tadi” tanya Rudi, siswa kelas 5.
“Ibu baik-baik saja, Rudi. Cuma harus dorong motor tadi. Tapi alhamdulillah sampai juga di sini, tadi dibawah banyak warga yangf sedang kerja bakti membersihkan longsor, jadi hari ini bisa ketemu kalian semua,” jawabnya dengan senyum lelah.
Bu Widi bergegas masuk kamar mandi terlebih dahulu untuk membersihkan diri. Ia pun menyapa teman-temannya di kantor yang sedang bercerita tentang perjalanannya ke sekolah. Bu Widi juga ikut bercerita tentang perjalanannya hari ini.
Pelajaran dimulai di ruang kelas berdinding papan. Anak-anak duduk rapi di bangku kayu yang sudah mulai tua. Hari itu, Bu Widi mengajar tentang budaya Nusantara. Ia bercerita tentang keberagaman suku, pakaian adat, dan makanan khas sambil memperlihatkan gambar-gambar dari buku yang ia bawa. Suara hujan yang kembali turun mengguyur atap tak mengganggu semangat belajar mereka. Sebaliknya, suasana makin terasa hangat dalam semangat kebersamaan.
Jam pelajaran telah usai, beberapa murid tak langsung pulang. Mereka membantu merapikan kelas, ada yang menyapu lantai, ada yang mengelap papan tulis. Gerimis mulai berhenti, Lilis murid Bu Widi yang rumahnya dekat sekolah, membawa singkong rebus dari rumah.
“Ini buat Bu Guru dari Mama. Katanya biar hangat perutnya,” katanya malu-malu.
Bu Widi menerima dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena singkongnya, tapi karena perhatian tulus dari anak-anak dan orang tua yang ia cintai. Ia tahu, perjuangannya tak sia-sia. Jalan berlumpur, longsoran, dan dinginnya kabut pagi akan selalu ia tempuh dengan hati yang hangat. Karena setiap jejak langkahnya menuju sekolah, adalah jejak cinta yang menumbuhkan harapan di hati anak-anak pegunungan.
satu Respon
Cerita yang mengharupan. Sejauh apapun kaki melangkah, kampung halaman adalah tempat kita kembali.