Jejak Setelah Bel Luluh

Oleh Nur Adila Qibtiyah,S.Pd.

Bel terakhir berbisik lirih di telinga,
meninggalkan ruang, papan tulis, dan cahaya senja.
Ijazah kugenggam, hangat dari tinta yang masih segar,
masa depan kabut tipis di jendela yang belum terbuka.

 

Aku anak dusun di pinggir peta,
berangkat subuh, roda gerobak berderak di tanah becek.
Pagi di pasar, aroma kopi bercampur bau bawang,
tapi rinduku pada sawah dan langit desa, terus menggantung.

 

Sore sekolah, malam menyulam asa,
kadang terlelap di atas koran lembab, di bangku halte tua.
Pernah kujual buku demi ongkos pulang,
menapak aspal dalam hujan, sepatu sobek, perut kosong.

Kujatuhkan tanya pada langit kota,
“Haruskah aku menyerah, jadi angka yang hilang di data?”

 

Teman seperjuangan banyak yang tenggelam,
terseret kecewa, terseret sepi yang dalam.
Tapi aku menatap bayang ibu di pelupuk,
wajahnya lentera yang tak padam meski disapu waktu.

 

Ayah berkata, “Kalau air mata tak sempat jatuh,
berdoalah hingga dadamu berdentam seperti bedug subuh.”
Maka kutapaki jalan berliku tanpa lampu,
meski lutut goyah, tetap kupeluk harapanku.

 

Kini aku berdiri, bukan sekadar murid biasa,
luka di punggungku berubah jadi sayap cita.
Bukan sekadar nama di lembar ijazah,
aku nyala—bara kecil yang menolak padam di dada.

 

 

Biodata Penulis

Nur Adila Qibtiyah,S.Pd. adalah guru bahasa Indonesia yang menjara di MTs Negeri 4 Jembrana. Bu Adila begitu sapaan akrabnya, saat ini tinggal di Banjar Ketiman Kaja Desa Manistutu Kecamatan Melaya Kabupaten Jembrana, Bali.

 

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *